Filosofi Pahitnya Obat


Apa paradigm orang-orang tentang obat??
Hmm…Pahit! Yaah, pahit!
(meskipun kecanggihan teknologi industri farmasi sekarang dengan desain formula yang super duper mutakhir telah berhasil menyulap begitu banyak obat-obatan yang awalnya pahit menjadi lebih maniis, sedap dan menyenangkan (hhooo). Bahkan parasetamol yang tak larut air saja bisa dibikin tablet efferfescent. Iiiihh.., apaan siih Fathel?) Okeh….okeh, untuk sementara, mari kita samakan persepsi kita bahwasannya obat adalah pahit! Okeh?

Meski pahit, tapi, yang namanya obat, insya Allah menyehatkan… Kadang, kita perlu merasakan pahitnya obat terlebih dahulu, untuk kemudian dapat kembali kepada “kenormalan” rasio dan fithrah.

Hmm…, mungkin beginilah yang kumaksud dengan filosofi obat tersebut.
Pahit, untuk menyehatkan. Jika orientasi kita adalah sehatnya, maka pahitnya pasti akan terlewati. Tapiii, kalau takut sama pahitnya, yaaaah…, sakitnya kaga sembuh2 dong? Sekarang, pilih yang mana??

Hmmm…, aku jadi kepikiran mengenai satu hal.
Begini, terkadang kita butuh merasakan pahit dulu untuk dapat menikmati sehat. Begitu lah kira-kira. Aku teringat sebuah analog sederhana di buku “untuk Muslimah yang tak pernah lelah berda’wah” karangannya Rochma Yulika sama Umar Hidayat yang diterbitin oleh penerbit Uswah (waaaah…, lengkap deskripsinya. Hmmm, ini untuk menghindari ke-plagiat-an sahaajaaa. Maklum, di skripsi2 emang macam ni kan yah?) Jadi begini…, ada seorang tukang bangunan tinggi yang ingin menyampaikan pesan kepada temannya yang berada di bawah. Ketika dipanggil-panggil, ga kedengeran. Untuk menarik perhatian temannya, ia melemparkan uang logam. Naah, duit diambil, tapi si temen henteu liyat-liyat ke atas. Si tukang lalu punya ide untuk melempar batu kecil. Nah, setelah dilemparin dan si temen ngerasa sakit, barulah dia tengok ke atas. Setelah itu, baru si tukang melemparkan pesan kepada si temennya.

Heeee, gak tau deh analognya mirip apa tidak, tapii, setidaknyaa, kita barangkali perlu merasakan “kesakitan kecil” ataupun kepahitan dulu untuk menarik hikmah, untuk mengingatkan kita.

Tahu kah kamu, apa hadiah istimewa di awal usiaku yang ke-23? Ini adalah hadiah milad paling istimewa yang pernah kuterima. Apa itu? Sebuah pil pahit yang insya Allah menyehatkan. Menyehatkanku. Benar-benar membuka mataku. 7,5 tahun aku terperangkap pada kesalahan interpretasi yang huff…masya Allah, barangkali telah membuatku kehilangan balance antara akal sehat dan perasaan. Pada fluktuatifnya semua itu. Tapii, ketika pil pahit itu harus kutelan, ketika kenyataan itu kembali “menormalkan” ketaknormalan (hehehe, anggap saja begitu. Ini mungkin pe-lebay-an tingkat tinggi kali yaaaah?), membuka mataku. Membenturkanku pada kesadaran penuh! Dan, insya Allah, menjadi penentu langkahku ke depannya.

Dahulu, --bayangkan, nyaris delapan tahun!—aku berada dalam teka-teki. Dalam sebuah “feel” (the power of ‘rasa’), sensitivity… Dan aku malah terombang-ambing. Antara rasio dan rasa tak lagi bagaikan sepasang sayap yang kokoh menerbangkanku lebih jauh. Ia telah timpang sehingga, betapa tertatihnya aku untuk dapat terbang. Bayangkanlah sepasang sayap camar yang satunya terlalu panjang dan yang lainnya terlalu pendek. Dapatkah ia terbang? Aku seperti Calibri yang mencoba berkicau. Tapi, dapatkah seeokor calibri berkicau? Dan, pil pahit itu…, Alhamdulillah telah mengembalikan semuanya.

Sekali lagi, kadang, butuh pil pahit untuk dapat mengobati rasio dan rasa kita…
^___^

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked