(waktu pertama kali tau karya ini dimuat, waaaah...jingkrak-jingkrakan abiss. Hihi...
Alhamdulillaah... eheem..., jangan lupa beli majalahnya yaah. Hehe, bantuin Promo)
Yuuuk...let's start reading...^^
Jika bukan
karena perintah ibu, tentulah sangat malas sekali kakiku melangkah menuju
istana megah itu. Sungguh dari dahulu perbedaan status keluarga telah membuatku
tersurut berpuluh-puluh langkah. Betapa sangat tak sebanding sekali jika aku
berikut keluargaku harus disandingkan dengan keluarga yang bersemayam di istana
mewah itu. Meskipun, kini...
”Cobalah
kau besuk pamanmu itu, Mar. Mereka pasti akan senang jika kau datang
menjenguknya.” begitu kata ibu beberapa hari yang lalu. Jika harus menidakkan
perintah ibu, sungguh berat lidahku berkata kendatipun seperti ada berton-ton
beban berat menindih pundakku untuk melaksanakannya. Aku memilih bungkam.
”Sejak
pamanmu demikian, semua orang menjauh dari keluarga itu. Kalau tidak kita
sebagai kerabat yang memiliki hubungan yang cukup dekat, lalu siapa lagi?
Paling tidak kau bisa memberikan sedikit banyak semangat atau menghibur. Betapa
tidak enaknya sudah jatuh tertimpa tangga pula.” imbuh wanita paruh baya yang
teramat kusayangi dan kuhormati itu. ”Bagaimana, Mar?” akhirnya kuanggukkan jua
kepalaku mengiyakan. Kulihat senyum terukir di wajahnya yang mulai keriput.
Tinggal
satu belokkan lagi untuk mencapai rumah paling mewah di kompleks perumahan yang
persis berada di pusat kota itu. Kupercepat kayuhan sepeda tuaku. Bulir-bulir
garam mineral sisa cairan eksresi membanjiri wajah dan kaos oblongku. Hingga,
aku boleh bernafas lega ketika kurem sepeda bututku di depan pagar tinggi
berbahan dasar besi bercat putih yang mulai terkelupas itu. Salah satu komponen
penyusun sarafku segera memerintahkan organ tangan untuk memencet bel.
Pagar besi
itu berderit. ”Maaf Mas, nyari siapa
ya?” seorang lelaki paruh baya berpakaian agak lusuh dengan kucuran keringat
dan handuk kecil kumal tersampir di pundaknya melengokkan kepala dari balik
pagar besi.
Aku
menggaruk kepala yang tak gatal. Rupanya lelaki ini tak mengenalku. Berbeda
sekali dengan tukang kebun sebelumnya eh...bukan, tukang kebun dua tahun lalu
yang sangat akrab denganku. Aku berkenalan dengannya ketika menghadiri syukuran
paman atas terpilihnya ia sebagai kepala dinas kesehatan. Barangkali karena
sudah terlalu lama aku tak ke sini. Entah sudah keberapa kalinya penghuni rumah
mewah ini berganti pembantu dan tukang kebun. ”Pak Syamsul ada?”
Lelaki
paruh baya itu terlihat ragu. ”Ng...” bibirnya menggumam. ”Kalau ibu ada, Mas.
Tapi, kalau bapak...” ia terlihat ragu.
”Maksud
saya ibu ada, Pak?” potongku cepat.
”Oh...ada,
Mas. Silahkan masuk.” ia mendorong pagar itu, memberiku jalan.
Kuayunkan
langkah gontai sambil mendorong sepeda tuaku perlahan. Mataku tak lepas mengamati
pekarangan luas ini. Dari dahulu, aku tak penah bosan mengamati taman yang
tertata apik. Pohon-pohon yang berdiri kokoh dengan jarak yang teratur,
semuanya terpangkas rapi. Di bagian ujung, ada kolam ikan yang sangat cantik
dan terkesan alami. Pikiranku sibuk berkhayal, andai saja taman-taman ini
milikku, pastilah...
”Eh,
Umar.” suara wanita mengagetkanku. Lamunanku buyar sudah. Belum sempat neuron-neuron yang terjalin dan
tersimpul rumit di dalam batok kepalaku memerintahkan sesuatu, tiba-tiba wanita
itu telah memelukku. Aku gelagapan. Suatu adegan yang tak pernah terpikirkan
olehku sebelumnya.
”Ke mana
saja, Mar? Sombong sekali. Jarang main ke sini. Bagaimana kabarmu? Sudah gede’ begini.” wanita itu melepas
pelukkannya. Sungguh, aku masih bengong.
Bagaimana bisa sok akrab begini? Padahal, aku adalah ponakannya yang paling
jarang mengunjunginya dan paling tidak dekat dengan keluarga elit ini. Meskipun
wanita itu adalah kakak kandung ibuku. Ibuku, berikut sebelas saudaranya yang
lain.
”Eng...
saya kuliah Bi. Jadi, jarang punya kesempatan pulang ke rumah.”
”O ya?
Sudah kuliah rupanya. Masa’ tidak
pernah kasi kabar? Jurusan apa?” ada
kerutan di keningnya ketika mendengar ucapanku. ”Ayuh, masuk dulu.”
”Makasih,Bi. Saya jurusan ilmu politik.” Kumasuki rumah megah itu. ”Kabar
paman bagaimana, Bi?” akhirnya kupilih momen ini untuk mempertanyakan kabar
seseorang yang dengan niat membesuknya kulangkahkan kaki ke sini.
Wajah di
hadapanku berubah sendu. Samar, ada kerutan tak jelas di dahinya. ”Itulah, Mar.
Mungkin kau sudah mendengar juga beritanya. Bibi tidak tahu harus berbuat apa.”
”Penyebabnya
apa ya, Bi?” kududuki kursi empuk di ruang tamu rumah mewah ini. Hmm..., enak sekali duduk di kursi ini.
Andaikan...
”Pamanmu
itu adalah korban, Mar.”
”Maksud
Bibi?”
”Korban
ketidakadilan di negeri ini.”
Aku masih
mengernyitkan dahi. ”Saya masih tak mengerti, Bi.”
”Seharusnya
beliau masih menjabat sebagai kepala dinas kesehatan sampai sekarang. Tapi...,”
wanita itu mulai menyeka bulir bening yang mengaliri pipinya yang tersaput
kosmetik berkelas. ”Tiba-tiba ada sekelompok oknum yang tak menginginkan
keberadaannya. Beliau diberhentikan secara tak terhormat dengan alasan yang
tidak jelas. Lalu, tiba-tiba saja bawahannya naik, menggantikan posisi beliau.
Pamanmu tak bisa menerimanya.”
”Apakah
tidak bisa dilaporkan Bi? Seharusnya bisa diproses di pengadilan.” aku protes.
”Sudah.
Sudah, Mar. Tapi, beliau kalah di persidangan.” bulir bening semakin tumpah
ruah saja. ”Pamanmu itu Mar, orangnya jujur. Tidak suka korupsi. Kalau soal
harta, apalah. Toh, dari klinik dan dokter praktek kehidupan kami sudah
terpenuhi.”
”Sayang
saja, di dunia perpolitikkan itu susah sekali ditemukan orang-orang jujur.
Ketika ada yang jujur, langsung di’pangkas’. Ini pasti sebuah persengkokolan
untuk mengambil hak-hak rakyat.” kini, pandangan wanita itu lebih sinis.
”Iya, Bi.”
aku tak tahu harus mengatakan apa. Paling kemudian aku menggumam kecil,
mengiyakan, mengangguk, atau menampilkan ekspresi wajah terperangah.
Teori-teori politik yang diajarkan dosenku dengan bercuap-cuap seperti hilang
lenyap entah di mana. Terkadang, teori memang tak sama dengan realita di
lapangan, itu pendapatku. Nisbi. Tak ada rumusan empirik soal ini. Ah, apa
peduliku?
”Pamanmu
benar-benar tak bisa menerima, tetapi, juga tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya,
yah, seperti itu Mar. Di dunia kesehatan sendiri, tekanan batin seperti ini kemungkinan
besar mengakibatkan ketidakseimbangan suatu zat kimia di otak bernama dopamin
yang diduga menyebabkan kondisi mentalnya terganggu.”
”Apakah
tidak ada usaha membawa paman ke dokter jiwa atau dokter syaraf, Bi?” kupasang
wajah penuh simpatik.
”Kau tahu
sendiri Mar, pamanmu itu dokter ahli syaraf nomor satu di kota ini. tak ada
junior-juniornya yang sanggup menangani. Bibi juga sudah bingung, Mar. Sebagai
dokter, Bibi tak mampu berbuat apa-apa selain memberikan obat-obat penenang
untuk beliau.”
Hening.
Aku tidak
tahu lagi harus membuka percakapan apa. Untung saja beberapa menit setelahnya, seorang
pembantu rumah itu menyodorkan nampan berisi minuman segar. Aku benar-benar
merasa tertolong dengan kedatangannya. Tak menunggu lama setelah disilakan, aku
meneguk minuman itu.
”Mari, Bibi
antar menuju pamanmu.” wanita itu beranjak. Kuikuti langkahnya, menaiki tangga
porselen rumah itu. Wanita itu kemudian memutar handle pintu persis di ruangan yang berhadapan langsung dengan
tangga.
”Mas, ini
Umar. Anaknya Mbak Linda.” wanita itu mendekat. Sosok yang duduk menghadap ke
jendela itu tak bergeming. Ruangan berukuran dua puluh meter persegi itu
terlihat berantakan. Ada beberapa alat kedokteran di sana seperti habis
diacak-acak pemiliknya. Buku-buku yang tergeletak tak beraturan. Bahkan, juga
torso-torso yang sudah bercerai berai, seolah-olah menjadi korban mutilasi.
Komputer di ruangan itu juga menyala.
”Mas.”
wanita itu menyentuh pundak lelaki yang terlihat lebih kurus itu perlahan. Baru
setelahnya, ia bergeming. Wanita itu memberi isyarat agar aku mendekat. ”Ini
Umar lho Mas. Lihat, dia sombong
sekali. Sudah lama tak main ke sini. Mas kangen
tidak?”
”Paman,
ini Umar.” kuraih tangan kurus yang menyembul urat-urat di balik lapisan kulit
itu sembari menciumnya takzim.
”Pergi!”
tanpa kuduga, tangan itu direnggut kasar. Aku sontak terkejut. ”Saya tak perlu
sopan santun dari anda, para koruptor!” tiba-tiba wajahnya merah padam.
Sepertinya dia sangat marah sekali. Ia menunjuk batang hidungku.
”Mas, dia
bukan koruptor. Dia Umar.” masih dengan kesabaran penuh, wanita itu
menjelaskan.
”Heh,
dengar ya para koruptor! Akan kubuat sebuah pil anti korupsi. Biar
pejabat-pejabat itu tak bisa korupsi. Yah, satu-satunya jalan untuk memberantas
penyakit korupsi di negeri ini adalah dengan membuat pil anti korupsi.
Ha...ha...., mati kau para korupsi! Mati kau!” tiba-tiba lelaki itu terbahak.
Wanita di sampingnya kembali mengisyaratkan agar aku keluar dari ruang itu.
”Tunggu...tunggu,
nak. Kemarilah.” baru beberapa meter kuayunkan langkah, tiba-tiba terdengar
panggilan dari ruangan itu. Suara serak milik lelaki yang kini semakin kurus. ”Duduklah
di sini.” tunjuknya pada satu bangku di sampingnya. Wajahnya tampak berseri
ramah. Sungguh hebat! Dalam sepersekian detik bisa saja berubah. Begitu
dahsyatkah pengaruh satu zat yang bernama dopamin –seperti kata bibi-- di dalam
batok kepala manusia itu? Apakah gila itu juga dapat dibuat rumus kimianya? Ah,
rumit sekali. Dan lagi, bukan bidangku membahas masalah seperti itu. Aku
sepertinya tak perlu bersusah payah mencerna istilah-istilah aneh itu. Bagiku, gila
ya gila. Titik. Tak perlu ada analisis lanjutan dengan istilah-istilah rumit
seperti itu.
”Kau harus
tahu anakku, Indonesia menduduki peringkat pertama negara-negara terkorup di
Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) mengatakan bahwa Indonesia
memiliki skor yang tinggi untuk angka korupsi dan lembaga-lembaga survei lainnya
juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di negeri kita tercinta ini
berbagai upaya pemberantasan korupsi ternyata belum cukup ampuh untuk
menghentikan praktik korupsi. Perangkat hukum, pengawasan, sanksi hukum, dan
pembentukan lembaga independen, serta adanya pengadilan tipikor tak mampu
membendung kejahatan tersebut. Korupsi tetap merajalela, bahkan semakin hari
semakin memprihatinkan dan membuat miris.” lelaki itu berujar lancar
seolah-olah seperti seorang pakar
politik yang handal. Sebagai mahasiswa ilmu politik, aku cukup dibuatnya
terperangah. Bahkan, gaya bicaranya melebihi pengamat politik sekaligus dosen
di kampusku.
”Satu hal,
sangat perlu ada inovasi dan terobosan-terobosan baru untuk memutus
menghentikan korupsi ini. Untuk itulah saya hadir. Saya berjanji akan membuat
pil anti korupsi itu. Saya benar-benar ingin mengabdikan diri untuk negeri ini.
Maaa..juu tak gentaaar, membeeeela yang benaaar.” Kemudian ia menirukan nyanyi
ciptaan C. Simandjuntak itu dengan penuh semangat. Kalau bukan ingin menghargai
bibiku yang tengah menatap lelaki itu prihatin, sungguh sudah dari tadi aku
terbahak.
”Dengar ya
bocah, di otak manusia ada bagian syaraf yang mengatur masalah prilaku. Nah,
zat kimia yang menghantarkannya itu salah satunya adalah dopamin. Sel saraf
dopamin dalam perilaku manusia membawa sinyal yang berguna untuk mempelajari
kemungkinan reward dan probabilitas
pengambilan keputusan atas adanya reward
tersebut. Sel tersebut mengkode aksi yang akan dilakukan ketika suatu reward diberikan. Peran utama dopamin
sebagai pusat motivasi perilaku.” Ia menjelaskan sesuatu yang benar-benar
membuat kepalaku perlu berputar seratus keliling dulu untuk memahaminya. Kurasa
aku tak perlu mencernanya. Untuk apa? Tak ada gunanya bagiku. Lelaki ceking itu
mengoceh seperti setengah mabuk.
”Heh, kau
tahu apa itu reward? Ha...ha...,
dasar bodoh! Reward adalah segala
sesuatu dimana makhluk hidup akan berusaha melakukan kerja untuk
mendapatkannya. Sesuatu yang menyenangkan! Kau tahu contohnya apa? Kekayaan!
Jabatan! Kursi panas! Akan selalu ada upaya untuk mendapatkannya terus menerus.
Kau harus tahu juga, reward itu
sendiri tidak akan memberikan rasa kepuasan. Ia akan terus menuntut untuk
mencari dan terus mencari. Begitulah para koruptor. Dan saya, saya akan membuat
pil yang akan memutuskan keinginan-keinginan itu. Pil anti korupsi. Ha...ha....”
ia kemudian terbahak lagi. Meski tidak paham dengan apa yang disampaikannya,
tak urung aku bergidik ngeri juga. Bagaimana ia akan memutuskan
keinginan-keinginan itu? Sedangkan ketidakseimbangan jumlahnya saja seperti
yang dikatakan bibi telah membuat orang-orang bisa gila, apa lagi
memutuskannya. Gila! Benar-benar gila! Ups, bagaimana aku bisa terbawa dan
percaya begitu saja dengan ucapannya. Bukankah dia hanya sesorang yang gila?
Jangan-jangan, aku ikut gila juga? Waduh!
”Hey!
Kenapa kau diam, bocah? Kau koruptor juga ya? Habis kau!!”
Plak!
Bug!
Bug! Bug!
Belum
sempat saraf refleksku memerintahkan untuk menghindar, pukulan itu sudah lebih
dahulu mendarat di batok kepalaku berkali-kali. Benda keras yang terbuat dari
besi. Sungguh, aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Bumi seperti sengaja
memperlihatkan rotasinya kepadaku dengan putaran yang sangat kencang. Ada
kunang-kunang dan bintang-bintang seperti menari-nari di atas kepalaku. Sebelum
akhirnya tak sadarkan diri, masih kudengar jeritan bibi. Setelahnya, aku
seperti terbang ke negeri entah berantah. Gelap.
***
Hari ini,
beberapa tahun semenjak tragedi itu terjadi. Aku sendiri sudah nyaris lupa
bahwa aku pernah dihajar oleh seorang korban praktik KKN dan aku sebagai
mahasiswa politik yang dungu, tak mengerti apa-apa kala itu. Namun kini, aku
bukan lagi Umar yang demikian. Aku Umar Al Faruq, PhD.
”Mar, sesungguhnya
di dalam otak manusia ada bagian yang yang mengatur pola tingkah laku. Hal yang
paling menakjubkan adalah ternyata perilaku manusia itu ditentukan oleh reward yaitu sesuatu yang akan
mendatangkan kesenangan dan ketenangan dan punishment
yaitu sesuatu yang menakutkan dan membahayakan. Sesuatu itu akan dikerjakan
jika memberikan reward dan akan
dihindari jika ia mendatangkan punishment.”
”Maka dari
itu, jadilah seorang pemimpin dan pengemban amanah di negeri ini yang tidak
mengharapkan reward dari harta
korupsi dan kesenangan duniawi yang takkan pernah puas atau menjadi seorang
pemegang tanggungjawab besar itu hanya karena takut pada punishment berupa penjara, sidang tipikor atau pencerabutan
jabatan. Jangan sekali-kali. Sungguh, reward
dari keberhasilan kau menghadirkan negeri madani dan kebahagiaan rakyatmu jauh
lebih berharga dan memberikan nilai kebahagiaan yang besar dalam hidupmu. Dan sungguh,
punishment bahwa segala yang kau
pimpin itu akan diminta pertanggungjawabannya di hari perhitungan yang maha
teliti yang tak satu rupiahpun terlewati akan jauh mengawalmu ketimbang sidang
pengadilan tipikor di dunia yang sementara dan fana ini.”
”Tentu
saja, semua ini tak mudah didapatkan, melainkan dengan pembentukkan moral yang
baik semenjak dini. Negeri ini tak butuh orang yang hanya cerdas saja, tapi
juga butuh orang-orang yang bermoral yang tak mengharapkan reward dari harta duniawi semata.”
”Jika
sudah demikian Mar, maka tak perlu lagi pil anti korupsi itu. Tak perlu lagi.
Jika pemimpin negeri ini beserta perangkatnya seperti itu, tak perlu lagi ada
inovasi dan terobosan baru dalam memberantas korupsi dan pemberian efek jera.
Tak perlu lagi pengadilan tipikor. Paman percaya, kau akan mengemban
tanggungjawab itu dengan sebaik-baiknya, Mar! Jadilah agent of change!”
Itu di
antara beberapa wejengan yang diberikan pamanku yang dua tahun lalu keluar dari
rumah sakit jiwa. Kata-kata yang diucapkannya sebelum beberapa saat aku
menduduki kursi berduri sebab semestinya istilahnya demikian karena begitu
beratnya tanggungjawab yang harus dipikul. Bukan kursi empuk yang membuat
orang-orang berpikir bahwa ini posisi empuk untuk mengeruk sebanyak-banyaknya
kekayaan dan menguras hak rakyat. Sungguh untuk hal ini, tak pernah lekang dari
ingatanku. Setiap mengingatnya, satu senyum senantiasa menghiasi sudut bibirku.
Baiklah paman, aku berjanji!
Yah, aku
Umar Al Faruq, PhD, salah satu pengemban amanah sebagai pemimpin negeri ini.
_the
end_
ikutkan blog uni pada kontes blog, di fb ana ada kok... supadilah/padil ya uni....
ReplyDelete@Fadil:
ReplyDeletekontes blog?
dimana tuh?
siyapa yg ngadain tho?