Sahabat, aku punya sebuah cerita. Ini kejadiannya adalah ketika aku berada di rumah seorang teman. Di sana juga terdapat seorang anak yang umurnya sekitar delapan tahun. Waktu itu si tuan rumah memutar televisi untuk suatu acara. Dan di sela acara, tentu ada iklan-iklan dari produk tertentu. Nah, saat itu, diputarlah iklan tentang KB, yang di sana ada ajakan, “pasang yuuuk.” Lalu, tiba-tiba si anak umur delapan tahun nyeletuk, “Kakaaaak, aku juga mauuu dong, pasang itu.” Serentak aku dan temanku saling pandang. Dan tidak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa tertawa geli sambil geleng-geleng kepala.
Hehe, Tanya kenapa?
Apakah yang harus dipertanyakan itu media informasinya yang ngiklan tak pandang usia, ataukah didikan orang tuanya? Entahlah… Yang jelas, derasnya arus informasi dewasa ini serta merta juga menanamkan berbagai fikroh yang bukan lagi budaya Islam yang dianggap terlalu biasa-biasa saja oleh kita. Bukan hanya itu, tapi hampiiir semua jenis produk. Cobalah tengok, hampir semua produk bahkan yang bukan produk untuk perempuan, tak sedikit yang melibatkan perempuan. Hampir mustahil mereka tidak mempertontonkan aurat. Dan ini jadi contohan bagi generasi muda. Masya Alloh…
Hmm….katanya, mempelajari kesesatan sama pentingnya dengan mempelajari kebenaran. Sebab, di sekeliling kegelapan akan ada cahaya dan di sekeliling cahaya, ada kegelapan. Huwaaah…nguing..nguing…sejujurnya saia tak terlalu paham dengan credo ini. Tapi, setelah diselami lebih jauh, ternyata sesekali kita pun mestilah ikut terjun mempelajari itu semua. Missal, tayangan remaja yang kaya akan unsur ghozwul fikry nya. Sesekali, ada perlunya juga kita tontoni ceritera macam ntu. Dan, di sana kita bisa analisa, di manakah dan di bagian apakah ‘didikan ala fikroh mereka’ yang mereka coba tanamkan di alam fikiran remaja. Iya tho?! Ini sama seperti halnya, Snouck Hourange yang mempelajari Al Qur’an dan bahkan menghafalnya untuk kemudian ia gunakan demi menghancurkan Islam. Ya, kenapa tak kita coba adopsi saja metode itu, asalkan kita mesti kuat-kuat bertahan, tak latah pula meng-amin-kan fikroh itu. Mungkin begini maksudnya, mempelajari kesesatan itu sama pentingnya dengan mempelajari kebenaran. Allahu’alam.
Selain media, culture yang dibentuk di keluarga juga tak kalah penting tentunya. Sebab, tak bisalah kita pungkiri bahwa pola didik yang diterapkan itu akan menjadi dasar bagi pembentukan jiwa kita. Seperti yang kubahasakan dari dahulu, ia adalah warna dasar, warna primer yang akan tetap ada, meski pun sudah ada kemudian warna-warna sekunder dan warna tertier.
Aku teringat sebuah credo dari seorang sahabatku, “Jika engkau ingin tahu baik buruknya seseorang, maka lihatlah seberapa banyak orang yang terlibat masalah dengannya. Jika ia tak begitu memiliki masalah dalam banyak interaksi sosialnya, berarti dia cukup baik. Tapi, jika ada banyak orang yang sempat terlibat masalah dalam hal interaksi social dengannya, berarti dia perlu dipertanyakan.”
Hehe, meski hipotesa sahabatku itu belum terbukti secara saentifik dengan adanya kajian ilmiah, data statistic dan semisalnya, tapi secara empiric, aku juga tak punya alasan untuk mempersalahkannya. Hihi. Ini bukan berarti pula bahwa aku meng-klaim diriku cukup baik loh yaah. Hee…
Menurutku, pola didik tetaplah memiliki peran di sini. Adalah contoh kasusnya, seorang anak yang hingga duduk di bangku universitas, yang dibesarkan dengan pola didik, “serba terpenuhi”. Ya, segala keinginannya terlalu terbiasa untuk dipenuhi. Bahkan juga sebuah dukungan psikologis termasuk ketika sang anak salah, sehingga dia ngelunjak. Sang orang tua, memberikan proteksi psikologis dengan memenuhi segala keinginan sang anak. Dan, yang naifnya, ia men-subtitusi keinginan yang tak didapat anaknya di suatu tempat atau suatu kejadian dengan hal lain yang bahkan lebih dari pada itu meskipun anaknya salah sehingga si anak selalu merasa terfasilitasi. Mungkin, maksud orang tuanya adalah baik. Siapa sih, orang tua yang tak inginkan yang terbaik bagi anaknya? Hanya saja (mungkin) banyak yang salah memilih cara. Barang kali. Maaf, bukannya aku tahu atau sok tahu, hehe. Tapii…, lagi-lagi, anggap saja ini komentar dari komentator yang hobby mengamati lapangan. Jika pun di suruh terjun langsung ke lapangan, belum tentu pula aku bisa mengoptimalkan peran. Hanya saja, aku percaya bahwa hidup ni tak lain adalah proses pembelajaran. Di mana pun, kita bisa belajar, tho?! Pun dengan segenap upaya terbaik kita, jika memang ada masanya bagi kita untuk memegang peran itu. Hehe.
Kembali ke cerita sang anak dan orang tuanya tadi. Sang anak yang tumbuh dengan jiwa individualis, dan jiwa ke-aku-an yang menonjol sehingga, kerap ia mengalami masalah dalam hal interaksi social dengan siapapun itu. Ia hampir pernah bermasalah dengan semua orang. Sehingga ia kerap dikucilkan dalam pergaulan karena egosentrisnya begitu tinggi. Parahnya, bukannya malah mengajarkan, orang tua yang ‘terlalu sayang’ pada anaknya ini justru mendukung pemikiran sang anak. Ia justru mendukung apa laku sang anak, membela sang anak (mungkin alasannya lagi-lagi adalah proteksi psikologis), sehingga si anak jadi selalu menilai bahwa dia yang benar dan orang lain yang salah! Kerap, dalam interaksi sosialnya, ketika ia bermasalah dengan banyak orang, ia merasa semua orang jahat padanya, semua orang mendzoliminya, tanpa ia sadar bahwa sesungguhnya tak sedikit pula ia menyakiti hati banyak orang. Baginya, orang lain selalu salah. Apalagi, ini terus didukung dan disupport orang tuanya. Padahal, jika mau bijak, sang orang tua seharusnya tidak begitu caranya memperlakukan sang anak. Tak semua keinginannya harus dipenuhi,dan tak semuanya perlu disupport apalagi jika nyata-nyata sang anaklah yang salah. Jika orang tua sedikit saja bersedia lebih bijak untuk menilai bahwa anaknya salah. Seharusnya ada introspeksi ketika sang anak hampir bermasalah dengan semua orang. Apakah orang lain yang terus salah atau sang anakkah yang salah?
Kadang kalanya, perlu pembiaran, perlu untuk tidak memenuhi segala keinginan. Perlu pula penyalahan jika itu adalah sebuah kesalahan, kepada sang anak. Sebab, dengannya anak akan belajar tentang bagaimana yang seharusnya. Anak akan belajar untuk mengintrospeksi diri atas kesalahannya. Allahu’alam…
Hehe, lagi-lagi, kukatakan ini hanyalah sebuah pandangan dari seorang komentator yang masih minim ilmu. Pun, jika peran itu harus kujalani, belumlah tentu aku dapat mempraktekkan segala teori yang ada, segala komentar yang kuutarakan. Yaah, namanya juga belajar yah. Hanya saja, jika Alloh amanahkan peran itu, tentu setiap kita bertekad untuk meng-optimalkan segenap upaya terbaik kita untuk membangun sang batu bata peradaban itu. Allahu’alam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked