Bermain-Main dengan Nyawa

Jangan palsukan obat lagiii... :'(
Sungguh, ada kesedihan dan miris di hati ketika lagi-lagi ada mafia yang menukar nyawa dengan segepok rupiah. Aku hanya bisa bungkam demi menyaksikan peristiwa kotor itu diceritakan dengan bangga kepadaku. Aku muak. Ingin muntah rasanya. Tapi, aargghh…Alloh…aku tak bisa berbuat apa-apa! Apakah ini selemah-lemahnya, iman? Tapi, sungguh aku tak punya kekuatan untuk itu!

Di suatu perjalanan, seorang laki-laki, bercerita padaku tentang obat-obat yang dipungutnya di tempat-tempat sampah atau lewat para pemulung, lalu dikumpulkannya, dikemas lagi, dan dijual lagi. Jika masih dalam jangka belum expire date dan tak terkontaminasi, itu masih oke. Ini bukan berarti aku setuju dengan hal ini, setidaknya tak sampai menimbulkan kehilangan nyawa. Walaupun, menurut standarpenyimpanan,ini jelas-jelas sudah salah. Tapi, ada yang lebih parah dari itu! Baru-baru ini juga, satu keluarga melakukan hal yang sama. Obat-obat yang (mungkin) sudah expiredate, yang sudah tak memenuhi standar terapi, lalu dikumpulkan. Dia “meracik” obat lagi, dengan menambahkan tepung terigu, atau gerusan kayu yang digiling halus, lalu dikemas lagi di sebuah pabrik—yang entah di mana, yang jelas tak jauh dari ibu kota—sehingga mirip dengan kemasan obat aslinya. Tak banyak yang tahu, apakah itu obat asli atau obat palsu yang sudah ditambahkan gerusan kayu dan tepung terigu. Masya Alloh… Jika ada pabrik besar yang menaunginya, berarti rumah itu bukan satu-satunya. Mungkin ada banyak rumah-rumah lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Ya Alloh…miris aku.

Dengan kondisi seperti itu, sungguh aku hanya bisa bungkam. Aku bukan siapa-siapa. Tak memiliki kepentingan apapun dengan orang-orang yang ada di rumah itu. Tapi, akan sampai kapankah ini terus dibiarkan? Bagaimana dengan obat-obatan yang statusnya dibutuhkan emergency yang bisa saja dengan sekejap merenggut nyawa pasien? Ya Alloh…sungguh sedih membayangkan hal itu.

Aiih…entahlah. Sungguh, dunia perobatan di negeri ini masih jauh dari baik. Obat-obat palsu yang tak terkendali. Dan, praktik mafia yang tak semuanya terawasi oleh pemerintah. Banyak! Sungguh banyak. Rasanya, telinga ini sudah bosan terus dipaparkan dengan cerita-cerita mafia ini. Lalu, sampai kapankah? Akan sampai kapan?

Seperti sebuah siklus saja. Dokter meresepkan obat. Tak habis oleh pasien. Lalu, sisanya dibuang ke tong sampah. Pemulung memungutnya, lalu dikumpulkan oleh para mafia (atau orang-orang yang terpaksa jadi mafia karena himpitan ekonomi) untuk “diracik” seperti cerita di atas, dikemas lagi dengan kemasan serupa, lalu dijual dengan harga yang lebih murah. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, hanya sanggup membeli obat harga murah. Lalu, obat itu sampailah pada masyarakat miskin. Dan akhirnya, penyakit bukanya malah sembuh, tapi semakin menjadi-jadi. Begitu terus. Dan berulang terus.

Sungguh miris sekali. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan negeri ini. Masalah krusial di bidang ekonomi, hukum, hankam, pendidikan. Dan, masalah ini seperti (agak) terabaikan. Sesungguhnya, perlu sekali memberikan edukasi kepada pasien soal obat ini kan yah. (ini kan tugas apoteker….*nguing…nguing!). Aku, kali ini…hanya bisa bungkam. Aku hanya bisa menuliskannya di sini. Semoga suatu saat nanti, dunia perobatan ini menjadi lebih baik, lebih terawasi. Agar tak lebih banyak orang-orang yang bermain-main dengan nyawa orang lain demi segepok rupiah.


Cilodong, 16 April 2011

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked