Pembenaran, Kebenaran dan Membenarkan

Kali ini aku pengin mengajakmu untuk melihat suatu kondisi ini. Satu hal yang sama atau senada, dengan penyikapan yang berbeda, dan efek yang ditumbulkan sesudahnya. Sebut saja ada dua anak berumur sepuluh tahun, Badu dan Melati, sama-sama diminta oleh orang tuanya untuk mengantarkan sebuah benda berharga ke rumah tetangga jauh. Hmm…benda berharganya kek apah yah?! Emas, misalnya. (hihi, emang ada yah orang tua yang mau nitipin emas ke anak 10 tahun untuk diantar ke tetangga? Hihi….anggap saja ada yah!). Dan mereka berada di lokasi yang terpisah a.k.a tidak bersamaan.

Orang Tua Badu : Nak, tolong anterin ini ke rumah tetangga kita paling ujung itu yaah. Ini benda berharga. Hati-hati yah Nak.
Orang tua Melati : Nak, tolong antarkan ini ke rumah Tante yang di ujung gang itu yah. Hati-hati yah Nak yah, karena ini benda berharga.

Lalu, berangkatlah kedua anak itu ke rumah yang dimaksud oleh orang tua masing-masing. Tak dinyana, ternyata, diperjalanan, keduanya sama-sama tak sengaja menjatuhkan benda itu. Karena bentuknya yang kecil, jadi mereka tidak menyadari bahwa benda itu terjatuh. Si Melati dan Badu, dengan paniknya langsung kembali ke rumah masing-masing, dan mengadukan hal tersebut kepada masing-masing orang tuanya.

Badu (dengan wajah panik dan ketakutan) : “Mamaaaaa……huaaaa…..yang mama titip tadi itu ilang….duuh…bagaimana ini Mamah?”
Mama Badu (langsung ekspressi marah besar): “Tuuuh kaaaaaaaaaaaaaan, sudah mama bilang! Kamu itu harus hati-hati! Mahal tauk, harganya! Di mana mau dicari duit buat menggantinya! Dasar, kamu memang ceroboh!!! Dasar, kamu tak bisa dipercaya! Nyusahin mama aja!”
Lalu si mama mulai menelusuri jejak si anak, untuk mencari, kalau-kalau benda itu terjatuh di jalan. Dan, akhirnya benda itu ketemu. Tapi, dengan susah payah mencarinya.
Mama Badu : “ini nii apa ni? Makanyaaaa…., jangan ceroboh! Lain kali, jangan diulangi lagi ya!”

Di tempat lain,

Melati (juga dengan wajah yang sangat panik) : Bundaaaa, huwaaa…yang Bunda titip tadi ilaang. Deuhh…bagemana dong Nda?”
Bunda (dengan ekspressi kaget, tapi kemudian menguasai diri, dan melihat ekpressi anaknya yang panik dan rasa bersalah yang tinggi) : “Masya Allah? Iya, nak? Hayuuk, kita cari….sebelum lama ilangnya.”
Lalu, mereka menelusuri jejak, dan (sama dengan Badu) akhirnya juga menemukan benda itu, juga dengan susah payah mencarinya.
Bunda : “Nak, ini sudah ketemu. Lain kali, berhati-hati yah Nak. Jadi, kita tidak repot-repot nyari begini. Lain kali, kalau membawa sesuatu, simpan di tempat yang aman yah. Apalagi kalau itu berharga.”

Hehe…kedua kisah di atas, tentu saja fiktif belaka, tapii….lebih kurang dengan kisah senada, banyak orang pernah mengalaminya. Iyah tidak? Setidak-tidaknya sekali seumur hidup, setelaten apapun dia. Heuu…..

Sikap pertama, ketika si Badu panik dan ketakutan, lalu ditambah dengan ekpressi menyalahkan dan me-labelling anak dengan label “cerobh” dan “tidak dapat dipercaya” justru bukan membuat anak lebih baik. Sang anak yang telah terpuruk secara psikologis, dengan kepanikkan yang luar biasa, lalu ditambah pula bebannya dengan penyalahan dan labeling sehingga hal ini menjadi PEMBENARAN bagi si anak, bahwa ia memang demikian. Bahwa ia memang sangat buruk, ceroboh dan tidak dapat dipercaya. Hal ini akan tersimpan di alam bawah sadarnya, sehingga jika suatu saat ada orang lain yang meminta sesuatu padanya atau memberi kepercayaan, ia akan begitu sulit karena alam bawah sadarnya terlanjur melabeling kalau dia itu ceroboh dan tidak dapat dipercaya.

Sebaliknya, sikap kedua, ketika Melati panik, si ibu tidak langsung menyalahkan. Bahkan memberikan proteksi psikologis kepada anak terlebih dahulu. Si ibu yang turun mencari, dan sama sekali tidak mengata-ngatainya. Ketika kondisi psikologisnya sudah aman, baru diberi masukan, lain kali harus berhati-hati. Bukan berarti harus bersikap lunak juga. Pada akhirnya anak akan menyadari di mana letak kesalahannya. Dengan demikian KEBENARAN yang disampaikan, pun akan tersimpan di alam bawah sadarnya. Dengan demikian, berarti ini adalah sikap MEMBENARKAN yang salah tanpa harus melukai sisi psikologis sang anak.

Allahu’alam, secara psikologis ini ada teorinya atau tidak. Hehe. Dan lagi, tentu saja diriku tidak berkafaah dalam bidang psikologi. Hanya saja, kejadian ini, aku merasakannya sendiri. Ketika aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga, aku pikir aku akan dimarahi habis-habisan. Tapi ternyata tidak. Ketika itu, ayahku ikut mencarikan terlebih dahulu, melihat kepanikan yang luar biasa di wajahku. Ayahku tidak langsung menyalahkan. Lalu, ketika aku sudah bisa menguasai diri dari kepanikkan, barulah kemudian ayah memberikan masukan, nasihat agar lebih berhati-hati. Nasihat ini kemudian menjadi begitu berkesan bagiku. Dan, pada akhirnya, aku menjadi selalu ingat, jika ada sesuatu yang berharga dan harus ada kehati-hatian menyertainya. Satu kata-kata ayah yang begitu berkesan kala itu, “Ya sudah…jadikan saja PELAJARAN! Biar tidak terulang di masa mendatang.”

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked