Gerimis di suatu siang. (howalaaaa, nguing…nguing…melankolis bangetz niih? Hihi)
Yah, emang gerimis waktu itu. Angkot warna merah jurusan Pasar Raya-Belimbing melaju dengan kencang menembus sang gerimis. Dan, tiba-tiba, seorang nenek tua menyetop si angkot. Dan, sang supirpun menginjak pedal rem, menghentikan kendaraannya. Nenek itu naik, dan duduk di sebelahku.
Tanpa ba-bi-bu-ba, si nenek langsung saja mengajakku ngobrol tanpa henti. Macam-macam saja yang diomongkannya, mulai dari cuaca yang terus hujan, harga sawah warisannya, tentang apapun lah, yang aku sudah lupa persisnya apa. Tiada yang kulakukan, kecuali mengangguk-angguk mengiyakan ciloteh sang nenek (entah apa yang aku anggukkan, akupun tak mengerti…hihihi) dan tersenyum-senyum mendengar cerita panjang sang nenek. Beberapa penumpang lain melirik ke arah kami sambil tersenyum-senyum. Entah apa makna senyum itu. Barangkali,mereka ikut senyum-senyum mendengarkan cerita-cerita si nenek itu. Aku merasa tak perlu mengeluarkan satu patah kata pun untuk menimpali sang nenek, karena toh beliau tak butuh timpalan. Menurut suatu teori psikologi (entah ini benar redaksionalku atau salah, dan entah siapa pula yang mengatakannya), orang tua umumnya hanya butuh untuk didengarkan curahan hatinya. Yah, mereka hanya butuh didengarkan!
Ketika angkot merah telah sampai simpang by pass kampus, tibalah saatnya aku harus turun dari angkot itu, dan berganti dengan angkot hijau Lurus, pasar baru-pasar raya. Sesaat sebelum turun, masih sempat kupandangi wajah nenek itu yang sudah mulai terkantuk-kantuk.
Ah, jika Allah panjangkan umur, maka menjadi tua adalah keniscayaan. Seberapapun banyak orang berusaha menutupi guratan tua itu dengan berbagai kosmetik berkelas, namun, tua tetaplah sebuah ketuaan. Sebuah keniscayaan yang takkan pernah dapat dinafikan. Berbicara masalah tua, maka, berbicara masalah masa. Masa yang amat sejenak, jika harus dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang begitu panjangnya. Lalu, pertanyaannya, kemana saja masa-masa yang telah lalu itu dipergunakan?
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya…” (Qs. Al Hajj : 5)
Stage-stage yang amat nyata yang Allah gambarkan. Akan seperti apakah masa itu berakhirnya? Sungguh, telah banyak kesia-siaan yang dilakukan! Terlalu banyak! Sementara, masa itu tiadalah kembali! Ah, sungguh! Sungguh naïf!
Maka, jika tidak ingin lembar sejarah buruk itu berulang, yang semestinya harus dilakukan MEMBENAHI KEHIDUPAN INI! Iya, benahi hidup!
Dari Abu Shafwan ‘Abdullah bin Busr Al Aslamy ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya.” (HR. At Tarmudzy)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked