“Upiak1, tadi mak sudah bicara sama mamak2 kamu.” Mak berkata datar. Pandangannya tak dialihkannya dari tumpukan kain jemuran yang baru diangkatnya tadi sore.
“Soal apa, Mak?” Aku ikut melipat kain-kain itu.
“Tentang kamu.” Aku telah menebak arah pembiaraan Mak. Pasti lagi-lagi soal jodoh itu. Apa coba permasalahan yang melibatkan mamak di Minang ini kalo’ bukan soal pernikahan?
“Apa yang dibilang Mamak, Mak?” Pertanyaan basa-basi. Sebenarnya aku sedang tak berminat untuk membicarakan hal itu. Tepatnya sudah jenuh dan bosan. Bosan dengan pertanyaan Mak tentang calon suamiku.
”Bagaimana kalau kamu dengan si Buyuang anak Pak Amir?”
Apa? Buyuang?ndak salah tuh Mak? Namun, ucapan itu cukup kutelan dalam hati. Aku tak ingin membantah ucapan Mak.
“Mamaknya Buyuang telah bermusyawarah dengan mamakmu. Dia sudah setuju. Bagaimana dengan kamu, Upiak?” Mak menatapku. Aku jadi serba salah. Namun, aku tak punya jawaban yang akan diberikan kepada Mak. Tepatnya, tak punya cara untuk menyataan tidak.
Bagaimana tidak? Aku tau siapa Buyuang itu. Preman yang sering menggoda gadis-gadis dijalanan, --meski aku bukan termasuk katagorinya. Dia juga senang berjudi, mengadu ayam, dan juga meminum minuman keras.
“Terima saja, Upiak. Kalau tidak, kamu akan jadi perawan tua, barang kali. Sudah untung ada yang melamarmu.” Ucapan Mak terdengar pedas ditelingaku. Hatiku serasa terbakar. Sangat sakit.
“Astaghfirullah, Mak. Jodoh kan sudah diatur Allah. “
“Tapi, selama ini tak ada yang datang melamarmu, Nak. Apa kamu mau menyia-nyiakan kesempatan ini?” Intonasi Mak melunak. Aku mengela nafas. Kutatap wanita dengan guratan tua yang jelas diwajahnya itu lekat. Wanita yang dengan susah payah melahirkan dan membesarkanku.
“Lalu, apa dengan begitu kita harus langsung menerima lamaran dari orang yang datang meski akhlaknya ndak baik, Mak?” Aku berujar dengan nada naik. Aku bukan tak tahu bahwasannya Mak tahu perilaku lelaki yang tengah ditawarkan Mak kepadaku itu.
“Mak hanya tak ingin kamu tak dapat jodoh, Upiak.” Ujar Mak pelan. “Toh, dulu Mak juga menikah dengan almarhum Abakmu yang juga preman.”
Ya Allah, tunjukilah Mak. Sungguh beliau masih jauh dari hidayah-Mu. Karuniakan hidayah-Mu ya Rabb…
“Mak,… Hasna yakin Allah telah menyiapkan jodoh bagi kita. Kita tak perlu khawatir, Mak. Apa Mak tega membiarkan Hasna menderita jika menikah dengan laki-laki macam itu?” Aku menyelami sepasang mata milik Mak. Meski hatiku meringis.
“Tapi, Upiak! Itu kan katamu saja. Buktinya selama ini tak ada yang melamarmu. Sadar, Nak! Berkacalah! Jangan terlalu pilih-pilih.”
“Barangkali Allah belum menetapkan saat ini adalah waktu yang tepat, Mak.” Aku menelan ludah. Hatiku memanas. “Hasna yakin, Allah akan mengirimkan laki-laki yang terbaik untuk Hasna nantinya.” Pernyataan terakhir kuucapkan dengan getir.
“Cobalah kamu pikirkan lagi, Upiak! Sekali lagi Mak bilang, berkacalah!” Mak membawa tumpukan kain yang telah selesai dilipat kesudut rumah kami yang mungil lagi sumpek. Rumah yang tentu lebih pantas disebut gubuk dengan tiga ruang utama; kamar yang multi fungsi dengan ruang tamu kalau siang hari, satu bilik yang bersekat dengan dapur dan dapur itu sendiri.
Aku memutuskan untuk menuju bilik. Perkataan Mak menyinggung perasaanku. Dan itu tak pertama kalinya, tapi acap kali. Aku bisa paham. Mak adalah orang yang biasa bergaul dengan orang-orang keras dan kasar. Tak heran perkataan beliau pun kasar. Namun, aku tetap seorang manusia yang punya perasaan. Kuhempaskan tubuhku pada dipan reyot dengan kasur tua dan bantal yang sudah kuyu. Disana kutumpahruahkan bulir bening yang dari tadi membentuk genangan air dipelupuk mata. ‘Ala bidzikrillahi tathmainnul quluub. Satu pojok hatiku menguatkan. Ya, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.
Kuraih mushaf pemberian Uni Fatimah, sang Murabbiyahku3 dan kemudian tenggelam dalam muraja’ah4. Lampu diruang itu hanya lima Watt. Terlalu remang untuk membaca Al Qur’an.
Perlahan kesejukkan menyusup dalam relung kalbuku. Betapa, hatiku benar-benar bergetar. Kurasakan Allah begitu dekat berada disisiku. Bahkan Dia lebih dekat dari urat leherku sendiri. Bulir-bulir bening kian menganak sungai. Kesejukan yang begitu menyeruak dalam sejumput jiwa yang tengah didera berbagai permasalahan. Saat-saat indah bercumbu dengan-Nya.
Kutatap wajahku lewat cermin buram yang terletak di sisi kiri bilik itu. Berkali-kali aku menelan ludah. Menatap bayangan gadis dengan kulit gelap dan bersisik, bibir hitam, dan wajah penuh jerawat. Sepasang mata itu seperti seolah melotot, hidung yang sangat jauh dari mancung, bahkan lebih cendrung melebar ke kiri kanan. Dan, dua gigi depan yang selalu menonjol keluar yang menyebabkan bibir legam itu tak pernah bisa terkatup rapat. Semua itu adalah komponen pennyusun seonggok tubuh manusia bernama Nur Hasna. Ya, itu diriku.
Namun, aku belajar bersyukur atas semua yang telah dikaruniakan Allah itu. Bagiku, Allah telah menciptakanku dengan begitu sempurna. Aku lebih baik dari orang yang tak dikaruniakan-Nya mata untuk melihat, aku lebih baik dari orang yang tak dianugrahkan-Nya telinga untuk mendengar, bibir untuk berbicara, dan tangan untuk memegang, serta kaki untuk melangkah. Aku diberi nikmat kesehatan, sementara begitu banyak orang yang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Aku lebih baik dari mereka. Dan aku sangat bersyukur atas itu semua.
Dan, aku sangat lebih beruntung ketika Dia menganugrahkan kepadaku nikmat yang jauh lebih indah. Yap, nikmat hidayah-Nya. Nikmat untuk merasakan betapa indahnya mengadu pada Allah saat kebanyakan manusia terlelap dan terbuai mimpi. Nikmat untuk senantiasa tak merasa kenyang dengan kalimat-kalimat-Nya, dengan Al Qur’an-Nya. Dan aku yakin, tak semua orang dapat merasakannya.
Sebuah slide berputar dalam benakku. Masa ketika pertama kali aku diperkenalkan dengan dunia yang begitu indah yang mau menerimaku dengan tatapan hangat dan bersahabat. Setelah sebelumnya aku kenyang dengan ejekan, dan juga yang teramat menyakitkan, tatapan penuh ketakutan dari anak-anak kecil ketika melihatku. Atau tatapan anak-anak nakal yang mengejekku dengan ejekan yang terlalu pedih untuk disebutkan. Ketika terhempas dan merasa diri tak berguna itulah, aku bertemu dengan orang-orang yang mau memelukku hangat, membuatku merasa dihargai sebagai seorang manusia. Mereka adalah orang-orang mulia yang mengantarkanku ke jenjang tarbiyah, menemaniku mengenal dunia Islam yang sungguh luar biasa. Menuntunku kepada kebenaran hakiki yang sering dilupakan banyak orang. Subhanallah…
Masa-masa itu adalah ketika aku menduduki kelas dua SMP. Uni-uni yang tengah menduduki kuliahlah yang menuntunku. Mengenalkanku pada kelompok kajian intensif yang dilaksanakan secara kontinu, hingga saat ini, saat aku telah menginjak usia dua puluh tiga. Dan aku sangat mensyukuri karunia-Nya ini.
Satu lagi nikmat terbesar yang dikaruniakan-Nya kepadaku. Yap, itu adalah nikmat terbesar yang membuatku tak henti-Nya mengucap kalimat syukur. Nikmat untuk menjadi penjaga Kalimat-kalimat-Nya. Penghafal Al Qur’an. Alhamdulillah, aku telah menghafalkan Al Qur’an tiga puluh juz. Bukankah itu suatu nikmat terbesar yang kupunya sebagai karunia terindah dari-Nya? Maka nikmat Allah mana lagi yang patut kuingkari setelah sekian banyak nikmat-Nya teruntuk padaku?
*****
Hari semakin berlalu. Mak masih mempermasalahkan soal pernikahanku. Bahkan, terkesan memaksaku untuk menerima perjodohan itu. Mak berpendapat, “sudah untung ada yang melamar kamu, Upiak! Sudahlah, terima saja! Dari pada kamu jadi perawan tua. Ingin mengunggu siapa lagi kamu, hah? Mak tak yakin akan datang orang lagi setelah ini. Kesempatan tak datang dua kali, Upiak!” Ya, seperti kebanyakan orang tua, Mak sanagat khawatir aku tak dapat jodoh. Apalagi dengan kondisi fisikku seperti ini. Bagi Mak dan kebanyakan orang di kampungku, usia dua puluh tiga itu sudah terlalu tua. Apalagi, soal fisik dan harta itu masih sangat menonjol. Padahal, Rasulullah mewasiatkan bahwasannya memilih pasangan hidup itu hendaklah memprioritaskan agamanya terlebih dahulu.
Apakah salah jika aku menginginkan seorang pendamping hidup yang shaleh? Aku tak berharap dia seorang kaya dengan pekerjaan bonafit, seorang yang sangat tampan, lulusan universitas ternama dengan IP tinggi. Cukup seorang yang shaleh, titik! Sosok yang mau menerimaku apa adanya. Aku yang hanya seorang lulusan SMA. Meski kemudian aku ikut lembaga Tahfidz Qur’an yang sama sekali tak membayar. Yah, lagi-lagi karena himpitan ekonomi itulah! Padahal, semasa SMA aku juara kelas dan secara akademis berpeluang besar untuk kuliah. Aku tak ingin menyusahkan Mak. Itu saja. Tapi, aku tetap ingin bersyukur dengan keadaanku saat ini. Setidaknya, aku masih senang melahap banyak buku ilmu pengetahuan, apapun itu. Aku ingin, punya pemikiran cerdas. Aku tak ingin ketinggalan dari teman-temanku yang punya kesempatan untuk kuliah.
Salahkah jika aku ingin punya qawwam yang menuntunku ke syurga, tidak ke neraka-Nya? Aku ingin pula membentuk keluarga Qur’ani yang rumahnya ramai dengan lantunan Al Qur’an, yang penghuninya senantiasa mengamalkan isi Al-Qur’an, senantiasa mentadabburinya dan menghafalnya. Aku ingin pula punya imam yang mengajakku qiyamullail setiap malam dan menta’limku dengan ayat-ayat-Nya. Itu saja! Sekali lagi, tak perlu ganteng, kaya, dan punya pekerjaan bonafit! Lalu salahkah aku? Tak bolehkah?
Pemikiran itu terus menderaku. Hingga langkahku kini terseret kerumah Uni Fatimah. Untuk sekedar melepas gundah, menatap wajah teduh nan cantik itu. Memenuhi akan rasa haus ukhuwah yang terasa begitu indah.
“Assalamu’alaikum.” Kuketuk daun pintu jati itu tiga kali. Aku kini telah sampai didepan rumah yang sederhana tapi asri itu. Langkah-langkah kecil terdengar dari balik pintu.
“Wa’alaikumcalam” Terdengar suara cadel milik Zaid, anak uni Fatimah yang baru berumur tiga tahun. Jundi kecil itu dulunya sering takut melihatku, tapi kini telah akrab denganku. “Eeh.., Ammah Canah? Yuk macuk!” katanya gembira. Sang ummi yang tengah berdiri dibelakangnya ikut tersenyum. Aku mengucap salam dan memeluk Uni Fatimah, lalu si kecil Zaid.
“Gimana kabarnya, ukhti?”
“Alhamdulillah baik. Uni gimana?”
“Alhamdulillah…”
Ummahat berumur tiga puluhan itu mempersilahkanku duduk dan mengidangkanku secangkir teh hangat dan satu toples kue kering. Kami larut dalam cerita. Pada akhirnya, aku ceritakan jua perihal keinginana Makku untuk menjodohkan aku dengan preman itu. Aku ceritakan bagaimana aku tak ingin melawan pada Mak, dan tak ingin mengecewakan beliau.
“Uni, carikan untukku ikhwan yang bersedia menerimaku apa adanya. Tak perlu ikhwan yang punya jam terbang tinggi, ganteng dan kaya. Yang penting shaleh dan punya komitmen terhadap dakwah. Uni, Hasna tak ingin punya qawwam yang tak punya iman. Uni,… Mak sudah hampir memaksa Hasna. Bahkan, diam-diam beliau telah merencanakan pernikah Hasna dengan Mamak”
“Ukhti,… bersabarlah. Allah pasti takkan menimpakan ujian berat jika hamba-Nya tak sanggup memikulnya. Ishbiri ya ukhti…, Insya Allah, Dia akan memberikan pilihan yang terbaik yang punya kualitas iman sama dengan anti. Uni yakin dan percaya, dengan kualitas Hasna yang sedemikian tinggi ini, anti tak akan disia-siakan oleh-Nya. Bersabarlah ukhti… banyaklah berdo’a, memohon kepada-Nya”
Aku tergugu. Kalimat-kalimat yang disampaikan uni Fatimah memang benar-benar memenuhi rongga dadaku. Oh Allah tolonglah hamba-Mu ini…
*****
“Upiak, pernikahan kamu sudah Mak siapkan! Tinggal menunggu hari. Kira-kira sebulan lagi. Kamu persiapkanlah diri.” Kata-kata Mak malam ini bagai petir menyambar ditelingaku.
“Apa, Mak? Tidak bisa begitu, Mak! Hasna kan belum setuju.!!” Aku protes. Dadaku bagai tertohok alu besar. Hatiku serasa dicincang.
“Kamu harus setuju, Hasna! Kalau tidak, kapan lagi? Mak tak suka kamu menolak begitu, padahal dia sudah bersedia menikah dengan kamu.”
Kata-kata Mak terasa sangat menyakitkan bagiku. Aku ingin melawannya. Tapi, aku tak ingin menjadi anak yang durhaka dengan berkata yang tidak baik kepada Mak. Meski yang diperintahkannya adalah perintah yang tak baik, tapi aku ingin menolaknya dengan cara yang ma’ruf. Namun, untuk saat ini, kemarahanku sudah sampai diubun-ubun. Jika diteruskan, pasti akan melukai perasaan Mak.
Segera aku menuju sumur belakang. Membasahi tubuhku dengan wudhu’ lalu mengurung diri di bilik. Kutunaikan shalat dua raka’at, lalu bertilawah. Bulir-bulir bening menganak sungai di pipiku. Betapa sedihnya hati ini mendengar berita mengejutkan itu. Aku teringat akan pembicaraan yang tak sengaja kudengar saat melewati pos pemuda siang tadi.
“Kenapa ang mau pula menikah dengan padusi buruk rupa itu, Yuang?”
“Ang indak tahu! Padusi5 itu sangat menarik untuk dibuat mainan, wua..haa..haa… Padusi macam itu kan tipe istri setia. Kita kan masih bisa ‘main’ di luar. Ha..haa..haa..”
Betapa sakitnya hatiku. Aku benar-benar merasa harga diriku diinjak-injak. Aku tak ingin seburuk itu. Aku ingin menjadi istri yang baik, patuh dan berbakti pada suamiku, pada imamku. Lalu, aku akan bersuamikan orang macam itu? Na’udzubillah…, Dosa apakah yang telah kuperbuat pada-Mu Rabb, hingga Engkau timpakan ujian yang begitu berat?
Berulang kali aku menghalau rasa sedih dan pilu di hatiku dengan beristighfar. Namun, rasa itu makin perih mengiris ulu hati. Menyayat lembaran batinku. Air mata yang kini telah kering dan menyisakan bengkak dipelupuk mataku belum apa-apa dibanding hancurnya hatiku.
Miris kubayangkan beberapa ikhwan yang menolakku saat ta’aruf ketika melihat kondisi fisikku. Mereka ikhwan itu menolak dengan alasan yang berbeda namun maksudnya nyaris sama. Yap! Sama-sama menolak dengan alasan fisik semata. Ah, barangkali Allah akan menghadirkan untukku ikhwan yang lebih berkualitas yang tidak hanya berorientasi pada fisik semata. Kendatipun, ikhwan juga manusia yang cendrung pada yang cantik, pada yang lebih wah. Namun, hanya Ikhwan yang ketulusannya dan keikhlasannya benar-benar terujilah yang mampu melihat dengan mata hati yang bernama iman.. Insya Allah aku akan mendapatkannya. Begitu kata uni Fatimah.
Ya Allah, bukannya hamba tak bersyukur diberikan keadaan seperti ini ya Rabb,… tapi hamba hanya tak ingin hamba menjadi orang yang kufur dengan nikmat-Mu. Sungguh sangat banyak nikmat-Mu ya Rabb…dan hamba ingin menjadi orang yang senantiasa bersyukur pada-Mu.
Wahai Allah, hamba yakin, ditangan-Mulah letak segala kepitusan itu. Hamba sepenuhnya percaya ya Rabb, bahwa keputusan-Mu adalah keputusan yang terbaik. Rabb,… berikanlah yang terbaik bagi hamba ya Allah,…
Ya Allah, karuniakan bagi hamba qawwam yang juga mencintai-Mu. Seseorang yang senantiasa dekat dengan-Mu, dan senantiasa berjihad dalam memperjuangkan agama-Mu. Bukan imam yang lupa pada-Mu, bukan imam yang membawa hamba ke neraka-Mu. Rabb,…karuniakan yang terbaik untuk hamba ya Allah, ya Rahman ya Rahiim.
Ya Allah,…jangan Engkau letakkan di pundak hamba beban yang tak sanggup hamba memilkulnya ya Rabb… Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang terbaik bagi hamba-Mu ya Allah,…
*****
Waktu yang berjalan semakin menyiksaku. Aku merasa tengah menempuh jalan gelap yang curam dan penuh duri. Hari yang mengerikan itu semakin dekat. Aku hanya ingin mempasrahkan kepada sang Maha Pemilik Keputusan. Aku hanya ingin merasa selalu dekat dengan-Nya, mengingat-Nya dikala suka maupun duka.
“Upiak, ada teman kamu datang.” Mak memberi tahu ketika aku tengah termenung sendiri didalam bilik pagi hari yang cerah ini. Akhir-akhir ini, aku merasa tak bersemangat membantu Mak mencuci kain orang,--pekerjaan yang kami tekuni dan juga membantu para tetangga untuk memanen sawah, lalu kami diberi upah. Aku lebih senang mengurung diri di bilik.
Betapa berbinar wajahku, ketika kudapati yang datang adalah Uni Fatimah. Setelah berbasa-basi sedikit, Uni Fatimah menyatakan maksud kedatangannya.
“Ada yang ingin ta’aruf dengan anti, ukh… Ini biodatanya. Silahkah dibaca.” Wajah legam penuh jerawatku memerah. Dadaku bergemuruh. Ya Allah, akankah ini jawaban dari permohonan hamba??
“Insya Allah, sore ini beliau bersedia untuk ta’aruf. Ukhti datang ke rumah ya…, ba’da Asyar insya Allah.”
“Sore ini, Uni?” Dadaku kembali berdebar tak karuan. Anggukan yakin uni Fatimah semakin memacu detak jantungku.
*****
Lelaki tegap dengan kulit coklat tembaga , jangkung, berhidung cukup bangir. Ya, dialah ikhwan yang dua minggu lalu berta’aruf denganku. Dia menyatakan kesediaannya untuk menikahiku. Seorang mantan aktivis kampus di Universitas tempat dia kuliah dulunya. Juga seorang sarjana Teknik yang punya segudang aktivitas dakwah. Dan telah bekerja di perusahaan elektronik cukup berkelas. Empat tahun lebih tua dariku.
Betapa aku ingin selalu menyimpan di relung memoriku, tentang sepotong kalimat yang membuat aku begitu terpesona; ana hanya ingin seorang akhwat yang komitmen dengan dakwah, dan sang hafidzah yang siap membentuk generasi qur’ani. Kalimat itu diucapkannya mantap waktu itu.
“Apa antum takkan kecewa dengan kondisi ana?” Bahkan aku yang merasa tak pantas untuk mendampingi ikhwan luar biasa itu.
“Bagi ana, semua ini sudah lebih dari cukup. Allah tak pernah melihat rupa seorang hamba, namun,Dia akan menilai ketaqwannya.”
Aku benar-benar bersyukur atas karunia-Nya. Allah, Maha Rahman dan Maha Rahim memberiku lebih baik dari apa yang kupinta. Lalu, nikmat Allah mana lagi yang pantas manusia dustai? Sungguh Dia akan menambah nikmat-Nya bagi orang-orang yang bersyukur.
(cerpen ini awalnya diajukan untuk antologi cerpen pernikahan FLP Sumbar, tapi kagak lolos. Huhuhu. Akhirnya dikirim ke Harian Singgalang. Alhamdulillah, diterbitkan. Di Koran Harian Singalang, 7 Desember 2008) Keterangan :
1. panggilan terhadap anak gadis di Minang
2. paman (kalau di Minang paman memiliki andil yang besar dalam membuat keputusan)
3. guru pembina/guru ngaji
4. mengulang kembali hafalan Al Qur’an
5. perempuan