Happiness-Sadness Windows

happy n sad
Jika tanpa rintangan, hidup ini begitu monoton dan sangat tak menarik. Meski berada di zona nyaman itu menyenangkan, tapi, kita akan menjadi apa adanya saja. Seperti katak yang terlalu nyaman untuk satu tempurung saja sehingga lupa untuk menyaksikan bahwa dunia itu jauh lebih luas dari sekedar tempurung.

Aku dan fluktuatifku.
Seperti gelombang yang naik turun. Bersemangat, tinggi, lalu terhempas. Begitu. Dan terus begitu. Memang, yazid wa yanqus adalah niscaya. Tapi, hampir-hampir saja, ia mencapai titik-titik ekstremitas…puncak dan lembah…

Baiklah…
Aku jadi mengerti tentang maksud “bersabar dalam kebahagiaan” dan “bersabar dalam kesedihan itu”. Ya, memang begitu seharusnya. Sehingga, ia senantiasa terpelihara dalam koridor seperti ‘terapeutic window’ itu. Tak melebihi, juga tak kurang. Sepertinya, memang perlu memberikan sebuah skala menyerupai ‘terapeutic window’—jika boleh kugunakan istilah ‘happiness and sadness window’—agar ia tetap berada di skala itu. Dalamnya, boleh saja naik, dan boleh saja turun, asalkan masih dalam ‘window’ yang dibolehkan. Hmm…mungkin perlu begini.

Belakangan, aku cukup bergidig ngeri mendengar banyak cerita tentang bunuh diri. Aku baru tau, ternyata…karakter memberikan sumbangsih juga terhadap angka kejadian ini. Pertanyaan yang sering muncul di benakku sejak dulu adalah, “mengapa orang begitu mudah bunuh diri? Bahkan hanya karena cemburu berat saja? Mengapa begitu murah ia hargai hidupnya? Mengapa? Mengapa begitu bodoh?”

Belakangan…aku baru berjumpa rumusan baru soal ini dan berjumpa sekelumit jawabannya. Tentang frustasi, saturasi, dan keputusasaan yang sudah akut. Dan, hal paling sering adalah karena mereka terlanjur menggantungkan harapan kepada manusia, sepenuhnya. Padahal, jika pun boleh berharap pada manusia, tapi lokus terbesar sebagai labuhan harap itu, cukuplah Rabb saja. Ya, cukupla Rabb saja.

Banyak dari orang-orang bermasalah yang beranggapan bahwa masalahnya adalah masalah terberat. Penderitaannya adalah seberat-beratnya penderitaan. Dan, lukanya adalah sedalam-dalamnya luka. Aah, terlalu naïf. Cobalah sedikit mendengar. Cukup mendengar saja, kisah-kisah orang yang bermasalah, menderita, terpuruk. Tak perlu merumuskan sebuah solusi. Cukup hanya mendengar saja. Sungguh, mungkin kita akan berkata, bahwa masalah kita belumlah seberapa…

Ada bagusnya kita perlu sedikit keluar dari peraduan. Berjalan saja. Memungut setiap pelajaran yang bertebaran. Lihatlah, sungguh diri kita lebih beruntung. Mungkin di luar sana, ada orang yang harus rela makan sehari sekali saja. Mungkin di sudut negeri sana, ada yang harus bersusah payah berjalan lantaran kakinya yang lumpuh. Dan mungkin di luar sana ada yang tak bisa menikmati indahnya menggunakan akal pikiran lantaran syndrome down yang dideritanya. Sungguh…diri kita jauh lebih beruntung.

---------------
sumber gambar di sini

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked