Menu kali ini adalah semangkuk soup sosis dan sepiring samba lado. Juga menu cinta dan ukhuwah. Ba’da asyar, kami sudah stand by di dapur wisma kami. Wisma kami, surga kami, sekaligus villa kami. Kebersamaan yang hanya sebentar lagi. Giliranku kini yang memasak. Aku baru menyadari, ketika kita memasak dengan cinta, apapun hasilnya akan luar biasa.
Intermezzo story : salah seorang akhwat pernah curhat bahwa ia sangaat malas memasak di rumah karena setiap dia memasak tak pernah diapresiasi. Selalu saja diprotes, “ini begini dan itu begitu”. Padahal, memasak adalah seni. Hasil tangan seseorang tak pernah sama, meskipun anak kembar sekalipun. Temanku yang seorang psikolog membahasakannya : individual difference. Jadiii : plajaran pertama : jangan pernah halangi anakmu untuk belajar memasak dengan mematahkannya! Apresiasilah ia. Ini adalah sebentuk upaya untuk meningkatkan motivasi instrinsik bagi mereka.
Lalu, kami saling bercerita, saling share, saling menguatkan. Di tangan kami ada wortel, kentang, sosis bawang dan cabai. Sungguh, aku begitu menikmati sejenak yang indah ini. Sempat pandanganku tertuju pada pohon kelapa yang ada di luar wisma.
Pohon kelapa itu, walaupun terlihat sama, tapi setiap orang akan memiliki penilaian yang berbeda. Ini mungkin analog yang sangat klise. Tapi, begitulah. Memang begitulah adanya. Ketika kami bercerita. Ketika kami saling memberikan pendapat tentang bagaimana mengambil sikap atas suatu masalah, atas suatu case, akan ada perbedaan-perbedaan cara pandang itu, sama seperti kita menilai satu pohon kelapa itu. Tapiii, sesungguhnya kemudian, kami menyadari, betapa ini sebuah pembelajaran. Bagiku, ini semua adalah sebuah pembelajaran. Mungkin di wisma, kami mendapatkan kehidupan yang bias dikatakan ideal atau setidaknya “limit mendekati ideal”, tapi belum tentu di luar sana. Belum tentu di luar sana. Makanya, di sini, kami belajar memahami.
Maka, sudah seharusnya kita meneladani khudwah hasanah, Rasulullaah, ketika menempatkan sikap yang berbeda terhadap masing-masing sahabat Beliau. Cara apresiasi yang berbeda pula. Beliau menyebut Abu Bakar dan Umar dengan penyebutan sikap yang berbeda. Pun begitu terhadap Bilal dan Zaid. Juga terhadap semua sahabat2 yang lainnya. Rasulullah sangat menghargai individual difference ini.
Tentang kebersamaan ini, laiknya anak panah, maka, kami telah berada di busur-busur yang sebentar lagi akan dilepas. Barangkali arahnya berbeda-beda. Masing-masing kami harus survive dengan kondisi lapangan yang ternyata jauh lebih “ganas”. Tak seideal yang kami dapatkan di wisma.
Tapi, sebuah perpisahan adalah niscaya. Kedinamisan pun niscaya. Banyak yang datang, dan jua banyak yang pergi. Berdo’a kepada Allah, semoga yang ‘pergi’ itu bukanlah kami. Salah satu bentuk kesyukuran akan hidayah-Nya adalah dengan penjagaan terhadap hidayah itu sendiri. Dan tiadalah sanggup manusia dapat melakukannya, melainkan karena rahman dan rahimnya Allah.
Semangkuk soup sosis dan sepiring samba lado akhirnya terhidang dibawah tudung saji. Menunggu waktu kami untuk “romantisme talamisasi wisma” saja. Sebuah kebersamaan yang memberikan pelajaran.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked