Komentar dari Komentator


Wah….wah….wah…., aku siih sebenarnya BUKAN orang yang pas untuk menuliskan ini. Pengalaman tak ada, ilmu pun tak punya! Atau, malah jangan-jangan seperti ini, “Hiiiihhh…., ini anak masi bau kencur --(hee…sampai skarang aku gak ngerti deh, knapa istilahnya bau kencur? Kenapa tak bau ompol ajah skaliyan. Hihi.)--, sudah brani-brani pulak ngomongin soal ini! Hahay…”

Hanya saja, sedikit tertarik dengan tulisan yang ditulis oleh Da Rahmat di sini…Hehe dan berniat untuk menyambungnya. Uhm….sebenarnya semua berawal dari ke-iseng-anku (hahay! Dassaaaaarrr, suka iseng!) menguping (husy! Kebiasaan jelek! Mohon jangan ditiru!) pembicaraan orang-orang yang bermasalah. Uhm…sebenarnya tak sepenuhnya nguping siihhh, lebih tepatnya, gelombang bunyi itu sampai ke telingaku dengan proses menggetarkan membrane timpani, lalu sinyal di sampaikan ke impuls2 saraf trus (uhm…apa lagi yaah, udah lupa tuh plajaran biologinya. Hihi. Lagian, intinya kan Cuma gini : itu suara kedengaran, tanpa perlu di-uping-in sekalipun! Hehe). Jadi begini, yang sering datang ke rumah itu kan orang2 curhat semua tuh, mengenai masalah rumah tangga mereka. Jadi, sedikit banyaknya, aku denger2 jugak. Hehe, sekaliyaaaan nyari ‘ilmunya di sana. Hehe. (sebenarnya, apapun kan bisa kita jadikan plajaran yah? Asalkan kita mau belajar ajah kaleee…).

Memang benar apa yang di sampaikan dalam blognya Da Rahmat itu, bahwa “Siapa bilang nikah itu indah?”. (hehe, ‘afwan Da, sedikit mengutip judul tulisannya). Mungkin, banyakan, mikirnya yang so sweet-so sweet nya ajah, tapi, lupa menyisakan Ruang untuk hal-hal lain yang menjadi nyatanya setelah dijalani. Iya tho!? Klo diriku kan tak pengalaman, jadiii, masi boleh ngomong suka-suka ajah! Hag..hag…
(Maklum, penonton kan komentator paling hebat dari pada pemain, walaupun kebanyakan penonoton tak lebih hebat dari pemain. Dan, kali ini, aku laiknya penonton yang hari ini Cuma bisa jadi komentator. Mohon pemaklumannya. Hihi).

Nah, --mengutip kata ayahku, dengan redaksional yang sama sekali tak sama tentunya--, jika masi sinjel-sinjel beginiih (bacaan dari : single, hehe) mungkin kita bisa penginnya begini, penginnya begitu, yaah suka-suka kitanya ajah. Nah, jika udah bekeluarga, mesti ada asosiasi antara dua (dan lebih) keinginan, mimpi, cita-cita, pola pikir de es te nya yang GAK SELALU SAMA. Bahkan LIMIT mendekati tidak sama! Gak bisa dong, pake kata “suka-sukanya saia sahajaa lah.” Karena, ini menyoal penggabungan antara dua bekgrond, dua kultur, dua habit, dua pola pikir, kepribadian yang berbezzaaa. NAH, --lagi-lagi ngutip kata-kata ayahku dan lagi-lagi dengan redaksional yang berbezzaa--, di sini pentingnya MANAJEMEN KOMUNIKASI ITU. Dan, dari hasil riset (howalaaa, kapan pulak niiih aku ngadain riset!) bahwa INTINYA permasalahan keluarga itu adalah terletak pada KOMUNIKASINYA!

Yah, namanya juga menggabungkan antara dua hal dengan bekground, dengan MIMPI dan CITA-CITA, dengan latar belakang, dengan pola pikir de es te yang berbeda, tho!? Nah, keberbedaan ini, cendrung menimbulkan KONFLIK! Yang membuat orang2 banyak berkesimpulan “Siapa bilang nikah itu indah!”.
Mengenai konflik ini, uhmm….bagi yang suka baca tulisannya Mba I-Je yang S-2 psikologinya jebolan UGM itu looh, hihi, barangkali persepsi setiap orang pun berbeda, dan bagaimana ia menolerir konflik itu pun berbeda. Kalo si suami misalnya, yang segini dan begini ini sudah dikategorikan konflik, bagi si isteri belum. Dan, perbedaan persepsi tentu akan berimbas pada perbedaan men-tolerir si konflik. Uhm…perlu adanya pelurusan pandangan kale yaah, penyamaan persepsi jugak deh!

Tapiii, sebenarnya, intinya itu adalah MANAJEMEN KOMUNIKASI nya itu tadi. Karena, selain kepribadian, selain bekrond kluarga, selalin habit, kultur, ada lagi hal nyang membedaka antara laki-laki dan perempuan itu. Pada dasarnya, perempuan cendrung berpikir “terlalu jangka pendek” dan laki-laki pada umumnya lebih mengglobal. Makanya, kepala rumah tangga itu yah lelaki, karena Allah sudah lebihkan beliau-beliau ini di sininya. Banyak loh, perempuan yang mikirnya spontaneous begete, sehingga akibat-akibat ke depan tak terpetakan. Sebagai contoh, kisah nyata, tanpa menyebutkan siapa orangnya, di suatu daerah yang sedang berkembang, hiduplah sepasang suami-istri yang hidupnya sejahtera (halaah, macam pembukaan dongeng ajah niih? Hihi). Nah, mereka mulai merintis bisnis minimarket. Bisnis itu rupanya mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat yang terbukti dengan begitu berkembangcepatnya itu minimarket. Nah, ketika bisnis mulai mencapai puncaknya, si istri mulai deh banyak maunya, mau beli ini, mau beli itu, maunya kek gini kek gitu. Sementara, si suami, lebih melihat secara global, sebaiknya yah begini-begini dulu lah. Karena perbedaan ini, terpiculah konflik. Si istri banyak maunya, si suami gak bisa ‘mengendalikan’ kemauan sang istri sehingga ujung2nya, jadi goyah itu bisnis. Wal hasil, minimarketnya pailit dan terjual, si suami istri akhirnya bercerai di pengadilan. Uhm…sebuah contoh kecil dari sekian banyak pencetus konflik yang disebabkan perbedaan-perbedaan itu. Dan, satu hal yang pengin diriku garis bawahi di sini (sebagai seorang komentator, hihi) yaitu ; inti permasalahannya terletak pada KOMUNIKASI yang MENJEMBATANINYA! Allahu’alam.

Uhm….perlu penyamaan persepsi, dan dikomunikasikan. Perlu penyatuan visi dan misi, dan dikomunikasikan. Gak bisa dong yah, mentang2 laki-laki memang umunya lebih visioner ketimbang perempuan, dan lebih mampu memetakan secara global, lantas ngomongnya “HARUS BEGINI, MESTINYA BEGITU” tanpa terlebih dahulu mempertanyakan apa pendapat sang istri dan tanpa terlebih dahulu mendengarkan apa isi hatinya. Iya tho?? Hihi. Dan, jika memang sang istrinya belum bisa memetakan, dikembalikan pada JEMBATAN KOMUNIKASI tadi. Sebaliknya, gak selalu dong yah, laki-laki selalu benar. Sebab, umunya perempuan itu lebih detil ketimbang laki-laki, terutama untuk hal-hal kecil. Nah, gentian dong, yang ngingetinnya. Lagi2 dikembalikan pada komunikasi antara keduanya.
(lagi-lagi, sebagai komentator hanya bisa berkomentar sahajaaaa, muhun maap jika banyak yang gak tepat, banyak yang salah kata. Maklumlah, si komentator. Hihi)

Eh….eh….., sedikit menambahkan yang out of topic dari tulisan di atas, uhm…diriku rasa, perlu adanya ‘kesesuaian jiwa’ dalam keluarga itu. Karena, kalo kata ibnul Qayyim, cinta itu adalah “kesesuaian ruh” sang pelakunya. Dengan hal yang senada, Ust. Anis Matta pun membahasakan cinta jiwa itu, bahwa jiwa-jiwa itu perlu adanya kesesuaian. Tak negrti juga aku, rumit untuk dijelaskan mengapa jiwa itu memilih ini atau itu, tapi yang jelas kesesuaian jiwa itu pasti akan berasa dengan sendirinya. Uhm…., barangkali lebih kurang ‘chemistery’ itu kali yaah. Ah, udah ah! Gak enak juga membahasakan ini sementara aku bukan orang yang fahim. Hehe.

Kesimpulannya?
Hehe….sederhana sahaaajaa kesimpulannya: YUUK BLAJAR LAGI!

2 comments:

  1. lah ahli fathel tu, tinggal praktiknyo se lai :)
    sedikit meluruskan, judul tulisan uda tu bernada "pertanyaan murni" bukan "pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban" (lupo apo istilahnyo). jd klw ado yg menjawab pertanyaan di judul tu dg "saya yg bilang", maka uda akan menimpali dg "kalau begitu saya sependapat dg sodara."
    jd intinya, menikah itu memang indah (jika dijalani sesuai tuntunan Islam). justru semua perbedaan itu yg membuatnya indah. dan tulisan uda tu dibuat bukan sebagai luapan kegembiraan "pengantin baru" (malah tdk bisa dibilang baru lagi).
    :)

    ReplyDelete
  2. hehehehehe...
    *cari ajian dulu Da...

    uhm..baru ngeh Da..hehehe

    siiip lah Da...
    selamat berbahagia Da, hihi...^^

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked