Demi si Latuik-Latuik

Sore nan cerah di hari Ahad, aku sudah berniat untuk hunting si Latuik-Latuik. Jangan tanya aku apa nama bahasa Indonesia si Latuik-latuik yah, karena aku tak tahu nama bahasa Indonesianya. Kalau bahasa Jawanya aku tahu (kali ini canggih kan? Lebih tahu bahasa jawanya ketimbangan bahasa Indonesianya, heuu...).

Menurut informasi yang aku terima, si Latuik-Latuik ini sangat berkhasiat. Maka tertarik lah aku untuk membuat dan meminum teh Latuik-Latuik ini. Sebenarnya agak sedikit kurang masuk akal untuk orang seperti aku yang prefernya lebih ke obat-obatan konvensional, bukan tradisional dan herbal, memilih meminum teh Latuik-latuik, sebab aku lebih banyak mengkaji soal obat-obatan konvensional. Tapi kadang, keinginan untuk sesuatu lebih mengalahkan logika. Hihi :D
*apaansih! -_-"

Aku masih ingat dengan sangat jelas, semasa kanak-kanak dulu, aku sering bermain si Latuik-Latuik, dan pohon perdu (apa iya perdu yah?-___-") itu tumbuh di dekat kaki bukit Anda, lebih jauh sedikit dari rumah panggung masa kecilku. Rumah yang penuh kenangan di mana sejak aku berumur 1 tahun hingga kelas 5 SD aku habiskan di sana, di pinggiran sungai Batang Lawe, dekat kaki bukit Anda. Nah, ke sanalah aku memburu (ko memburu yah? Emangnya hewan buruan? -__-") si Latuik-Latuik. Sudah hitungan tahun (mungkin sepuluh tahun yang lalu, atau lebih) aku tak pernah ke sana lagi, ke dekat kaki Bukit Anda. Paling jauh yaaa, sampai rumah lama Ayek yang kami tempati dua keluarga (Keluarga Ibuku dan Keluarga Uwo) hinga tahun 1997 itu.

Cukup excited aku mengunjungi tempat penuh sejarah masa kecil. Sungguh sudah banyak yang berubah, tapi keasliannya masih terjaga. Setidaknya, aku masih mengenali tempat-tempat itu. Rumah sahabat kecil kami (aku dan Yuna) sudah sangat jauh berubah. Dan, alhamdulillaah aku sempat mampir ke rumah sahabat kami itu, yang belum 2 minggu lalu menikah. Sungguh, tidak terasa begitu cepat waktu berlalu. Rasa-rasanya, baru kemarin kami melewati masa-masa kecil, bermain Lore, Main petak umpet, mandi-mandi di Lubuak (yang sebenarnya air sungai yang kami bendung pakai bebatuan, hehe) yang apabila 'si kuning' lewat, segera berhamburan ke pinggir kali, hihi :D. Lalu makan gadang, ke MDA bareng-bareng (kalau sekarang lebih populer dengan TPA yah?). Dan sekarang, kami telah melewaati fase hidup yang lebih jauh. Ah, sungguh hanya sebentar rasanya.

Aku dan Uwo menelusuri semak-semak, dan juga tempat aku bermain latuik-latuik masa kecil dulu. Tapi, ternyata tak kujumpai latuik-latuik di sana lagi. Ah, sudah belasan tahun berlalu. Itu adalah ketika aku masih kelas 3 SD. Sekarang? Sudah 26 tahun. Sudah sangat lama. Jadi wajarlah jika latuik-latuik itu tidak ada lagi di sana.

Walaupun maghrib menyudahi pencarian latuik-latuik dengan hasil yang nihil, setidaknya aku senang sudah bisa bernostalgia dengan kenangan masa kecil. Setidaknya aku lebih sadar, kalau waktu di dunia ini hanyalah sejenak. Baru kemarin rasanya...

Esok sorenya, aku ditelpon Ni Em (kakak sepupuku), kalau latuik-latuiknya sudah ada di Palak Gadang (di rumah Ni Em dan Uwo beserta keluarga). Wuihhh senangnya bukan kepalang. Langsung tancap gas ke Palak Gadang. Dan hari ini, teh latuik-latuik sudah kunikmati.
Kunikmati?
Heuu.. sesngguhnya tidak nikmat ternyata, pemirsa!
Aku sudah nausea banget hampir vomiting. Mual yang nyaris muntah. Produksi saliva meningkat 3x lipat pertanda aku sudah mau mengeluarkan seluruh isi lambung (lebay banget, seluruh isi lambung! -__-"). Tapi, aku coba bertahan. Emang nda enak banget yah mual itu apalagi sampai muntah. Parno banget dengan yang namanya muntah :(

Akhirnya, aku coba rebahan dulu, menetralisir isi lambung biar tidak sampai keluar. Malah ketiduran ba'da maghrib. Setelah bangun, aku selesaikan project orderan cover buku, lalu mengirimkannya (meng-uploadnya), serta menulis tulisan ini, hehe. :)

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked