Maafkanlah, Dik....
Tubuh lemah itu tergeletak, pasrah.
Dadanya naik turun, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Di pergelangannya terpasang selang infuse yang menetes satu demi satu, seolah menanti detik demi detik…
Matanya mendilik, kiri dan kanan…tak beraturan…
Kakinya tampak pucat…
Ah, tidak…
Sungguh aku tak sanggup lagi berdiri di hadapannya lebih lama.
Bahkan, untuk menyematkan sebingkai senyum saja…aku tak sanggup…
Ada yang tersekat di kerongkonganku…
Ah, maafkanlah, Dik…
Maafkan kakak yang tak bisa menemanimu lebih lama…
Kuselamatkan diri, menuju ruang belakang.
Sungguh, cairan bening itu tak terbendung lagi.
Sendiri, aku tergugu…
Dalam diam, bahuku terguncang…
Aku tak bisa menghalau pikiranku, dan sungguh aku tak bisa menghentikan perasaanku…,
Tentang segenap rasa itu yang tiba-tiba mencuat…,
Tentang segenggam ingatan yang tiba-tiba muncul…
Tubuh lemah itu, denyut nadi itu…memaksaku untuk kembali pada masa lalu.
Pada tatanan masa yang mungkin takkan bisa kulupa.
Ia tetap tersemat dalam satu lembar memori hatiku. Hatiku yang basah, kini…
Tentang semua memori indah yang pernah ada, tentang kesedihan mendalam atas kepergiannya…, seseorang yang padanya aku teramat cinta…
Tentang kebaikannya, tentang kecemerlangan daya pikirnya, tentang cerita indah kami dan tentang apa pun itu…
Ah, Allah…
Sungguh, aku tak hendak menggugat segala keputusan-Mu…
Sungguh, wahai Rabb, yang jiwa ini ada dalam genggaman-Mu…
Dan bukankah hanya kepada-Mu, segalanya akan kembali
Suatu saat, yang telah Engkau tetapkan, akupun pasti akan menyusulnya
Wahai Allah,
Engkau lebih menyayanginya…
Tiba-tiba, salah satu temanku menyentuh pundakku…, perlahan…
“Ada apa, Thel?”
Aku menggeleng. Pelan.
Dan tiba-tiba saja, diskusi siang ini membuat apa yang kuplajari menjadi lenyap.
Segenap rasa itu, masih tergugu. Bahkan, sejenak sebelum aku meninggalkan bangsal itu…, rasa itu masih saja bersemayam.
Bangsal Anak, 25 Maret 2010
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked