Ng…semalam diriku sempat liyat iklan dari dinkes yang sangaaaaaat menarik! (aih, ini iklan paling menarik sepanjang tahun 2010 yang pernah kuliyaat! Halaaah! Lebay! Hihi). Iklannya tentang seorang pasien yang berobat ke dokter lalu bilang ke dokternya, “Pak, saya minta obat generic yaah.” Lalu, si dokter menjawab, “Iya Bu, pasien berhak untuk meminta haknya menggunakan obat generic.” Lalu, ketika si pasiennya nyampe di apotek, dia mengatakan ke apotekernya, “Obatnya yang generic ya, Bu.” Di jawab si apoteker, “Iya Bu, pasien berhak untuk meminta obat generic.”
Ck..ck..ck..luar biasa! Ini info yang sesungguhnya sangaaat bermanfaat bagi masyarakat.
Tapiiii, sesungguhnya ada hal yang begitu miris yang kutemukan di lapangan yang membuat aku nyaris tidak percaya lagi dengan dokter dan juga apoteker! Aku bahkan sempat men-justifikasi bahwa hampir semua dokter itu MAFIA. Dan, kebanyakan apoteker juga adalah MAFIA! (hehehey, termasuk diriku dong?! Ehehe, semoga saja tidak, karena sebenarnya yang “pegang kendali” itu adalah dokter).
Riilnya begini, ng…yang namanya “kerja sama” antara dokter sama perusahaan farmasi itu bukan rahasia umum lagi kan yaah? Jadi begini, dengan suatu “kontrak politik” (loh!loh!loh! knapa kontrak politik pulak yaah? Emangnya partai! Hihih) kontrak tertentu maksudnya, ada “simbiosis mutualisme” antara dokter dan perusahaan farmasi tertentu yang MERUGIKAN pasien. Lebih kurang isinya begini, “jika si dokter bisa meresepkan obat ini sebanyak segini dalam waktu ini, maka perusahaan akan memberikan bonus berupa, mobil, rumah, tiket jalan2 gratis ke luar negeri atau apaaaalah gituuh!”
Jika “pangsa pasar” eih, maksudnya segmen yang dibidik itu tepat dan peresepannya sesuai dengan aturan, bolehlaah, tak perlu dipersalahkan.
Tapiiiii, masalahnya tak banyak orang yang bisa tahan liyat duit! (betapa addiktifnya duit itu yaaah? Bahkan, lebih adiktif ketimbang narkoba!). pas diiming2 duit, itu biji mata langsung ijo!
Maka, yang terjadi di lapangan adalah PERESEPAN YANG TIDAK RASIONAL dan PENINDASAN TERHADAP PASIEN (yang sangat lugu dan telah mempercayakan 100 % eih 90 % ding, kesembuhannya kepada si dokter). Walaupun kuncinya tetaplah di pasien, mau beli apa tidak, tapi, di sini pasien ibarat raja yang bodoh yang mau saja di atur2 oleh sang patih yang licik. (eih, analognya mungkin sedikit membingungkan, heee…).
Begitulaah!
Sering yang terjadi di lapangan, demi mengejar uang, demi mengejar target peresepan,dokter meresepkan obat pasien yang tidak lagi rasional. Melebihi dosis yang seharusnya. Regimen dosis yang tidak pas lagi. Dan, tanpa pandang bulu lagi, tanpa melihat-lihat lagi, apakah pasiennya golongan orang mampu atau tidak! Jadinya, ketika menebus obat, pasien yang awalnya sakit diabetes misalnya, jadi nambah sakitnya, hipertensi dan depresi, karena kehabisan duit buat nebus obat. Mesti mikir2, nyari di mana yaaah dit segitu banyak! Bayangkan! Suatu obat A (sebut ajah begitu) yang harga generiknya Cuma Rp. 5.000,- harus ditebus pasien (yang kebanyakan kurang mampu!) dengan harga paten Rp. 230.000,-. Haduuuh, itu nurani dikemanakan siiih? Apa tidak mikir, banyak yang “mengutuk”nya di belakang nantinya. Untung ajah tuh pasien lugu n mau ajah nerimo karena si pasien gak ngerti. (makanya, kataku tadi, iklan itu mencerdaskan). Hampir semua aku temui kek gini. Ini tentu lain cerita dengan pasien yang kaya raya brataa…yang emang maunya dia diresepkan obat paten nan mahal sangat itu! (itu kataku tadi, menyoal segmen pasarnya siapa, mesti diliyat2 dululah!)
Nah, lain pula ceritanya dengan apotek. Ng…jika dokternya udah baik, udah mau meresepkan yang generic, tapii, orang apotek pula yang bikin ulah. Digantinyalah obat generic ini sama paten, biar harganya lebih mahal. Secara, kan pasien kaga ngerti tulisan dokter yang kebanyakan super duper jel*knya itu (makanya, kalo jadi dokter, mesti blajar nulis lagi sama guru kelas 1 SD. Hehehe). Ditambah lagi, penulisan resep yang menggunakan istilah latin. Nah..nah…, tentulah pasien kagak tau itu obat generic atau paten kan yah? Wal hasil, sama sajaaa, akhirnya obatnya pun tetep mahal. Haduuuh, dimana nuraninyaaa? (kan yang namanya bisnis apotek, bukan profit oriented melulu. Gak kayak bisnis kebanyakan yang memang orientasinya adalah laba. Bisnis apotek, setengahnya adalah unsure social jugah!).
Apalagi kalo yang dokter sama apoteknya berkerja sama dengan licik untuk memahalkan harga obat!
Haduuh…haduuuuh…kasihan pasiennya! Udah jatuh, ketimpa tangga pulak (kata pepatah). Ng…sebenarnya (kalo liyat2 pangsa pasar) bisnis seperti perapotekan ini jauuh lebih menguntungkan. Mungkin di segi materi tidak yaah, tapi di segi sosialnya! Ketika kita membantu orang yang kesusahan, dengan memberikan obat generic (khasiat nya sama tho?), secara tak langsung kita telah bersedekah kepada orang tersebut. Sedekah yang sangaaaaat diam2. Tak ada orang yang tau. Udah gituh,insya Allah harta pun menjadi berkah. Iya tho?!
Jadiii, hal pertama yang harus kita cermati dan kita ambil kesimpulannya adalah, jika mau berobat, MINTALAH DOKTERNYA UNTUK MERESEPKAN OBAT GENERIK! Itu hak paisen looh!
Kedua, tanyalah apotekernyaa (sesuai PP 51 tahun 2009, mengenai peran apoteker!). Hoo…iya! Jika teman2 sekalian pengin diskusi, hayuuuk, qta diskusi sama2 deeh. Dengan senang hatiiii aku akan tanggapi, siapa pun itu. Dengan demikian, aku jadi banyak belajar dari dirimu semuaaaa. Betul tak?
Trus, kesimpulan yang paling penting adalah, sebenarnya yang perlu “DIPERBAIKI” itu bukan systemnya yang utama, melainkan, “PERSON” yang ada di dalamnya. Semacam “bengkel akhlak” kali yaaah?! Juga reminders, saling mengingatkan!
*Merindukan akan hadirnya generasi-generasi rabbaniy…