cikini to pocin |
Antara Pocin-Cikini selau saja meninggalkan cerita yang tak pernah usai untuk kulukiskan lewat kata-kata. Selalu saja mengandung muhasabah yang tiada hentinya. Selalu saja banyak pelajaran yang membuat kita bersyukur, bahwa kita sesungguhnya jauh lebih beruntung dari mereka yang tak pernah memiliki kesempatan seperti yang kita miliki saat ini.
Akhir-akhir ini, perjalanan antara Pocin-Cikini menjadi sebuah agenda rutin bagiku. Bahkan bisa sampai tiga kali semingggu. Hee… Jika memang bukan karena keterlambatan, ataupun harus berdesak-desakan seperti pepes ikan, sesungguhnya aku lebih senang menaiki kelas KRL ekonomi ketimbang commuter. Selain harga tiket lebih irit (1 berbanding 4), banyak sekali pelajaran yang membuat kita tersenyum penuh syukur atas segala nikmat yang Dia curahkan untuk diri kita. Maka, jika masih belum jam 3 sore, aku lebih senang naik KRL ekonomi saja. hehe…
Cikini
Baru saja menjejaki langkah di atas KRL, di depanku sudah menanti nanyian seorang nenek tua yang beringsut sambil membawa sapu kecil. Butuh waktu beberapa menit bagiku untuk mencerna, apa yang sedang dilakukan sang nenek. Menyapukah? Memanyikah? Meratapkah? Atau bagaimana? Oou… rupanya ia melakoni ketiganya sekaligus sambil menenteng sebuah kaleng bekas minuman teh dan menyodorkannya pada penumpang. Ada yang merasa kasihan dan menatapi iba lalu memasukkan beberapa receh ke dalam bekas minuman kaleng itu. Tapi sebagian yang lain memilih untuk tidak mempedulikannya.
Manggarai
Seorang bapak-bapak naik dengan gerobak dorongnya. Sembari berteriak, “Melon neng, dua goceng..dua goceng…” ditimpali pedagang lainnya yang menjajakan jualannya. Kepala sang bapak bertumbuh uban-uban. Entah sudah berapa umur yang dia habiskan di atas KRL ini untuk mengaisi beberapa lembar rupiah.
Tebet
“Sabarlah sayaaang…sabarlah sebentaar..aku pasti pulaaaang…karena aku bukan…aku bukan bang toyyib.” Suara nge-dangdut ala perempuan muda dengan satu anak umur dua tahun dalam gendongannya menggema diantara deru rel bertemu roda KRL. Di gendongannya bukan saja ada sang bocah, tapi juga sebuah speaker yang mungkin tak kalah berat. Selain memegangi mikrofon, ia juga memegangi kantong bekas minuman instan. Membeli rasa kasihan orang-orang yang juga berada di KRL yang sama.
Cawang
Aku tak habis pikir ketika masih ada laki-laki setua ini memainkan alat music super duper sangat sederhana dengan suara yang tak jelas berjalan terseok-seok dari gerbong ke gerbong. Sudah setua ini. Bahkan untuk menyelamatkan tubuhnya yang ringkih saja, ia butuh energy ekstra. Apalagi ia harus berjalan di antara goyangan gerbong yang baginya mungkin cukup keras untuk bisa bertahan. Tapi, peran itu masih tetap harus dilakoni, entah sampai kapan…
Duren Kalibata
Seseorang menyodorkan cincin imitasi di hadapanku tiba-tiba. Seorang pemuda sekitar 30 tahun. Rupanya ia menjajakan dagangannya. Aku menggeleng. Tapi, masya Allah….rupanya tangan sang penyodor itu buntung! Masya Allah…kerasnya hidup…
Pasar Minggu Baru
“Boneka…boneka….boneka…, dua rebu saja…dua rebu saja….” Seorang bapak-bapak menggendong sekarung boneka sederhana yang disodorkan pada ibu-ibu yang menbawa anak-anak. “Haa?? Boneka dua ribu rupiah?” aku bertanya-tanya. Jadi, modalnya berapa ya? padahal bonekanya juga tidak kecil ukurannya. Sebesar kepal tangan orang dewasa.” Sepanjang gerbongku, kulihat, tak satupun bonekanya laku. How poor…
Pasar Minggu
Seorang wanita paruh baya memanggul aneka pita, pin, sisir, ikat rambut. Dijual juga dengan harga murah. Jika aku harus begitu, entah…entah aku akan sanggup.
Lenteng Agung
“Koran….koran…” itulah yang diteriakkan oleh seorang anak umur sekolahan. Entah karena ia sudah pulang sekolah atau karena ia bena-benar tak mengenyam pendidikan yang memang hak bagi anak bangsa ini. Entahlah…
Univ. Pancasila
Segerombol anak muda naik lalu menggelar konser sederhana dengan alat music mereka masing-masing. Entah karena mereka adalah mahasiswa yang iseng-iseng saja atau benar-benar para pengangguran yang sedang mencoba mengumpulkan rejeki.
Univ. Indonesia
Di dalamnya kampus hijau itu, terlihat dengan jelas lalu lalang kendaraan dan bus kampus kuning “go green”. Sebagaimana di dalamnya juga banyak idealism ke-mahasiswa-an, pergerakkan, dan segala sesuatu yang berbau akademika. Sesampai di sini, tak lagi kurekam peristiwa-peristiwa di dalam kereta karena kami harus berdiri di depan pintu. Sebentar lagi, pocin…
Pondok Cina
“Hup!”
Akhirnya sampai di peron dengan berbagai cerita. Dengan berbagai kisah…
Kisah bahwa sesungguhnya banyak dari hidup ini yang patut untuk kita syukuri. Banyak kesempatan yang kita miliki. Dan memang sudah selayaknya kita bersyukur atas segenap anugrah yang telah Dia berikan untuk kita. Mungkin, sering kali dalam hidup ini kita merasa masih saja kurang. Masih saja menginginkan lebih. Tapi lihatlah, ada banyak orang yang harus rela menghabiskan banyak waktunya dan banyak hidupnya di atas gerbong-gerbong KRL hanya demi sesuap nasi. Jangankan untuk hidup esok, untuk hari ini saja mereka harus berpikir keras, “hari ini makan apakah?”
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked