dua hati... |
Sesungguhnya, aku membahas ini bukan apa-apa. Hanya murni sebuah penilaian dan penyelaman semata. Bukan sebab apa-apa! Bukan karena aku tahu dan bukan sebab aku memahami dengan sedalam-dalamnya pemahaman. Bahkan bukan pula sebab aku akan menghadapi masa-masa ini (hehe). Ini murni hanyalah sebuah muara tentang apa yang aku jumpai. Dan, aku hanya berani menuliskannya di blog, sebagai muara wacana. Sebab, pengunjung blogku ini juga tak banyak. Hehe.
Ini merupakan integrasi antara realita yang sering kujumpai, perasaanku sendiri sebagai perempuan, minatku yang cukup besar dengan dunia psikologi dan terakhir sebab aku sering membaca buku-buku yang berbahasa jiwa dan buku-buku bernada psikologi dan kejiwaan barang kali. Buku yang kubaca terakhir ini adalah Catatan Seorang Istri, karya Mba Asma Nadia yang diterbitkan oleh LPPH. Buku best Seller ini sebenarnya bukan buku new Realese. Sudah diterbitkan sejak 2007. Aku juga sudah pernah membacanya sebelumnya, walau belum semuanya.
Jujur, membaca buku ini membuatku sempat mengucurkan air mata. Mungkin karena semata aku menilainya dari sudut ‘rasa’ seorang perempuan. Apalagi, aku kerap berjumpa perempuan-perempuan yang ditinggalkan suaminya. Aku mendengar langsung kisah mereka. Bukan sebab mereka melirik laki-laki lain, maka mereka ditinggalkan. Bahkan, mereka adalah perempuan-perempuan setia. Tapi...lagi-lagi, ada sebaris tanya dalam benakku, mengapa banyak laki-laki begitu? Pun, apa yang diceritakan Mba Asma Nadia dalam buku ini tak jauh berbeda. Juga tentang luka yang begitu dalam ditorehkan, pada banyak perempuan. (Kusarankan, bukan hanya perempuan, sebaiknya para lelaki juga jangan sampai melewatkan buku ini. Banyak kisah inspiratif di sana).
Aku tahu, laki-laki dan perempuan memang sangat berbeda. Aku pun tahu (meski bukan pelaku, tapi banyak cerita sudah cukup mewakilkan) bahwa PASTI akan ada amukan badai dengan berbagai tingkatan di tengah laut kehidupan yang mempertemukan perbedaan-perbedaan itu. Tapi, aku harus bertanya jua, kenapa ini juga terjadi pada keluarga yang memiliki kesetiaan luar biasa dan telah menyerahkan satu lokus di hatinya sepenuhnya pada orang yang Alloh halalkan itu? Lalu, apa artinya kesetiaan, ketulusan dan cinta itu, jika bukan tanpa sebab juga dikhianati pada akhirnya? Sungguh...aku masih bertanya-tanya. Mengapa?
Aku sering diskusi dengan ayahku soal ini. Ayah menangani banyak kasus ini setiap harinya, dan berjumpa begitu banyak persoalan ini yang harus diselesaikan. Aku sering bertanya pada ayahku, sebenarnya, seperti apa sakinah itu? Sebab, begitu banyak kesetiaan dan cinta yang dilukai dengan sedalam-dalamnya luka.
Kata Ayah, sakinah itu adalah ketika rumah dan keluarga menjadi sesuatu yang senantiasa dirindukan. Sehingga, tak sebersitpun ada keinginan untuk melengkapinya di luar sana. Dan plajaran itu bukan hanya sekedar kata. Aku temukan wujud nyatanya di rumah. Nyaris tidak ada pertikaian apalagi perkelahian. Hanya ada perbedaan pendapat, yang menurutku itu wajar. Dahulu, aku tak begitu memperhatikan ini, sebab aku sudah begitu terbiasa dengan suasana begini. Alhamdulillaah. Tapi, setelah berjumpa banyak kisah, ini menjadi perhatian tersendiri bagiku... Menjadi sebuah catatan kecil bagiku, tentang bagaimana menghidupkan keharmonisan itu. Pelajaran lain dari kisah itu adalah bahwa ternyata tak sesederhana apa yang aku pikirkan. Banyak yang sukses mengarunginya, tapi juga tak sedikit yang kemudian gagal dan berakhir dengan perceraian.
Setelah berjumpa banyak cerita, kembali aku bertanya. Bahwa ada sosok yang Qiyamullailnya jarang absen, Al Ma’tsuratnya rutin, bertanggung jawab, perhatian dan begitu care terhadap keluarga, dan ada istri yang setia dan selalu memberikan layanan terbaiknya, lantas bisa terpesona pada perempuan lain yang belum tentu sebaik istrinya? Mengapa? Jika memang sekedar terpesona, it’s okay! Sebab, seperti kata Leo Tolstoy “As there as many minds as there are heads, so there are as many kind of love as there are heart (akan ada banyak pikiran dalam banyak kepala, begitu juga akan ada banyak cinta dalam banyak jiwa). Tapi, jika lebih jauh lagi? Ya, bisa jadi ini adalah ujian Alloh, tapi, aku kadang tak habis pikir, apa lagi yang kurang? Ataukah terlalu bosan dengan ketentraman? Ahh, rasanya mustahil. Setiap orang PASTI ingin ketentraman. Apalagi yang dicari orang-orang dalam membahagiakan dirinya selain ketentraman hati?
Ahh, kali ini aku benar-benar tak bisa menarik simpulan apa-apa. Aku masih menyisakan segenap tanya, mengapa, mengapa dan mengapa. Kadang, ini sempat membuatku cukup paranoid. Tapi tidak, insya Alloh... Sebab, ujian Alloh pastilah sebatas kesanggupan hamba-Nya... Aku sangat percaya itu...
Aku jadi teringat diskusiku dengan uni psikolog, tentang figur otoritas dan afeks. Bahwa, suami adalah figur otoritas dan istri sebagai afeksnya. Mungkin, di sinilah letaknya kesesuaian ruh dan jiwa itu. Ada kenyamanan secara psikologis. Memenuhi dan terpenuhinya kelengkapan sisi psikologis adalah salah satu hal penting. Ini jauh lebih penting dari sekedar fisikly belaka walau tak pula bisa dinafikan bahwa fisikly juga memiliki peranan penting. Mungkin, ini pula jawaban dari secuil tanya “mengapa”-ku, bahwa jika tak terpenuhi kelengkapan psikologis, maka jiwa akan senantiasa mencari sosok yang akan melengkapinya. Karena, selamanya tangan yang sebelah takkan pernah bisa bertepuk. Ini bukan soal cinta yang tertolak sebagaimana lazimnya istilah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi menyoal jiwa yang meminta kelengkapan itu, seperti tangan yang membutuhkan tangan lain untuk bertepuk sehingga melahirkan sebuah suara. Sebagaimana dua jiwa yang hanya akan saling bertemu jika mereka bersesuaian. Wallahu’alam.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked