Keputusan Itu...

Ini adalah kelanjutan kisah dari postingan sebelumnya, sejarah mungkin berulang. Hehe.

Mendapat 'tawaran' suatu riset di perguruan tinggi negeri (yang katanya paling tua di negeri gemah ripah loh jinawi ini) dan 'tawaran' di perguruan tinggi negeri (yang katanya paling tua di pulau sumatera) untuk meng-kanal-kan sedikit ilmu (yaa, masih sangat sedikit sekali) yang pernah di dapat,  merupakan sesuatu yang pernah aku impikan dulunya. Dan, menjumpai kenyataannya tentulah sesuatu yang membuatku berbahagia. Mimpi yang kemudian menjumpai nyatanya.

Tapi, hidup adalah pilihan. Di berbagai episode hidup, kita pasti akan dihadapkan pada berbagai pilihan. Tentang bagaimana nantinya, maka pilihan itu akan menjadi penentunya. Tentunya segala ketetapan-Nya pasti akan berlaku. Ini tak terlepas dari kehendak-Nya.

Tapi, in syaa Allah aku tak pernah bimbang atas keputusan ini. Keputusan untuk melepas segenap kesempatan itu, untuk seseorang. Seseorang yang telah ditakdirkan-Nya menjadi belahan jiwaku. Karena rumah tangga dan baktiku kepadanya, jauh lebih utama dari pada kesempatan-kesempatan itu.

Banyak suara-suara yang menyayangkan keputusan itu mungkin. Bahwa kesempatan itu adalah momen langka, telah sampai kepadaku. Banyak yang menyayangkan, bahwa aku sudah sekolah 7 tahun lamanya semenjak lulus SMA dulu, tapi kemudian ijazahnya dibiarkan begitu saja. Tapi aku, in syaa Allah sudah mantap, bahwa aku memilih untuk bersamanya.

Kalo ujung-ujungnya jadi Ibu Rumah Tangga doang, kenapa harus cape' cape' kuliah?
Ini yang paling sering kudengar.

Tak bolehkah sekolah untuk menjadi ibu rumah tangga? Haruskan ibu rumah tangga itu identik dengan orang-orang yang tidak berkesempatan kuliah atau yang tidak memiliki pilihan untuk bekerja sebagai wanita karir?
Bagiku, Ibu rumah tangga adalah pekerjaan utama. Pekerjaan yang mulia. Pekerjaan lainnya, apakah dosen, apoteker, APA dan sebagainya, itu hanyalah pekerjaan sampingan. Dan yang utama tetaplah harus diprioritaskan.

Aku hanya tidak ingin, anak-anakku kelak (in syaa Allah), dibesarkan oleh orang lain sementara aku sibuk dan disibukkan dengan perkara 'membesarkan' anak orang lain. Sementara, mereka (anak-anakku, in syaa Allah) adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Aku tidak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap anak orang lain. Lalu, pilihannya sudah jelas, bukan?

~Hehe, idealis?
Mungkin.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked