Di kampungku, ada sate yang amat suangaaat eunaaaak sekali bagiku. Sate Mowe’ namanya. Tak jelas pula asal usul nama itu kenapa begitu, sebab, ia sudah ada sejak sebelum aku dilahirkan, barang kali. Almarhum anak si penjual sate ini adalah teman satu TK-ku dulunya. Sejak aku belum mengenali dunia, bahkan jauh sebelum aku TK, sate itu sudah ada. Tetap di pondok yang sama. Dan, hingga kini pun.
Bagiku, sate itu adalah sate paliiiiiiiiiiiing enak sedunia. Hehe. Lebay! Bukan lebay ding. Sebab, enak di sini bukan sekedar enak di lidah. Jika enak hanya sekedar konsumsi lidah, buanyaaaaaak mah nyang lebih enak. Sate dangung-dangung yang terkenal itu, lebih enak. Sate piaman, apa lagi. Sate Mowe’ bukan apa-apanya di banding sate piaman. Sate SMS jugak, tentu tak kalah, yang katanya pak SBY pernah singgah di sate SMS utk menikmatinya (ga tau sih bener apa tidak, hehe), saking terkenalnya sate itu. Btw, ngomong2 pada tau tak, sate SMS itu teh apaan? SMS adalah singkatan dari Sate Mak Syukur, yang pualiiiiiiiiing terkenal seantero Padangpanjang dan sekitarnya. Jangan ngaku pernah ke Padangpanjang kalo tak pernah nikmatin sate ini. Hehe. (promo gratis!)
Tapi, kenapa bagiku, sate Mowe’ tetep paling eunaaak? Ya, sebab, ia bukan hanya konsumsi lidah (seperti yang telah kubilang tadi). Sate itu juga mengandung bumbu rasa kenangan yang teramat dalam. Sate taste love and sweet memories. Kenangan yang Sangat dalam. Kenangan manis bersama almarhumah adikku tercinta. Dahulu, kami seriiiiiing sekali mengunjungi pondok sate ini, sejak satenya masih bisa dibeli dengan harga seratus supiah (carocokno…hihi). Sampai sekarang, rasanya tak pernah berubah. Selalu sama, bagiku. Itulah sebabnya, sate ini selalu terasa enak bagiku, setiap kali aku menikmatinya.
[OOT : ada tiga hal yang serta merta akan mengembalikan ingatan kita pada masa lalu. Pertama aroma. Contoh, suatu saat kita menciumi aroma parfum teman kita ketika kita SMP dulu, maka secara tak langsung kita seperti langsung terkenang pada masa itu. Kedua music. Cobalah ketika tak sengaja kita mendengar music yang sangat popular ketika kita SMA dulu, maka kita pun dengan segera akan terkenang pada masa itu. Ketiga rasa pada suatu makanan, juga akan serasa mengembalikan kita pada masa lalu. Allahu’alam]
Ada pelajaran berharga yang dapat kupetik dari ini semua. Bahwa sesungguhnya, adalah sesuatu yang sulit bahkan hampir-hampir saja absurb untuk menghapus segala kenangan, yang terlanjur tersimpan terlalu dalam di palung hati kita. Sebab, ia telah bersemayam di lokus memory jangka panjang kita. Bukan hanya ingatan sesaat yang bisa lenyap seketika. Jika memang manis adanya, barang kali kita tak butuh energi apapun untuk melenyapkannya. Tapi, jika pahit? Sungguh, mungkin dengan segenap upaya, kita hapuskan kenangan itu.
Sulit!
Amat sangat sulit. Terkecuali jika Allah ambil ingatan kita.
Seperti apapun upaya kita untuk melenyapkan, ternyata amat sangat sulit.
Atau, bahkan, sampai frustasi sekali pun, tetap saja ianya lekang di sana. Dalam ingatan.
Ah, akhirnya, aku sadar, bukan dengan begini caranya. Bukan.
Semakin kita berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan, semakin pula ia kuat menghujam. Sebab, amigdala tak mengenal istilah pen-tidak-an. Tidak ada istilah “tidak” bagi amigdala. Cobalah simulasi ini sejenak. Pejamkan mata kita, lalu, kita instruksikan otak kita untuk “jangan mengingat warna merah”. Cobalah beberapa saat. Apa yang terjadi? Justru yang terbayang adalah warna merah, sebab, yang ada di pikiran kita adalah, kita harus mengingat-ingat untuk menghindari warna merah. Iya kan?
Begitu pula tentang kenangan masa lalu yang pahit bagi kita. Yang mungkin kita coba lenyapkan dari ingatan kita. Semakin dilenyapkan, semakin terasa dalam lah ia. Dan, ini bukan cara ampuh untuk bisa melenyapkannya. Sungguh.
Aku berjumpa cara lain untuk dapat berdamai dengan segala kenangan pahit. Iyah! Membiarkannya, mengikuti alunannya, menemukan kanalnya, dan kemudian alihkan! Yuhuuu, alihkan saja. Divert that in to other. Ini ternyata justru lebih ampuh untuk perlahan meng-abrasinya dari dinding hati. Menuliskan ketegaran dan berusaha terus tegar, memang baik. Memang adalah sangat baik, ketika kita berupaya untuk tetap berdiri di bibir ketegaran itu. Tapi, dengan mengikuti irama jatuhnya, lalu menjadikannya titik tolak, lantas mengalihkannya itu justru lebih cepat membuat kita bangkit. Sebab, di sana ada titik di mana kita berjumpa dengan ke-dhaifan kita. Pada kebergantungan kita dengan Rabb kita. Sebab, hanya dhaif. Ya, hanya dhaif yang kita punya di hadapan-Nya. Tak lebih! Lalu, adakah kekuatan dan daya yang kita punya jika bukan bersama-Nya?
Sepahit apapun, sesungguhnya tak ada yang perlu disesali. Sungguh. Begitu banyak pelajarannya. Tentu di hari depan kita sungguh tak ingin seperti hari ini, ketika kita begitu lelah dengan masa lalu yang pahit. Jika kita tak ingin mengulanginya lagi di hari depan, maka kita haruslah mencipta dan mengukir memori terindah di hari ini, agar di hari depan—ketika hari ini telah menjadi masa lalu—hanyalah kenangan indah yang tersisa. Dan kitapun tersenyum karenanya. Sungguh, percayalah, seburuk apapun masa lalu kita, sepahit apapun masa lalu kita, kita berhak untuk menjadi lebih baik di hari depan kita. Tak ada yang menghalangi kita untuk menjadi lebih baik!
Hayuuk…
Isi hari-hari dengan sesuatu yang membawa kemanfaatan, bagi diri kita, lingkungan kita dan orang-orang sekeliling kita. Agar diri kita tak disibukkan dengan masa lalu. Agar diri kita tak disibukkan dengan sesuatu yang tak bawa manfaat. Agar ia menemukan divertnya.
Ma’annajah!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked