Sintesa Kebahagiaan

Tak ada yang berbeda dengan pagiku kali ini. Langit, masih sebiru kemarin pagi. Burung yang berkicau di atas atap rumah pun masih dengan kicauan yang sama. Ikan-ikan pun masih dengan keceriaan mereka yang berlari kian kemari. Bunga-bunga pun masih kuning merekah. Masih seperti pagi-pagiku—layaknya pengangguran banyak acara—seperti dulu. Hehe. Seperti biasa, pagi-pagi menjadi tukang ojek untuk dua adikku yang masih SMP dan SMA. Lalu, jadi IRT gadungan, membereskan rumah. Dan, dilanjutkan dengan aktifitas ke pasar untuk membeli sesuatu yang membuat asap dapur tetap mengepul (haha, dapurnya masih berasap geetuh? Kayak jadul ajah yah? Hihi). Sepulangnya, beristirahat sejenak untuk kemudian berkutat dengan kompor dan kuali. Dan diakhiri dengan aktifitas lain di sorenya, baik itu aktifitas hizb, sekedar menulis, membaca apa yang aku sukai dan apa yang aku butuhkan dan tak melewatkan aktifitas yang menyenangkan bersama ‘tabek’ dan ikan-ikanku. Hoho, terdengar monoton yah? Tapi tidak! Sebab aku menjalankannya dengan sesuatu yang bernama kebahagiaan. Ya, aku menyukainya, sehingga tak terasa berat.

Jika pun ada yang berbeda, maka kali ini, adalah HARAPAN yang AKU RANGKAI di LOKUS ASA! Iya, harapan yang berbeda. Sungguh, kali ini terasa berbeda. Tapi, beda yang menghadirkan dimensi semangat yang jauh lebih tinggi, di banding harapan-harapan lalu (yang sempat kandas) barangkali.

Aku dengan bahagiaku, di fragmen kali ini. Kau, juga dengan bahagiamu. Dia, pun dengan bahagianya. Ah, terlalu naïf jika menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain. Alangkah tidak menyenangkannya ketika kebahagiaan kita, dikatalis oleh orang lain. Dan, sungguh sangat menyedihkan, ketika tiba-tiba sang katalisator itu tak lagi mereaksikan seuntai kebahagiaan untuk kita, sehingga justru yang hadir adalah kelimbungan. Sebab, kebahagiaan kita adalah karena ketergantungan kepada sang katalisator itu. Memang, seperti kata Heinlein, cinta itu adalah sebuah kondisi di mana kebahagiaan orang lain menjadi sesuatu yang berharga untuk kita miliki…Dan pun adalah cinta ketika kebahagiaan itu ada dengan adanya kebahagiaan orang yang kita cinta. Tapi, tetap saja bahagia kita…adalah milik kita. Tanpa harus digantungkan sepenuhnya atas orang lain.


Sungguh, bahagia itu adalah urusan hati. Adalah bagaimana kita men-settingnya dengan segenap komponen yang berintegrasi dalam menghadirkan sebuah rasa bahagia. Tanpa harus dikatalis oleh orang lain, sesungguhnya KITA BISA MENSINTESANYA. Ya, sungguh kita bisa mensintesis kebahagiaan itu tanpa harus dikatalisator oleh orang lain….

Banyak hal-hal sederhana yang menghadirkan kebahagiaan. Begitu banyaknya. Bahkan cukup dengan sebingkai senyum di pagi hari untuk cleaning service yang membersihkan kantormu, misalnya. Cukup dengan beberapa lembar rupiah yang kau berikan untuk seseorang yang menengadahkan tangannya. Atau, cukup dengan penjual kresek yang hanya dihargai lima ratus rupiah untuk lembaran-lembaran kreseknya yang laku terjual. Sungguh, sederhana sekali kata bahagia itu. Bahagia, yang perlu disetting pada komponen-komponen yang berintegrasi dalam menciptakannya. Hati, akal, dan lingkungan.

Aku dan bahagiaku. Aku dan semangatku…
Meski sedari dahulu, aku menyadari bahwa itu semua menghendaki adanya buffer. Terlebih dengan kefluktuatifan yang laiknya roller coaster itu. Ya, meski ia membutuhkan buffer, tetap saja ia telah memberikan warna secerah pelangi untuk langit hatiku…

Aku dan bahagiaku… Kau, juga dengan bahagiamu. Dia, pun dengan bahagianya. Tentang rel dari kereta kehidupan kita yang tak pernah sama. Sungguh tak pernah sama. Mungkin pernah saling bersisian, bersilangan, tapi kemudian kita punya stasiun pemberhentian kita masing-masing. Meski rel itu berbeda, tapi…polar kebahagiaan tertinggi kita tetaplah sama. Ya, sama! Polar kebahagiaan tertinggi melintasi kesederhanaan itu adalah kebahagiaan bersama Rabb kita. Tak ada yang melebihi dari itu semua. Sungguh…

Maka, tiadalah yang kukehendaki bagi hatiku, bagi hari-hariku, melainkan sintesa kebahagiaan bersama Rabb-ku…
Tidak, tidak akan dikatalisator oleh siapapun manusianya lagi, insya Alloh. Sebab, apa sih yang dipunya manusia?! Sungguh, hanya dhaif belaka.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked