Dalam ruangan tanpa kaca, aku termangu.
Di antara dua ratus mahasiswa, aku termangu.
Di tengah gerahnya dinding kayu jati dengan AC seadanya…
Dalam ruangan tanpa kaca, tiada hujan.
Meski ia mengguyur ranah dan tanah. Di luar sana.
Kuyup.
Deras.
Dalam ruangan tanpa kaca,
Aku seperti dilemparkan pada masa lalu,
Pikiranku melayang padanya,
Cinta indah yang memberikan energi luar biasa, untukku, juga
untuknya.
Kata mereka, adalah suatu ketakpantasan, ketika rasa-rasa
itu masih tetap saja bersisa.
Satu sisi hatiku berteriak, “apakah salah jika aku
mencintainya?”
Tidak.
Kurasa tidak!
Sekali lagi, tidak!
Karena aku mencintai, bukan berarti aku tak
mengikhlaskannya.
Karena kutahu, ada yang lebih mencintainya. Ada yang lebih
berhak mencintainya.
Lalu, perlukah aku menakar harga untuk sebuah kepantasan? Perlukah?
Tidak!
Satu genangan bening ternbendung di pelupuk mata.
Sering kali cinta mencipta air mata.
Sering kali.
Karena cinta, adalah pengorbanan. Bukan pamrih.
Karena cinta adalah kerelaan, bukan paksaan.
Karena…, aku mencintainya.
Aku mencintainya
Aku merindukannya,
Lalu masih adakah jua sebuah harga kesempatan untuk sepucuk
rindu?
Karena aku tak mampu melawan dimensi waktu. Pada tatanan
masa yang sama sekali tak lagi sama.
Dia yang lebih baik dariku
Dia yang lebih bersahaja dariku
Dia yang lebih dewasa dariku
Itu kata mereka.
Aku membenarkan. Karena memang ia lebih baik dariku. Dalam banyak
hal, bahkan hampir semua hal. Kenapa? Karena aku mencintainya. Sekali lagi,
karena aku cinta.
Rahasiaku, rahasianya.
Rahasianya, rahasiaku.
Karena kami memang saling bertukar cerita. Hingga larut
gulita.
Cerita yang kini dibawanya pergi. Pergi ke tempat yang
takkan pernah bisa kusambangi, setidaknya untuk saat ini.
Aku cemburu pada mereka yang tertawa berdua dengan orang
yang dicintainya? Dengan orang terdekat dalam hidupnya. Orang-orang yang
menemani hari-hari mereka.
Iya!
Aku cemburu. Sebab aku tak pernah bisa lagi membersamainya
seperti dulu lagi, tidak seperti mereka. Yang masih bisa bercengkrama. Masih bisa.
Settiap aku melihat mereka bercengkrama, aku seolah dihadapkan pada masa-masa
itu. Masa, di mana aku masih bisa tertawa bersama dengannya, berbagi cerita
dengannya, saling menularkan semangat dengannya. Ia yang penyabar. Ia yang
cerdas. Ia yang hanif. Ia yang senantiasa mengajakku pada kebaikan. Di Masa itu.
Masa itu…, telah cukup lama berlalu.
Ah, andai…, andai aku bisa menanggung separuh bahkan semua
bebannya, ingin kuserahkan pundak ini untuknya. Untuk menanggung beban itu. Karena
cinta –sekali lagi-, adalah pengorbanan. Andai bisa, apapun akan kuberikan. Tapi,
kehendak siapakah yang berlaku? Tentulah Allah, Dzat yang Maha Agung yang
memilikiku, juga dirinya. Allah lebih Tahu, bahwa dia lebih sanggup memikulnya
ketimbang aku. Dan aku juga tak hendak bermain dengan pengandaian. Tak boleh
ada pengandaian!
Jangan kau katakan aku menyesalinya. Aku tak pernah menyesali
keputusan terbaik dari Dzat Yang Maha Memberi Keputusan. Tak pernah! Aku serahkan
semua urusan ini pada-Nya. Dan memang, semua adalah hak-Nya.
Hanya saja, tak bolehkah aku mengenang?
Pada masa itu…
Pada masa yang takkan pernah kulupa…
Takkan pernah!
20042004
Kau boleh membacanya , 20-04-2004, atau apalah!
Aku menyebutnya, April yang sendu. Lara. Duka.
Dia…, dia…, dia…yang kucintai, kembali kepada Dzat Yang
Lebih mencintainya. Dzat yang segala cinta adalah milik-Nya. DIA-lah Allah,
yang lebih berhak baginya. Bagi sosok yang kucintai itu.
Kau tahu?
Sungguh, ada senyum menghiasi bibirnya. Senyum terakhir yang
kulihat. Kuabadikan di setiap lembar memori. Senyum terindah. Bahwa, tiada lagi
beban itu. Bahwa, ia kini telah bisa beristirahat dengan tenang.
Masih lekang diingatanku, ketika kugenggam erat jemarinya. Mata
kami saling bersitatap sangat lama. Seolah kami tak ingin saling berpisah. Seolah
kami tak ingin melewatkan seperseratus detikpun. Itu adalah kali terakhir kami
bertemu. Terakhir kalinya. Setelahnya. Tak
ada lagi hari-hari bersama. Tak ada lagi cerita dan canda tawa bersamanya. Tak ada
lagi. Dan takkan pernah ada lagi di atas kefanaan dunia ini.
Dia…, adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya. Bahkan,
--mungkin naïf—jika kukatakan, bahwa belum ada yang mampu menggeser posisinya
di hatiku. Belum ada. Karena ia memang takkan pernah tergantikan. Motto kami
adalah, “the best friend and sister”. Teman dan saudari terbaik! Yaa, memang
dialah yang terbaik. Setidaknya menurut kaca mataku.
Aku tahu, ada ratusan air mata yang tumpah, mengiringi
kepergiannya. Bahkan siangpun ikut sendu dengan mentari yang bersembunyi di
balik awan. Mengantarkannya pergi pada alam keabadian. Semua urusan dunianya
telah selesai. Dia telah berlayar menuju bahtera lain yang takkan mungkin
kujumpai lagi di atas kefanaan dunia ini. Ia yang orang-orang menyebut sebagai
jama’ah paling banyak sepanjang sepuluh tahun terakhir, untuk menyolatkannya. Aku
berdo’a, semoga ratusan orang yang ikut menyolatkannya, ada sekurang-kurangnya
empat puluh orang yang tak menyekutukan-Nya. Agar ia terbebas dari fitnah kubur
itu. Semoga. Untuk sosok yang kucinta itu.
Aku…aku…tak hendak meratapinya. Tidak! Sama sekali tidak! Karena
aku tahu, itu adalah keputusan terbaik dari-Nya.
Adalah keputusan terbaik!
Sekali lagi, keputusan terbaik yang DIA lebih tahu mana yang
terbaik itu.
Aku tak sedang menggugat keputusan-Nya. Sama sekali tidak!
Hanya saja, kesedihan adalah hal yang begitu manusiawi. Sebagaimana
baginda Rasulullah yang juga menangis ketika anak beliau Ibrahim meninggal
dunia.
Hanya satu harapku.
Pertemuan di hari yang abadi itu kelak.
Aku snagat berharap, semoga Allah kembali pertemukan kami. Pada
hari yang abadi. Pada hari itu. Allahumma amiiin.
Di ruangan tanpa kaca.
Kuseka bulir bening yang mulai tumpah dari pelupuk mata.
Satu per satu mahasiswa meninggalkan, ruangan tanpa kaca ini.
Aku ikut beranjak.
Mengenakan mantel hujan, menuju mushalla.
Hujan belum reda.
Sama seperti hatiku yang basah, seberapapn aku menyukai
hujan…
Sungguh, aku mencintainya. Aku mencintainya, karena Allah. Aku
encintainya, karena Allah. Karena ia mencintai Allah. Aku…sungguh menicintainya.
Suatu saat, aku pun pasti akan menyusulnya.
Pada satuan waktu yang takkan pernah bisa diduga.
Maka, sekarang, yang perlu kutanyakan pada diriku adalah…
Perbekalan apa yang telah kupersiapkan untuk menyusulnya?
Kulangkahkah kaki satu satu.
Membiarkan sandal dan kaos kakiku kuyup bersama hujan.
Biarlah.
Biarlah ia ikut basah.
Sebasah hatiku, saat ini. saat mengenangnya.
“Detik, jam, hari, bulan, tahun berlalu… Jatah hidupku
semakin berkurang. Bau-bau kematian semakin hari semakin mendekati hidungku.
Penyakitku… ya, memang, penyakit adalah salah satu penyebab
aku ingat mati dalam usia belia. Namun, aku betul-betul tak ingin ingat mati
hanya karena penyakit.
Tapi, aku selalu ingin mengingatnya karena Allah, yang
membuatku semakin hari semakin menambah dan memperbaiki ibadah serta kebaikan.
Karena maut tidaklah datang hanya pada orang yang
berpenyakit, tapi pada setiap makhluk yang tak tahu kapan dan dimana.”
(ini adalah tulisan yang kutemukan di salah satu buku
tulisnya. Tulisan ini kusalin sesuai dengan aslinya, tanpa pengeditan sama
sekali. Ia menulisnya tak lebih dari dua bulan sebelum ia meninggalkan kefanaan
dunia ini untuk selama-lamanya. Tulisan ini sering kali mengingatkanku akan
hari yang pasti itu. Bahwa aku PASTI akan menyusulnya)
Dia adalah…my best friend and my best sister…, Yuna.
subhanallah...sendu bgt kak...
ReplyDeleteuntaian katanya bikin larut...
turut bduka jg bwt sahabat kk, tp sprtinya dia udah mdptkan yg tbaik di sana, insyAllah
persahabatan yg indah, tp bgitu pedih ktk kita dihadapkan pd perpisahan, tp itu jg romantikanya, kita ttp hrs menikmatinya, walau perih, walau seberat apa pun kita melepasnya
smg Allah meridhoi smw amalannya di dunia n diampuni dosanya, amin
@Ice :
ReplyDeleteIya...sediiih banget...
sahabat kak itu adalah adik kak sendiri Ce,
kami cuma beda 1 tahun 4 hari...
jadi, kami seperti sahabat saja.
kyaaaa.....adik sendiri??
ReplyDeletelebih2 lagi sedihnya kakak...
c juga sama kakak c udah pny ikatan hati yg kuat bgt, klo c jd kakak n kehilangan kyk gitu, ga tau deh bs ttp tegar ato ngga,tp moga aja disaat hal itu tjd smg Allah mbri c kekuatan...
@Ice :
ReplyDeleteiyyaah...
hidup ntu ada porsinya ndiri2 kan ce??
pasti menurut Allah dah sesuai dnegan takarannya. iya tho?
semangat!!!
^^
semangat ^,^
ReplyDeleteTrimakasih Ice ~_^
ReplyDeletedan kami ikut menyalatkan di shaf2 itu pi...
ReplyDeletekami anak2 kos bu Nurhaida....
Allahumaghfirlaha warhamha
dan kita bertemupun karena kemiripan pi sama dia...
Ma shaa Allah uniiii 🥺🥺🥺🥺
ReplyDeleteTerharuuu...