Ruh-Ruh Baik, Penuh Kebaikan
Sungguh beruntunglah mereka… sungguh beruntunglah… Beruntunglah mereka yang apabila kita membersamainya, membuat kita ingat kepada Allah…
Tapi sodaraku, bukan berarti begini. Bukan berarti ketika kita naek angkot, lalu sang nakhoda, eeh…sang supir maksudnya, melarikan itu andong..ehh..angkot dengan kecepatan 180 km per jam, lalu membuat kita langsung beristighfar dan langsung ingat mati, langsung ingat Allah, dan langsung ingat bahwa amal-amal kita masih sedikit… Hehe. Bukan….bukan yang seperti ini yang kumaksudkan.
Tapi, orang-orang yang ketika kita bersamanya, jangankan mendengarkan kalimatnya saja, cukup memandangi wajahnya, telah menyejukkan hati kita dan membuat kita ingat kepada Allah, dan membuat kita ingin melakukan kebajikan karenanya. Masya Allah. Sungguh luar biasa mereka itu. Sungguh luar biasa, mereka yang memiliki ruh-ruh yang baik itu.
Pernahkah kau rasakan? Mungkin pernah. Ada kalanya, ketika kita berjumpa dengan seseorang, lalu, yang kita rasakan hanyalah sekedar mimpi-mimpi dunia belaka. Atau, bahkan hanya ngalor-ngidul saja. Hanya canda-canda saja. (Astaghfirullaah…astaghfirullaah…barangkali kita—terutama diriku—adalah pelakunya).
Namun, ada kalanya, ketika berjumpa dengan seseorang, yang kita rasakan justru pancaran kebaikan. Mungkin ia tak banyak berkata-kata. Tapi, sedikit nasihatnya saja, sudah membuat kita ingin berlama-lama dengan kebajikan. Karena mereka berbicara birruh… dengan ruh, dengan bukti nyata amal perbuatannya. Tidak sekedar kata. Sungguh, beruntunglah mereka itu.
Memang, ruh, iman, adalah sesuatu yang yazid wa yanqus. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Dan, sungguh adalah suatu yang absurb jika seseorang terus berada di puncak grafik keimanan, selalu. Bukankah sudah fitrahnya begitu? Bahkan, kata seorang ustadz, “tidak masalah jika kita ‘kehilangan’ hafalan, karena dengan demikian, kita akan berusaha untuk menjemput dan kembali menjemputnya. Dengan demikian, ia akan menjadi salah satu ceruk amalan bagi kita. Ia yang akan menjadi pendapar bagi ruhiyah kita.” Bukan berarti ini membenarkan atas ‘kehilangan’ itu. Tapi, ini menyoal kontinutas barang kali.
Maka, sungguh, berkumpul dengan ruh-ruh shalih itulah yang kemudian menjadi salah satu ‘obat hati’ bagi kita. Orang-orang yang dengan melihatnya, akan mengingatkan kita kepada Allah. Ruh itu, akan senantiasa mempengaruhi, satu sama lainnya.
Jika memang demikian, tidaklah salah, jika kesendirian (tanpa jama’ah) atau memisahkan diri dari jama’ah akan lebih cepat mengoksidasi iman. Akan lebih cepat membuat kita menurun ke lembah ter-kritis grafik sinus keimanan. Karena, ruh-ruh itu saling mempengaruhi.
Dahulu, dalam sebuah diskusi pernah dipertanyakan, “hei, buat apa siih, ngumpul2 begitu? Bikin halaqoh—bikin lingkaran—begitu? Apalagi, kapasitas sang pembicaranya tidak selalu dari latar keagamaan yang jelas-jelas kafa’ah ilmunya bukan fiqh, ‘aqidah, hadits, apa pun itu?” Maka, jawabannya ada pada ruh-ruh yang saling mempengaruhi. Bahkan—seperti yang sudah kita singgung tadi—jangankan bicara, berkumpul saja, menatap wajah saja, sudah memberikan charger energy ruhiyah buat diri kita. Dan, jika hanya mengandalkan ilmu dari pertemuan yang singkat dengan kelompok-kelompok kecil saja, barang kali kita sudah salah persepsi. Karena, toh, sarananya bukan hanya ada kelompok itu saja. Masi tersedia sarana-sarana lain yang memang diisi oleh orang-orang yang berkafa’ah di bidangnya. Iya kan?
(haduuuuh, maap yaah, pembicaraannya jadi melenceng nih).
Jadi, sungguh…berkumpul dengan orang-orang shalih itu, akan mendatangkan obat hati bagi kita.
masuk gak ya saiia??...hehe
ReplyDeletemasya Allah...
ReplyDelete