Aku, Pasar dan Generasi Muda

estafet
Aku suka pasar. Hehe. Bukan! Bukan keramaiannya yang kusuka. Tapi, muhasabah yang membersamai setiap aktifitas yang dihadirkan oleh pasar. Pasar tradisional tentunya. Bukan pasar modern yang menyediakan semua kebutuhan dengan serba swalayanan, yang tak lagi dengan lembaran rupiah melainkan hanya sebuah chip serbaguna. Bukan yang seperti ini yang kumaksudkan.

Episode pasar tetaplah sama. Si ibu penjual tahu, masih duduk di posisi sama. Si nenek penjual kacang, pun masih duduk terseok di salah satu sudutnya. Pun, tak berbeda dengan etek-etek penjual bika kuning dan bika coklat yang masih asyik memotongi bika-bika pesanan langganannya.Si bapak penjual ikan danau, pun masih berada di lorong yang sama. Penjual kresek hitam pun masih seperti dulu, berjalan di setiap gang sambil berteriak, “motuih….motuih…”

Sering kali, aku mengulum senyum yang mungkin adalah senyum prihatin kepada mereka. Yang sumringah dengan hanya satu gemericing gopek saja. Bahkan, banyak yang tak peduli dengan uang gopek, di jaman sekarang ini. Ia-nya seperti nyaris tak berharga. Tapi lihatlah! Betapa sumringahnya wajah itu hanya dengan sesuatu yang bahkan orang lain tak begitu mempedulikannya. Seorang nenek tua, yang kutaksir umurnya sekitar 70 tahun, dengan tangan yang tremor (mungkin akibat fungsi jantung yang mulai melemah) yang menakar jualannya dalam sebuah baskom, juga menghadirkan dimensi muhasabah tersendiri bagiku. Bahkan, rupa uang seribu dan dua puluh ribu hampir sama di mata beliau, sebab mata itu sudah terlalu tua untuk digunakan. Ada rasa iba menyusup di dalam hati. “kemanakah anak cucunya?”. Lalu, anak-anak kumal yang merengek minta ikut ibunya ke pasar berharap dibelikan sesuatu. Bukan barang mahal tentunya. Hanya makanan seharga lima ratus saja, sudah cukup menghadirkan tawa di wajah polos mereka. Juga wanita-wanita muda, yang umurnya jauuuh di bawahku, yang sudah menggendong anak-anak, yang mempersepsi hidup dengan begitu sederhana, begitu apa adanya.

Sungguh, begitu banyak muhasabah, setiap kali aku ke pasar tradisional sebagai satu-satunya pusat perbelanjaan di kampungku ini. Meski pasar dengan aktifitas yang hampir senada, pun dengan ibu-ibu yang berbelanja juga adalah orang-orang yang hampir sama, tapi, selalu ada nuansa berbeda, bagiku! Aah, biarkanlah aku memunguti setiap pelajaran yang berserakkan di manapun itu, juga pasar ini, kali ini.

Hmmm….kampungku tercinta. Negeri yang baru saja dimekarkan sebagai kabupaten baru, tujuh tahun silam. Meski gerik kembangnya mulai merangkak naik, dan perubahannya pun sudah sangat jauuuhh dari pada dahulu (yang mungkin termarginalkan sebab ia daerah pinggiran), tetap saja…masih sangat jauuuuhh dari kehidupan perkotaan yang menyediakan fasilitas yang lebih lengkap. Bayangkan, aku harus kesusahan mencari mesin uang (aka ATM) untuk suatu keperluan. Ya, memang ada ATM bank local. Tapi, ia tak menyediakan apa yang aku butuhkan. Aku juga harus berkeliling mencari penyedia mesin scanner. Aah, sulit ditemukan. Bahkan, nomer GSM –ku yang lain, harus bersedia berstatus “darurat” karena sinyalnya tak ada di sini. How poor…

Tapi, di tengah keluguan itu…aku harus terhenyak dengan fakta yang sungguh-sungguh sangat memilukan sekaligus memalukan! Meski (agak) termarginalkan, rupanya, tak membendung arus dan lifestyle kehidupan perkotaan. Jika arus itu adalah arus positif, it’s okay! Tapi, naifnya, kali ini adalah arus negative! Kali ini aku harus terhenyak dan terbelalak dengan fakta-fakta memilukan itu. Baru-baru ini, satu anak kelas sebelas SMA dikeluarkan dari sekolahnya lantaran hamil. Dan itu oleh teman sekelasnya. Beberapa waktu kemudian, tak lama berselang, giliran anak kelas tujuh SMP yang mengalami nasib yang sama. Astaghfirullaah…Na’udzubillaah…

Begitu parahkah? Sebegitu jauhkah? Bahkan di lingkungan yang begini, yang keislamannya masih cukup untuk dikatakan kental?

Lama aku tercenung.
Teringat pula akan agenda-agenda Rohis sekolah, banyak yang (agak) macet. Hanya sekolah tertentu saja, dengan persentase sedikit, yang memiliki ekskul Rohis. Meski Rohis bukan satu-satunya media untuk membenahi generasi muda, tapi…rohis terbukti telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi pembentukkan kepribadian sang remaja yang mencari jati diri di berbagai tempat di seantero negeri ini.

Aaah…kampungku tercinta….
Meski jauh dari kota, agaknya nuansa dan lifestyle perkotaan telah coba diadopsi oleh mereka yang mencari jati diri itu. Apa yang media suguhkan, ditelan bulat-bulat, sehingga tak mengherankan jika angka kejadian itu cukup tinggi.

Ini PR besar bagiku, bagimu, bagi kita semua. Kita tentu tak ingin egois, hanya mau memperoleh saja, tapi tak ingin membagi pada generasi selanjutnya, bukan? Sungguh, apa yang kurasa, ketika aku seumuran mereka dulunya…, ingin jua kubagi kepada mereka. Masa ketika transformasi besar-besaran itu terjadi. Aku pernah di masa mereka, dengan cara berpikir seperti mereka, lalu kemudian diajak untuk menjumpai dan mengenali jati diri yang sesungguhnya. Dan, itulah awal bermulanya aku rasakan keindahannya. Sungguh, aku pun ingin, mereka rasakan keindahan itu… sungguh…

Kampungku tercintaa…beserta segenap generasi yang akan melanjutkan estafet perjuangan ini… Sungguh, tak ada yang aku inginkan melainkan engkau semua menjadi arruhul jadiid, memiliki jiwa pembaharu! Tidak latah mengikuti modernisasi yang menggiring pada kehancuran, menggiring pada millah-millah mereka. Sungguh, kita adalah khairul ummah, yang sangat tak layak kehilangan harga diri di hadapan para penghancur yang menyisipkan ideology mereka bahakn di setiap kisi kehidupan….

Aah…
Tiadalah yang dapat kita lakukan, melainkan BERSAMA ambil bagian di sini… Dan semakin berasa sudah, ketika kita terlalu disibukkan dengan hal-hal kecil, kita lupa sudah untuk mengurusi hal-hal besar!! Hayuk…..di sini kita ambil bagian. Sekecil apapun kontribusi yang kita berikan, sungguh kita berharap, semoga Alloh catat sebagai sebuah catatan kebaikan…karena-Nya…ya, hanya karena-Nya!

4 comments:

  1. membangun nagari tacinto..... pulkam jadi ajang renungan ya kak fathel?
    setuju..... na juga hobi jalan2 di pasar tradisional.... kita tidak dibatasi, ruang gerak bebas, interaksi luas, koneksi oke, tawar-menawar ayuk, pokoknya.... jangan pernah matikan pasar tradisional indonesia....
    karena keramah-tamahan indonesia tersisa di sana....!!!

    ReplyDelete
  2. hehehe..yaa begitulah Nayoo...^^


    yuuuppp..semapakaaattt Nayooooo...^^

    ReplyDelete
  3. semapakat itu apa kak???
    hmmm.... gimana yah....
    tiap buka blog kak fathel nih ada semangat baru yang tumbuh.....
    semangat terussss kak fathel!!!
    salut buat kakak na yang satu ini....
    tetap konsisten manggil Nayo...
    hehehehe

    ReplyDelete
  4. hehehe...sepakat maksudnya Nayooooo^^
    aihh? benarkaah...?
    alhamdulillah kalo bermanfaat^^

    yuppp...
    semangaaatttt!!

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked