Tapiii, walau bagaimana pun, aku tentu tak pernah dapat menghukumi masa lalu. Segala yang telah berlalu, sungguh takkan pernah dapat kujemput kembali. Jika ada jet yang dapat menembusi lapisan stratosfier lalu meleset menuju luasnya semesta, maka itu semua menjadi mustahil jika tujuannya adalah masa lalu. Sebab, memanglah tak ada kendaraan yang dapat menujunya, meski pun teori waktu empat dimensi itu kemudian dapat ditemukan bukti kebenarannya… Ah, memang takkan pernah bisa…
Pun, tentang masa depan… Ia-nya juga adalah sesuatu yang tak terlukis secara nyata pada kanvas kehidupan… Sama seperti masa lalu, tak satu pun kendaraan dapat menujunya kecuali waktu-waktu itu sendiri yang mengantarkan kita padanya…, hingga pada satu tarikan nafas terakhir kita untuk menghirup oksigen. Setelahnya, mungkin oksigen tak lagi menjadi berarti….
Ah, semenyesal apapun aku, sesungguhnya aku hanya bisa memilih, untuk terus menyesali, ataukah memikirkan perbaikannya, agar tak terjadi lagi kesalahan yang sama di masa depan. Ya, memilih untuk menatapi dan menghadapi masa depan itu adalah lebih terhormat dari pada harus terus menyesal dan meratapi apa-apa yang telah lalu… Tiadalah segala sesuatunya, kecuali Allah sertakan hikmah dan pembelajaran yang begitu sarat makna di belakangnya. Sungguh, segala yang terjadi, tetaplah adalah sebaik-baiknya keadaan, asalkan kita bersedia memunguti pelajaran yang Allah titipkan pada setiap kejadian itu. Sebab kita harus yakin, bahwa takdir-Nya untuk diri kita adalah sebaik-baik takdir…
Tentang masa yang akan datang, tentang waktu yang akan kusongsong, mengapa harus mengkhawatirkannya? Jika baik menurut-Nya, PASTI akan Dia bukakan jalannya dan jika tak baik menurut-Nya, PASTI Dia akan ganti itu dengan sesuatu yang lebih baik… Bagaimana aku bisa mengatakan sesuatu itu buruk, sementara aku tak belumlah mengetahui segala kebaikan yang Allah sertakan dibelakangnya? Mengapa aku harus mendahulukannya dengan prasangka-prasangka keburukan dan estimasi-estimasi kerendahan sementara tabir di hari depan belumlah terkuak? Bukankah aku, manusia dhaif, memanglah terlalu dhaif untuk hanya mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, sementara Dia, Sang Maha Pemilik Keputusan jauh lebih mengetahuinya?
Aah, diriku! Bukankah sebaik-sebaik hasil sebuah keputusan penting dalam hidupmu adalah setelah komunikasi paling intens dengan Rabb-mu? Dan bukankah, segala keputusan penting dalam hidupmu itu mesti ‘menyertakan’ dan ‘mengkomunikasikan’nya dengan Rabb-mu? Ahh, diriku… Ini tak cukup dengan letupan emosi sesaat saja. Ini tak cukup hanya dengan melibatkan perasaan dan pemikiranmu saja! Apapun itu, ada hal yang lebih penting dan utama dari sekedar itu semua saja… Rabb-mu…Ya, Rabb-mu, yang ditangan-Nya segala Keputusan…
Mannajah wahai dirikuu…!