Muhasabah Perjalanan

Perjalanan ini..sungguh sangat...mengesankan...
Perjalanan sering kali meninggalkan pelajaran dan muhasabah tersendiri bagiku. Sering kali. Kali ini adalah episode minibus tujuan Padang. Di sebelahku, duduklah seorang wanita beserta anak gadisnya yang masih tujuh belas tahun. Dan naifnya, aku tahu, apa sebenarnya derita yang ada di balik senyum miris sang wanita itu. Wanita yang mencoba bersikap wajar atas keterkejutan perjumpaan denganku itu.

Meski berusaha untuk menyembunyikan beban berat itu, tapi, aku sudah terlanjur tahu. Seberhasil apapun ia mencoba berwajah datar, tetap saja aku menangkap sketsa kegugupan serta wajah pias yang hampir kehilangan harapan itu. Bukan terhadap dirinya, tapi anaknya. Sebenarnya, tidaklah menyesal aku mengetahuinya, sebab ketidaktahuanku justru akan lebih menyakitkan. Sebab, tanyaku atas ketidaktahuanku (yang adalah mencoba mencairkan suasana) justru akan lebih menyakitkan bagi ibu dan anak itu.

Sebesar apapun salahnya, aku sangat tak berhak menghakimi. Sebab aku bukan qadhi,maka bukanlah hakku. Ini bukan berarti aku memaklumkan dan membenarkan apa lakunya itu. Tidak, sama sekali aku tak pernah memaklumkannya. Tapi, bagiku cukuplah Allah saja yang mengganjar itu semua, meskipun seharusnya tetap ada ganjar di dunia, jika syariah Islam benar-benar ditegakkan di negeri ini. Seburuk apapun itu, sungguh aku tak ingin ikut menghakiminya secara psikologis, seperti yang dilakukan banyak orang terhadapnya. Rahmat Allah itu Maha Luas. Ampunan-Nya seluas bentangan. Bahkan, tak sedikit pun aku punya keyakinan bahwa aku akan lebih baik darinya pada akhir nanti. Tak sedikitpun! Ya, tapi tetap saja, kita harus selalu berupaya untuk mengakhirinya dengan kisah manis, dengan sebaik-baiknya amalan. Dan sebab itu pulalah, Islam menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Laju minibus terus mencoba menerobos jalanan. Jalanan rusak dan berlubang. Sesekali pun, ada jalanan yang mulus bebas hambatan. Begitu, dan begitu silih berganti. Kadang, terasa begitu nyaman di jalanan mulus, lurus, dan kadang harus terhempas ke kiri dan kanan, terlonjak karena lubang. Dengan kondisi begini, kuulas sebingkai senyum. Aku bahkan tak memiliki definisi atas senyum itu. Hanya saja, rongga di hati terasa begituuu lapang. Mencoba memahamkan pada diri tentang hakikat kehidupan serta kefanaan dunia.

Kali ini, kubiarkan diriku ikut terhempas. Kubiarkan diriku terhempas ke kiri dan ke kanan, terlonjak pada lubang, dan tenang di jalan mulus. Baiklah, kuikuti saja alunannya. Kuikuti saja. Sungguh, ada pelajaran penting yang kupetik dari ini. Bahwa menikmati jatuh, terhempas, menikmati irama kegetiran dan kesenangan, ternyata jauh lebih indah dari pada tegar yang hanya kamuflase. Sebab dengannya, semakin nyatalah, bahwa kita sangat butuh Allah dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada-Nya… Ini tentu bukan berarti kita menempatkan diri pada posisi terjatuh saja. Tapi, sebelum kita bangkit dan menjulang setinggi-tingginya, ada perlunya jua menikmati sejenak jatuhnya. Agar smakin nyata di hati, bahwa di hadapan-Nya kita sama sekali tak memiliki daya. Sungguh hanyalah dhaif belaka. Hanya Dia-lah, yah..sungguh hanya Dia-lah yang Maha Adidaya, Maha Superpower…

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked