Peserta Mapres Unand 2009 |
Kata-kata yang sering terlontar di lisanku adalah, “Aku ingin kembali ke SMA.” Kadang, balasannya adalah guyonan, “Yo wess, pake ajah lagi seragam SMA, pasti kagak ada nyang nyangka kalo udah tamat kuliah.” Hehe, maklum, hemat wajah. Hihi.
Sebenarnya, bukan itu esensinya. Aku ingin kembali ke SMA, bukan sebab romansa-romansa sweetseventeen layaknya anak muda jaman kini (macam udah tua sahaja saye nii, hehe). Tapi, hanya ingin menjemput sesuatu yang kuabaikan, dan baru kusadari setelah sekian lama waktu berlalu.
Sesuatu yang ingin kujemput itu adalah…PRESTASI. Okelah, kali ini kita definisikan prestasi itu adalah prestasi dalam banyak kompetisi. Walau sebenarnya, banyak prestasi-prestasi yang tak perlu didapat lewat kompetisi, seperti prestasi sebab seseorang sebagai anak yang santun, prestasi sebab seseorang yang disiplin, prestasi sebab seseorang bisa sekolah sambil bekerja paruh waktu de es be, prestasi menjadi anak yang shalih-shalihah (ini mah lebi utama yah?). Tapi, kali ini kita batasi definisi prestasi yang kita maksud itu pada sesuatu yang kongkrit lewat banyak kompetisi, bukan abstrak yang tak memiliki standardisasi nilai.
Di SMA, walau terkesan (sok) study oriented (saaelaaaah), padahal aselinya gaya belajarku itu kacaw pisan cuy! Kacaw abiz dah. Jika boleh, sesungguhnya aku menyesal. Sebab, setiap siswa punya peluang yang sama untuk berprestasi, asalkan dia mau. Dulu, waktu SMA, aku adalah orang generic alias biasa-biasa sahaja. Diriku bukanlah termasuk orang yang tersohor karena prestasi akademis. Rasa-rasanya, aku tak begitu dikenali oleh level manapun. Aku hanya akan dipanggil, kalo-kalo ada sesuatu yang berbau karya tulis, ataupun pembuatan naskah drama. (Aye anak IPA macem apah nih ya? otak kanannya lebih sering berfungsi ketimbang otak kiri. Hee). Bahkan, sebagai anak asrama pun, itu bukanlah sesuatu yang prestisius kurasa, meski untuk bisa memasuki kelas yang diasramakan, itu perlu daya upaya dua kali lipat lebih besar. Ketika masuk pun, aku hanya menempati urutan ke-34 dari 60 orang yang diluluskan di kelas berasrama. Tapi, itu sudah cukup membuatku sujud syukur ketika tahu lulus, sebab, jika tidak, pasti aku sudah bersekolah di pelosok kampung sono (soalnya, Cuma mendaftar di dua sekolah). #bukan bermaksud mearginalkan sekolah perkampungan nih ya, hehe. Buktinya SD PM Muhammadiyah di Laskar Pelangi yang termarginalkan malah memiliki anak-anak cerdas semacam Ikal, Mahar, Lintang. Tapi, harus kuakui kenyataan, sekolah tempatku mendaftar itu dulunya selalu menerima murid cadangan atau yang kagak keterima di SMA di sana. Jadi, nilai tertinggi yang diterima di sekolah itu adalah nilai cadangan atau terendah di SMA di kampung itu. Itu dulu, 9 tahun silam. Mungkin sekarang sudah berbeda.#
Satu hal yang harus aku sesali adalah, aku tak pernah mengambil peluang itu. Padahal, sesungguhnya setiap orang punya peluang untuk lebih berprestasi secara akademis maupun non akademis. Ya! setiap orang memiliki peluang yang sama! Man jadda wa jadda! Dan selama tiga tahun, banyak peluang pun terlewatkan sudah…
Masa kuliah pun datang. Sesungguhnya besar keinginan untuk bisa melanjutkan kuliah ke pulau Jawa, yang konon kabarnya pendidikan di sana lebih bermutu. Apalagi, banyak di antara teman-teman asramaku yang melanjutkan kuliah ke kampus impian di seberang pulau sana. Lagi-lagi, sesungguhnya, kita punya PELUANG yang sama! Dari 55 orang teman-teman asramaku, hanya 5 orang saja (termasuk aku salah satunya) yang kuliah di Unand ateh (maksudnya Unand selain fakultas kedokteran), 11 orang di FK, 2 orang di Pendidikan Matematika UNP, dan 2 orang di akademi kebidanan, sisanya, mengisi bangku di kampus-kampus besar di pulau Jawa sana.
Masa kuliah, kukira bukan masanya lagi untuk mengikuti banyak kompetisi. Aku yang sibuk membuat jatuh cinta pada jurusanku sendiri, jadi lupa, bahwa sesungguhnya ada banyak PELUANG untuk menciptakan banyak prestasi. Tapi, aku tak melihat banyak peluang itu. Aku terlalu disibukkan dengan keterkungkungan pikiranku sendiri, terlalu disibukkan dengan bagaimana membuatku jatuh cinta sama dunia yang tengah kuhadapi. Ada banyak peluang berprestasi yang kulewatkan begitu saja. Bahkan aku ogah untuk ikut momen-momen PKM dan PIMNAS yang sebenarnya lagi-lagi PELUANG-nya juga adalah sangat besar. Bahkan, aku tak mentargetkan tamat dengan IPK tinggi. Cukup tiga koma lebih sedikit saja. Belakangan, aku baru menyadari, bahwa aku telah melewatkan banyak PELUANG itu. Meski nilai bukan segalanya, meski sukses tak ditentukan dengan seberapa banyak sertifkat dan piagam penghargaan atas prestasi-prestasi, tapi ber-IPK cumlaude dan memiliki banyak prestasi bukanlah sesuatu yang buruk. Dengannya, mungkin kita memiliki peluang lebih banyak, dari pada harus menjadi biasa-biasa saja. Dan, lima tahun berlalu, aku bahkan merasa tak memiliki apapun prestasi. [Ini menjadi berasa sekali, ketika aku mencari peluang untuk beasiswa. Ada beasiswa yang menggiurkan, dengan syarat yang tak berbelit-belit (jika dapat, waah…manteb pisan bisa S2 dengan tenang tanpa mikir cost yang mesti dikeluarkan). Hanya satu syarat saja, tak banyak, yaitu…minimal ber-IPK 3,51. Wah, lagi-lagi harus menyesal.]
Penyesalan itu semakin berasa sudah, ketika di semester 8 dulu, pada suatu momen. Sesungguhnya malu untuk menyebutkannya, sebab, kadang aku merasa tidak begitu PD harus berada di deretan mereka yang berprestasi. Kala itu fakultasku baru dinobatkan sebagai fakultas tersendiri, setelah sebelumnya bergabung dengan fakultas MIPA. Nah, pas sekitaran pertengahan semester delapan itu, ada agenda rektorat untuk melakukan pemilihan mahasiswa berprestasi (selanjutnya disebut mapres ajah yah). Karena masih fakultas baru, belom ada pemilihan mahasiswa berprestasi tingkat fakultas, dan karena waktunya mepet sangat, fakultas melimpahkan pada HIMA (yang baru akan menjadi cikal bakal BEM fakultas) untuk memilih salah satu teman yang akan diutus ke mapres tingkat universitas. Entah angin dari mana, hima malah memilihku. Sama sekali tak terpikirkan olehku bahwa aku akan mengikuti momen mapres itu. Rasanya-rasanya, aku bukan orang yang pantas untuk ikut momen begituan. Apa sih prestasi yang kupunya? Nyaris nothing! Organisasi pun, tak pula begitu banyak. Bahasa inggris apalagi! Sudah kubilang berkali-kali, bahasa Inggrisku minta ampuuun kacaunya! Hadeuuuh…. Tapi, tak ada pilihan lain. Dan tak bisa memilih orang lain dalam waktu mepet, sebab tak ada mahasiswa lain yang bersedia menyelesaikan karya ilmiah dalam waktu tiga jam. Sebab, naifnya, deadline pengumpulan karya ilmiahnya adalah 3 jam kemudian.
Akhirnya, seperti pesakitan harus kuselesaikan karya ilmiah itu. Itu pun sudah berkali-kali ditelfon oleh pihak rektorat karna hanya fakultasku yang belum menyerahkan syarat berupa CV dan karya ilmiah. Tiga jam saja, untuk sebuah karya ilmiah yang superr kacaunya. Beruntung waktu itu aku akan melakukan seminar proposal penelitianku 3 hari sesudahnya, jadi sedikit banyaknya karya ilmiahku disadur dari proposal penelitianku. Ya, dari pada tidak! CV pun juga tak banyak. Seperti pesakitan lah aku ikuti momen itu. Malam sebelum presentasi, aku mati-matian membuat presentasi dengan bantuan ulead (maunya mmf tapi, tak mahir aku mmf). Setidaknya, jika pun tak ada yang membanggakan dari karya ilmiah, CV dan sertifikat yang dilampirkan, maupun bahasa inggris (tiga poin penilaian penting), setidaknya presentasiku tak jelek-jelek amat. Hehe.
Hehe, benar saja. Presentasiku cukup membuat ‘terpesona’ para tim penilai yang terdiri dari seluruh pembantu dekan III semua fakultas. Terpesona bukan karena paham, bahkan mereka sama sekali tak mengerti dengan presentasiku itu. Hanya dokter dari PD III FK saja yang sedikit memberikan pertanyaan sebab karya ilmiahnya berkaitan dengan gen. Mereka ‘terpesona’ hanya karena presentasiku itu adalah filem documenter yang kubuat semalaman dengan begadang di ulead video studio. Hehe. Paling tidak, aku punya sesuatu yang berbeda dari yang lain, yang hanya pake power poin standar. Itu saja pikirku. Meski sedari awal aku sudah yakin bahwa aku takkan menang!
Di ruang interview bahasa inggris yang lebih parah lagi. Salah satu pembantu dekan suatu fakultas dengan terang-terangan mengatakan “Your pronunciation is so bad!” (sebenarnya pernyataan ‘membunuh’ ini adalah salah satu factor mengapa aku kurang begitu PD dgn bahasa Inggrisku saat ini. Padahal, dulu aku pernah berada di masa di mana bahasa inggrisku gak jelek2 amat koq pronunciation nya. Hihi). Aku disuruh menceritakan, “give us the reason that will make us chose you as a best student” [bener gak yah, grammernya --> tuh kan, ndak PD lagiii…]. Kala itu aku menjawab, “I don’t have anything, sir. I don’t have prestigious things. I cannot speak English well. I don’t have high IPK. Nothing can be proud of me.” (maklum ajah yah, keknya grammernya lagi2 gak bener nih -->dan lagi2 gak PD). Sang penguji Cuma bisa geleng-geleng doang liyat aku. “So, what things that making us being proud of you?” mungkin dewan jurinya hampir putus asa melihatku yang tak punya apa-apa. “Hmm…I have happy family, and I’m proud to being of them.” Haha, jawaban yang sama sekali tak qualified dan tak nyambung yang membuat dewan juri ketawa miris. “anythings other?”. Mungkin hampir frustasi dewan jurinya melihatku yang sama sekali tak membanggakan ini. “yeah, I has written four novels and more than 300 shorts story, and more than 50 articles.” (haha, berani juga pamer nih saia). “Oh yaaa??” salah satu pembantu dekan III di suatu fakultas cukup tertarik. “All of them were published?”. “No, just a five short story were published.” (haha, sejujurnya aku tak begitu ingin kembali mengenang masa-masa ini. Dan maaf sekali, grammernya kacau banget!).
Para tim penguji.... |
Telak, aku tentu takkan memenangkan posisi prestiusius itu. Memang tak ada satu pun yang membanggakan rasanya. Alhamdulillaah, pulangnya, mengantongi 150 ribu, buat uang lelah (haa…uang apasih namanya). Lumayan, buat beli sampel penelitian (kala itu lagi riwueh2 nya penelitian di lab). Hehe.
Meski hari itu aku kalah telak. Ya, tentu saja kalah telak. Tapi, ada pelajaran berharga yang kubawa pulang setelah mapres itu. Bahwa, aku telah melewatkan hampir 4 tahun masa, nyaris tanpa prestasi apapun. Jika saja, sedari dulu aku sudah mentargetkan bahwa suatu saat aku akan menjadi mapres, bukan saja Unand, tapi juga nasional, tentu akan berbeda upayaku. Sejak itulah lahir sebuah tekad, “panjang pendeknya nafas perjalananku tergantu sejauh mana cita-citaku”. Aku memang kalah, tapi…ada kemenangan lain yang kubawa pulang, yakni aku menyadari banyak hal sesudah itu. Hanya saja, aku sudah di semester akhir, semester delapan. Rasanya, untuk tataran kampus, aku sudah kehilangan banyak peluang. Tapi, gak ada kata terlambat kan yah?
Belakangan, momen mapres lagi hangat-hangatnya. Aku membaca profil orang2 yang berprestasi di sekitarku. Mulai dari yang di Unand, hingga yang terakhir kudengar, Rully Prasetya, adik kelasku di SMP dan di SMA yang jadi mapres di FE UI (baca jugak di sini). Big Zaman di Fasilkom UI (big adalah Runner Up-nya, pemenangnya adalah Jay, teman karibnya [nyang ini, aku baca di blognya ba’da blogwalking tanpa sepengetahuan di empunya blog, hehe]). Ada lagi Dewina dari FKM UI yang berprestasi di tingkat internasional dengan risetnya di momen World Imagine Cup, Egypt, Cairo. Tak jauh-jauh, uni Rini Lestari, kakak sewismaku sekaligus seniorku di Farmasi juga adalah peraih medali emas di momen PIMNAS bidang kewirausahaan di Malang. Da Yori Yuliandra, temannya ni Rini, juga meraih medali emas untuk kategori desain poster di momen PIMNAS Lampung. Dan, sungguh tak jauh-jauh dari itu. Teman sekelasku di SMA, Ihsan Tria Pramanda, dua kali ikut momen olimpiade internasional di Shanghai dan Aussie dan meraih medali perak. Teman SMA-ku lagi, Fino Agustinus juga adalah pemenang lomba debat dan cas-cis-cus English di tingkat nasional. Adik kelasku Habiburrahman, juga adalah peraih medali emas di pertarungan olimpiade sains tingkat nasional. Tika Afriani dan kawan-kawannya, yang juga adalah adik kelasku di SMA, meraih gelar prestisius sebagai pemenang lomba seni (yang ditampilkan adalah randai) di tingkat Internasional. Teman sekelasku di SMA dulunya, Rizki Mardian, selain drummer, pernah exchange student ke NTU, tamat dengan cumlaude di fasilkom UI dan tengah melanjutkan S2 dan S3-nya di negeri Sakura juga sudah memiliki prestasi membanggakan dengan robot-robot yang dibuatnya. Teman sekelasku di SMA dulunya, Wahyu Ramdhani (design grafis ITB) adalah pemenang desain lepi Axioo yang dilombakan skala nasional juga (kalo tak salah). Uni Sisri Dona, sosok akhwat yang kukenal penuh semangat dan amat sangat mencintai Al Qur’an, adalah pemenang dalam pemilihan Muslimah Teladan tingkat Nasional tahun 2009. Ada banyak lagi orang-orang berprestasi yang kujumpai di sekelilingku. Semakin berasa semangat di hati, “Yah, empat tahun, boleh saja sia-sia. Tapi, SETIAP ORANG BERHAK UNTUK BERPRESTASI. SETIAP ORANG pun SAMA-SAMA PUNYA PELUANG UNTUK ITU! Dan, meskipun peluang-peluang masa itu sudah berlalu di bangku universitas, tapi TAK ADA KATA TERLAMBAT UNTUK LEBIH BERPRESTASI! Sebab, setiap orang BISA berprestasi!”
Semangaaaaaattt…!!!
-------------------------------
PS :
> semoga bahasa inggrisku lebih baik di hari depan. Amiiin. Hehehe. Ini nih, sudah jungkir balik belajarnyaaa….
>Tulisan ini bener-bener terinfluence setelah blogwalking dan membaca cerita-cerita tentang orang-orang berprestasi…Aku suka orang2 berprestasi....^^
semangat kak...
ReplyDeleteam i an ordinary girl too? oh jangan sampai...:P
Semangat \^_^/
selagi ada nyawa dibadan, prestasi itu ga hrus dpt piala atau sertifikat atau titel, msh bnyk prestasi yg lainnya kakakku ...
tulisan ini bikin semangat plus-plus...
ReplyDeleteprestasi kan kusambangi
dengan harap ridho Illahi....
tapi
kadar prestasi kita beda-beda toh?
jadi jangan kecil hati....
@Ice : heuu..iya Ce....Semangaaaaattt...
ReplyDeleteyuhuu...banyak prestasi yang gak perlu didapatkan via seryifikat dan de es be...Tapi,ketika kita juga bisa dapatkan itu, itu bukan sesuatu yang buruk kan yaaaah?
@Nayo : yuhuu Nayo...beda-beda...tetapi...tetap do the best! (bukan berkecil hati koq...hehehe)