Hari ini, aku ujian kasus di RSCM. Alhamdulillaah satu fase terlewati. Kami menyebutnya Remisi Parsial. Sebab masih ada fase konsolidasi di masa-masa tesis, insya Allah. (Hehe, udah kaya kemo kanker darah ajah niih). Tadi, pas pulang, keretanya padeett luar biasa. Padahal Sabtu. Dan setibanya di stasiun UI, keretanya berhenti sangat lama. Padahal cuma satu stasiun lagi. Aku, Rinda dan Mba Dewi memutuskan untuk turun saja. Dan benar, terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwasannya ada gangguan sehingga keretanya berhenti lama. Dan kami akhirnya menunggu bis kampus saja. Tapi, bis kampus yang lewat tak satu pun yang berhenti. Udah gitu, sedang ujan. Akhirnya aku dan Rinda memutuskan untuk jalan kaki saja dari stasiun UI hingga ke Pocin. Lumayan juga sih. Heuu... Nah, sepanjang perjalanan itulah kami ngobrol dan aku teringat kembali dengan buku Serial Cinta nya Ust. Anis Matta tentang Sayap yang Tak Pernah Patah. Judulnya ajah sudah menyayat hati. hehehe.... Baiklah, aku lampirkan tulisan menggugah dari ustadz Anis Matta ini.
Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.
Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:
O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.
Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:
O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.
Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.
Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.
Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang.
Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang.
Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita