Ibu setengah baya itu datang dengan mata sayu. Wajahnya penuh harap.
Tiba-tiba petugas apotek memanggil, “Bu Melatiii.” (bukan nama sebenarnya). Ia terkesiap. Lalu beranjak berdiri. “berapa bu?” tanyanya pada petugas apotek.
“Empat ratus dua puluh ribu ya bu.”
Tampak sekali ekspressi kekagetan di wajahnya. Tampaknya di dompetnya tak ada lagi tersisa uang sebanyak itu.
“Sa..saya tidak punya uang sebanyak itu, Bu.”
“Waduh…” si petugas apoteknya jadi ikut merasa bersalah. Serba salah. “Begini saja bu, ibu balik ke dokternya lagi, minta diresepkan yang generic saja. Kalau yang generic Cuma dua ratus lima puluh ribu, Bu.” Ia berbalik ke arah poliklinik lagi. Setengah jam kemudian dia kembali muncul di apotek.
“Bu, kata dokternya, TAK BISA DIGANTI. HARUS RESEP yang ITU.”
Kembali sang petugas apotek jadi serba salah.
“Bu, mohon sama dokternya, bilang kondisi ibu gimana. Bilang kalau ibu ga sanggup bayar, dan mohon agar obatnya diganti ya bu.”
Si ibu paruh baya kembali berbalik dengan langkah gontai dan lesu.
Lagi-lagi ia kembali dengan tangan kosong. Lalu mengatakan, “kata dokternya, GAK BISA!”
Akhirnya, ia mengluarkan henpon tua dari tas bututnya.
“Bu, saya tinggalkan HP Saya ini di sini sebagai jaminan. Insya Allah kalau ada duit nanti saya bayar. Anak saya perlu obat ini bu.”
Akhirnya, pihak apotek memberikan obat yang diminta dengan jaminan henpon tuanya yang sama sekali sudah ketinggalan jaman.
Hari ini, aku masih melihat henpon itu tergeletak di salah satu lemari kecil di apotek. Masih pada posisinya semula.
Hiiiihhh….
Sungguh geram aku melihat dokter yang tak punya perasaan itu! “LAH TANGGA UREK RASO nyo, agaknyo mah!”
Huuuuh! Sudah menjadi rahasia umum , pasti ini semua ada kaitannya dengan “kerjasama dan bonus2 perusahaan tertentu agar dokter meresepkan obatnya itu!”
Dasar, para MAFIA!
Di mana nuranimuuuuuuuu????!!!!
Apa salahnya dia resepkan saja obat generic? Itu kan membantu pasien kurang mampu!!!
Apa sih yang dikejarnyaaa? Duit?? Bonus??
Makan tuh bonus!!! Makan sampai abiiiiiis! Ampe bengkak tuh perut!
(Astaghfirullaah. Kenapa aku jadi emosi begini yaah? Astaghfirullaah.)
Tapi, sungguh…sungguh perlu dipertanyakan dimana nurani dan perasaannya. Mentang2 dia memang “berkuasa” berbuat sekehendak hati meresepkan! Tak adakah di hatinya terselip rasa iba? Apa ia tak khawatir dengan terkabulnya do’a-do’a orang-orang yang terdzalimi? Apa dia gak khawatir dengan pertanggungjawabannya kelak? Apa dia ga khawatir, hartanya menjadi tak berkah, sementara harta itu akan dipakainya untuk memberi makan anak-anaknya. Dan darah yang mengalir di sana…, ada hak-hak orang lain.
Sungguh…, sungguh miris!
Dan yang lebih anehnya lagi, ketika sang dokter itu datang ke apotek meminta suatu obat, dengan jelas-jelas da terang-terang dikatakannya, “SAYA MAU YANG GENERIK. Ingat loh yang GENERIK!”
Ketika giliranya yang sakit, dia justru memilih yang generic. Sungguh aneh!
Di lain negeri, adalah seorang dokter yang senantiasa meresepkan obat generic, dan meresepkan obat patent hanya untuk orang-orang kaya yang memang menginginkan obat paten saja. Lalu temannya mencibir sambil mengatakan, “woi…nyadar woi, kamu gak bakalan kaya dengan mesepkan obat generic yang harganya hanya sepersepuluh harga obat patent. Ha…ha…”
Tapi ia tetap “istiqomah” dengan cara yang ia pilih. Dengan ketulusannya. Dengan usahanya untuk meringankan beban-beban orang-orang yang kurang mampu. Lalu apa? Hartanya berkah. Anaknya cerdas. Pasien2 begitu banyak yang memilih dia. Dan ia dido’akan dengan kebaikan! Bukankah itu jauh lebih baik ketimbang menumpk-numpuk kekayaan dunia dengan menginjak-injak orang lemah lalu dido’aan kejelekkan oleh si pasien.
Fiuff…
Semoga masih tersisa nurani itu…semoga….