Tujuh Negeri
Hehe, maaf teman. Aku hanya ingin sedikit berceritera saja. Barang kali tak banyak yang bisa kau bawa pulang dengan ceritaku kaliini. Tapi, sudahlah! Aku hanya ingin sedikit bercerita saja…
Dua tahun lagi, insya Allah—jika Dia berkenan menyampaikanku pada masa itu—aku berada di lini seperempat abad. Sungguh, begitu kencang waktu berlari. Padahal, masi kemarin sore rasanya, aku gegap gempita melarikan sepeda baru hadiah dari ibu karena ikut lomba matematika dengan masi mengenakan rok merah kembang dan seragam putih berlengan sesiku.
Pada masa nyaris seperempat abad ini, setidaknya aku telah memiliki tujuh negeri yang dijejaki. Negeri-negeri, dengan cerita-cerita yang berbeda.
Negeri pertama dan paling utama itu, adalah…kampungku, Solok Selatan. Muara Labuh. Lebih kecil lagi, Nagari Pasir Talang. Dulu, waktu masi kanak-kanak, nama desaku adalah BSM yang kepanjangannya (tentu saja bukan Bandung Super Mall), sebab di kampungku yang permai ini, tidak ada mall. Kepanjangannya adalah Bandar Gadang, Sipotu, Mudiak Lawe. Jadi, desa BSM ini adalah gabungan ketiga negeri kecil ini. Dan, aku berada di satu kampong kecil yang bernama Mudiak Lawe ini. Masa kecilku, sejak mengenal kata dan huruf, adalah di sini, di pinggir bukit ini. Rumahku, adalah rumah kayu. Bekas rumah gadang dulunya, yang dirombak pasca gempa besar. Tentu saja ketika gempa besar itu aku belum lahir, karena ibuku saja belum lahir. Hihi. Di sini, kuhabiskan sebagian besar masa SD-ku. Masa kanak-kanak. Masanya bermain. Di pinggir bukit, bersama sungai-sungai jernih.
Aku menyebut negri ini…negeri pelabuhan!
Lalu, negri kedua…adalah Sawah Lunto. Kota Sawah Lunto, adalah kota kuali, karena ia seolah terkurung dilereng-lereng yang dikelilingi perbukitan. Ini kepindahan pertamaku menuju negri yang lebih kota, sejak aku “bapangana”. Karena ibuku, dipindahtugaskan ke kota ini. Di kota ini, pada mulanya, aku semacam orang kampong yang sesekali menginjak kota. Bahasa Indonesia yang belepotan (hingga sekarang pun, hihi). Dan, gedung sekolah yang jauh lebih megah ketimbang sekolahku di kampong yang di kaki bukit itu. Aku, anak kampong yang lugu. Sehingga, diperebutkan genk-genk di kelasku.
Aku menyebut negri ini..negeri prestasi!
Negri ketiga adalah…Padangpanjang.
Jika sudah bercerita tentang negri ini, maka, mungkin aku takkan kehabisan bahan. Tapii, tentu takkkan kuurai sepanjang itu. Yang jelas, bagiku…setiap sudut kota ini, adalah kenangan. Jika aku boleh membuat skala prioritas negri, maka, negri ini akan menjadi nominasi kedua setelah kampungku. Enam tahun masa adolensia, masa pencarian jati diri kuhabiskan di kota ini. Selalu saja menarik bagiku. Dan, di sini pula kutemukan cinta. Cinta sejati. Di sini kutemukan cahaya. Cahaya yang menerangi. Cahaya di atas cahaya.
Maka, aku pun menyebut negri ini…negeri cinta!
Negeri keempat adalah…Padang.
Padang adalah kota dimana aku dilahirkan, dan kota dimana aku mulai mengeja kata. Sebutan “Abuuu…” untuk ibu, kala itu. Ketika umurku genap satu tahun. Lalu, 17 tahun kemudian, aku kembali lagi ke kota ini, dengan tujuan yang berbeda. Kali ini, perburuan ilmu. Perjuangan.
Maka…, aku menyebut negeri ini…negeri perjuangan!
Negeri kelima adalah…Bukittinggi.
Di antara semua negeri yang kusebut, negeri inilah yang paling singkat masa domisiliku. Hanya seumur PKP saja. Tapi, cukup meninggalkan kenangan yang membuat aku jatuh cinta, pada setiap jengkalnya. Apalagi soal jalan-jalan dan kuliner. Hehe. Maka, aku menyebut negeri ini…negeri rehat!
Negeri keenam adalah…Payakumbuh.
Sebenarnya, kurang tepat disebut Payakumbuh juga. Lebih tepatnya, Tanjung Pati. Tapi, kusebut Payakumbuh saja. Seperti laiknya Agam yang sering disebut Bukittinggi karena lebih terkenal, maka barang kali begitu pula ceritanya negeri ini. Jika, di masa dulu, ibuku yang harus mukim ke Sawahlunto karena pindah tugas, kali ini giliran ayahku. Meskipun wajah negeri ini belum terekam jelas dalam ingatan, tapi, setidaknya, insya Allah untuk empat tahun kedepan, negeri ini akan menjadi negeri paling sering kusambangi. Jika umur, kesempatan, dan kesehatan masih dianugrahkannya. Setelah ini, akan ada tiga atau empat ‘periuk’. Dan di mana-mana, tetap saja perpisahan, apalagi dengan orang yang dicintai, adalah suatu hal yang sangat tidak menyenangkan! Aku menyebut negeri ini…negeri divergen!
Lalu, negeri ketujuh?
Negeri ketujuh ini….kusebut negeri X. Negeri yang jelas saja tidak ada dalam rekam ingatan, karena masa itu belum terjadi. Meski, pada sketsa hidup kutuliskan, bahwa aku ingin menghabiskan separuh masa dengan pengabdian pada kampungku tercinta, tapii, tetap saja kehendak Allah pasti berlaku. Pasti yang terbaik!! Entah itu di kampungku, atau akan ada nama-nama negeri lain.
Negeri-negeri…
Kita tidak pernah tau, entah di negeri mana kita akan mengakhiri kefanaan dunia ini. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan, endingnya seperti apa. Semoga Allah menjadikan penutup hari-hari kita, adalah dengan sebaik-baik amal penutup. Sungguh, amalan itu tergantung pada ujungnya. Pada seperti apa akhirnya.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked