Saya Orang Sunda??

Depan Gerbang Tol Citereup 1, di bawah tol Jagorawi. Persimpangan Citereup-Bogor.
“Mba teh mau kemana nyak?” seseorang menyapaku dengan logat sundanya yang kental. Perempuan berambut cepak. Blous bercorak hitam putih dan celana jeans sempit.
“Saya mau ke Depok, Mba.”
“Loh, ke Depok ko di Sini yah Mba?” ia heran.
“Saya teh janjian di sini, Mba.” Kataku. Ahayy, kebawa-bawa deh logat sundanya.
“Ohhh…”
“Mba mau ke mana yah?” tanyaku.
“Saya teh dari Bandung, lagi nungguin suami, ngejemput saya. Mau ke Rumah Sakit. Mba sendiri?”
“Iya nih Mba, saya juga lagi nunggu kaka saya di sini.”
“Oooh. Emangnya si Mba dari mana tadinya?”
“Saya dari Padang, Mba.”
“Ohhh…Padang?! Ko ngga mirip bahasa Padang yah. Saya kira teh dari Ciamis atau Purwakarta tadinya. Engga keliyatan bahasa Padangnya. Saya pikir asli sunda.”
Dalam hati, aku langsung ngakak abis. Aihhhh….bener yah, kaga keliyatan bahasa Padangnya? Cihuuuuyy!

Teringat dahulu pertama kali aku pindah ke kota, setelah sebelumnya tinggal di pelosok kampung yang semua penduduknya berbahasa Mualab. Bahasa Mualab itu beda bet sama bahasa Minang. Banyak orang Minang yang gak ngerti bahasa Mualab. Itu pula sebabnya, banyak juga orang Mualab yang sulit merubah logat, meskipun ke logat berbahasa Minang sekali pun. Nah, ceritanya kala itu, di SD-ku yang baru harus berbahasa Indonesia Raya. Aah, jelas sudah, bahasa Indonesiaku adalah bahasa Indonesia made in Mualab. Hee… Bahasa Indonesia yang logatnya Mualab banget. Ditertawakan teman-teman. Ihihi. Hingga awal-awal kuliah pun, rasa-rasanya aku berbahasa Indonesia yang begitu “Padang banget”. Keliyatan bet dah “Padangnya”. Sering kata-kata “Bukan begitu do”, “Ada kamu sehat-sehat saja”, “Belikanlah saya satu haa.” (kalau diingat-ingat, jadi ketawa sendiri. Hehe).

Tapi, dari dulu sih, aku cukup bisa menyesuaikan logat, kalo sudah beberapa waktu yang agak lama berada di suatu daerah. Juga, kalau mayoritas bahasa indonesianya di suatu daerah adalah bahasa Indonesia yang “padang banget”, aku pun ikut-ikutan “padang banget”. Waktu di sawahlunto dulu, aku bisa logat sawahlunto yang nyampur-nyampur bahasa Jawa itu. Waktu praktik di RSSN di Bukittinggi (kan kebanyakan yang berobat dari Agam), aku suka dan sedikit bisa bahasa agam yang pake-pake “ooo…mantuuun” dan “aa tuh garan” itu. Hee… Aku juga sedikit bisa logat Payakumbuh, “golak-golak godang nyeh”, setelah ayah pindah ke Payakumbuh, sampai-sampai ketika tilpun2an sama temen2 SMA di asrama dulu, mereka pada heran kenapa logatku jadi “Payakumbuh banget”. Waktu di Bandung pun, aku juga sikit-sikit logat Sunda. Walau tak terlalu mahir. Hee…

Nah, kembali ke cerita Tol Citereup di atas. Kenapa aku bahagia sangat, gak keliyatan Padangnya, coba!? Bukan karena aku gak bangga jadi orang Padang. Aku bangga banget malah jadi orang Padang. (Katanya orang-orang Padang dan Minang itu, tokoh-tokohnya banyak yang berpengaruh di tataran nasional. Coba lagi deh, bukak lembaran sejarah perjuangan bangsa. Jiaaahhh…). Juga bukan karena aku seneng bisa logat sunda (walau emang sedikit terobsesi untuk bisa bahasa Sunda dan bahasa Makassar). Ini hanya karena aku berhasil memenangkan ‘pertarungan pronunciation’. Yak, soal pronunciation.

Aku terlanjur dicap “pronunciation jelek” dalam bahsa Inggris (seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya). Nah loh, jika memang aku bisa pronunciation sunda, sehingga orang sunda sendiri sampai mengira aku bener-bener orang sunda, yah, kenapa tidak dengan Bahasa Inggris, tho?! Insya Alloh, aku pun bisa! Aku akan hapuskan labeling itu dari diriku. Harus! Insya Alloh, BISA! Aku yakin itu! (cihaaa….semangat menggebu-gebu niih yee!). Kalo kali ini orang Sunda asli mengira aku bener-bener orang sunda beneran, maka besok, orang Inggris akan mengira aku beneran orang inggris! Haha, mimpi kali yeeee. Wong wajahnya Indonesia begitu. Hihihi. Just kidding. Yaah, yang penting semangat lagi dah buat blajarnya! Hayuuk…hayuukk…


Citereup, Bogor, 15 April 2011

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked