Akhir-akhir ini, aku punya kebiasaan sedikit unik. Yaitu, memperhatikan tas milik ibu-ibu jika ada suatu perkumpulan ibu-ibu yang lagi ngumpul. Ahahaha... Bukan buat nyolong tasnya lho yaaa. >.<
Tapi, aku lagi merhatiin desain-desain tasnya. Mana tau ada inspirasi untuk bikin model tas tertentu. Xixixixi...
Nah, pada suatu pertemuan di sebuah perkumpulan ibu-ibu di sini, dengan hobi baruku memperhatikan tas, aku baru menyadari jika ternyata tas-tas yang dimiliki oleh kebanyakan ibu-ibu itu adalah tas-tas branded. Ya, aku menyadari kebanyakan dari ibu-ibu tersebut memang terlihat lebih 'sosialita'. Hihi... Bertebaran di ruangan tersebut tas bermerek sebut saja Gucci, Furla, Michael Kors, Calvin Klein, Charles and Keith, hmm... apa lagi yaa? Zara, Longchamp, Channel, keluaran Debenhams dan sederet tas branded lainnya. Aku tau, tas mereka bukanlah tas-tas KW. Itu produk original. Bertebaran di sini toko-tokonya dan di sini hampir-hampir kita tak menemukan produk-produk KW. Aku dulu sempat bertanya, di sini ada produk KW nda sih? Kayaknya nyaris nda ketemu produk KW kecuali di tempat tertentu saja (dan aku belum pernah bertemu yang KW sih) karena sulit memasukkan produk KW ke sini (kecuali ilegal mungkin ya).
Ya, tak ada salahnya memiliki tas-tas tersebut. Bukan sebuah dosa. Bisa jadi, bisa jadi, sangat bisa jadi mereka telah berhemat sekian puluh juta rupiah dan menahan diri untuk tidak membeli tas lebih mahal dari yang mereka gunakan saat ini. Boleh jadi, boleh jadi dan sangat boleh jadi sedekah mereka jauuuuhh lebih banyak dari harga jutaan yang mereka keluarkan untuk membeli tas-tas tersebut. Hanya saja, catatan berikut ini sekedar evaluasi buat diriku sendiri terutama (mana tau ada yang lain yang ikut kecipratan juga). Ya, evaluasi buat diriku terutama.
Aku, dahulu sekalii, ketika belum mengenal barang-barang branded tersebut, adalah sosok yang super cuek. Pake tas harga 25rb oke-oke saja. Bahkan pernah aku membeli sepatu dengan harga 10rb saja (meskipun besoknya si sepatu langsung rusak dan robek), ahaha... kaki macam apa ituuuuh? :p
Aku tak pernah memperhatikan brand apa yang dipakai oleh seseorang karena aku memang nda ngerti soal barang branded. Aku tak kenal tasnya merek apa dan aku tak tau itu branded jadi aku cuek ajah tuuh. Intinya tidak branded oriented lah. Persis seperti mahasiswa pada umumnya. Cuek. Spatu kets. Dan tas ransel. Dan sebagaimana mahasiswa pada umumnya, lebih memilih untuk menghitung-hitung ketika akan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang harganya berlipat-lipat tetapi memiliki fungsi yang sama yang bisa disubtitusi dengan barang yang lebih murah. Aku merasakan banget ketika kuliah bareng teman-teman yang sudah bekerja, kadang mengeluh sendiri di kala ada tugas kelompok di luar kampus misalnya, kenapa harus memilih makan siang di restoran X misalnya yang harga satu menunya bisa buat 4-5 kali makan anak kos. Hihihi... Mungkin buat mereka yang sudah bekerja itu adalah hal biasa, tapi bagi mahasiswa yang masih disubsidi oleh orang tua, itu sesuatu yang berat. (Nda tega kan, orang tua susah-susah bekerja, membiayai kuliah tapi uangnya malah buat makan-makan). Makanya setelah bekerja, itulah sebenarnya the real life nya. Itulah tantangannya. Wong uang sendiri, suka-suka mau dibelanjakan ke mana. Di sinilah letak ujiannya.
Nah, pas ketika dunia pasca kampus, ketika kumpulannya bukan lagi segerombol mahasiswa melainkan para ibu-ibu, perubahan itu begitu berasa. Dunianya terasa sangat sangat berbeda. Topik obrolannya berbeda. Bukan lagi soal jurnal, publikasi, presentasi, deadline melainkan seputar dunia emak-emak, mulai dari fashion hingga urusan dapur. Sosok mahasiswa yang dulunya tidak pernah membicarakan apa saja barang branded kini mulai ikutan. Sedikit banyaknya akhirnya informasi mengenai barang branded itu sampai juga ke telinga. Dan sedikit banyaknya memberikan pengaruh. Kadang ada penyesalan, kenapa harus ada awareness-ku tentang barang branded ini?? Akan lebih baik jika tidak tau sajaaa.. Hehehe... Kenapa? Karena, sejujurnya ini berimplikasi pada keinginan untuk memiliki pula dengan niatan yang salah. Aaahhh.... nafsu...nafsu... astaghfirullah...
Tidak. Ini bukan soal menyalahkan dan asumsi bahwa memiliki barang branded itu bukan sesuatu yang terpuji. Bukan sama sekali. Aku sudah menegaskan sebelumnya di awal tulisan ini. Tapi ini menyoal manajemen niat dan manajemen hati, apakah ketika memilikinya malah menimbulkan kibr dalam hati, "Lihat nih gue pakai barang branded. Barang-barang gue branded semua kaaan?" Niatan dalam mengenakannya telah tergelincir.
Suatu ketika aku dan abu Aafiya berdiskusi soal barang-barang branded ini. Bagaimana sih orang yang zuhud itu sebenarnya khususnya sub-bab barang branded. Apakah seseorang seperti aku yang cuek dulu itu benar-benar the real zuhud?
Kata-kata suamiku yang sangat berkesan bagiku adalah, "Belum tentu orang yang tidak memakai barang branded itu berarti dia benar-benar zuhud seperti case ketika jadi mahasiswa tersebut. Bisa jadi kita tidak memakai barang branded itu karena kita memang tidak mampu membelinya saat itu. Akan tetapi, yang sebenarnya zuhud itu adalah ketika seseorang yang sebenarnya mampu membeli barang-barang dengan harga mahal dan branded tapi dia lebih memilih barang yang tidak mahal. Atau ketika dia membelinya ketika dia benar-benar membutuhkannya dan dia 'membeli fungsinya' bukan 'membeli brand' nya"
Iya, benar. Ketika menjadi aku mahasiswa, tidak adanya keinginan membeli barang branded adalah disebabkan ketika itu ketidakmampuan membeli barang branded (sekaligus ketidaktahuan) dan masih banyak hal prioritas lainnya dari pada sekedar tas branded misalnya. Aku pikir kebanyakan mahasiswa juga begitu kerangka pikirnya. Nah, berbeda ketika sudah memasuki dunia kerja di mana ketika kita lebih mudah untuk membayar sesuatu dengan harga yang lebih mahal.
Suamiku melanjutkan, "Tidak masalah ketika kita memiliki barang-barang branded selama itu diniatkan untuk fungsinya, bukan gengsinya. Jika misalnya membeli sepatu branded tapi tahan 5 tahun, fungsinya termaksimalkan kan dari pada beli sepatu harganya sangat murah tapi hanya bisa dipakai sebentar saja?" Kala itu kita pernah punya pengalaman beli sepatu sangat murah (9 SAR saja dan itu setara dengan harga 6 pcs bakwan saja kalau di sini hehe), namun baru beberapa kali pakai, sepatunya sudah rusak. Meskipun yang branded bukan berarti sesuatu yang terbaik, tetapi hukum 'ada harga ada rupa' itu ternyata berlaku juga meskipun tidak selalu begitu. Karena yang tidak branded pun sebenarnya banyak yang bagus. Tapi barang branded, memang harus diakui, umumnya berkualitas bagus. Itulah sebabnya barang tersebut punya brand kan ya?
Nah, key word dari jawaban ketika ada pertanyaan "Haruskah Selalu Memakai Barang Branded?" adalah tidak harus selalu tapi sama sekali tidak salah jika ingin memakai barang branded. Sah-sah saja, dan sangat boleh saja, asalkan sedari awal niatnya sudah ditata dan selalu ditata ulang bahwasannya membeli sesuatu itu berdasarkan fungsinya, efisiensi penggunaannya, bukan karena gengsinya. Ketika niat awal membeli barang branded adalah agar merasa terpandang, kibr dengan apa yang dimiliki, merasa lebih dari orang lain, merasa gagah sendiri, kemudian timbul pengecilan terhadap orang lain, ini jelas-jelas sudah salah. Branded bukan lagi sebagai fungsi!
*****
Sekelebat di majlis pertemuan yang sama, ada satu sosok yang ma shaa Allah... Setiap kali berjumpa dengannya aku tau dia hampir selalu mengenakan tas yang sama di mana kebanyakan orang di setiap pertemuan kadang tasnya beda-beda (duuh, merhatiin banget inih akuuh... wkwkwk. Kadang diledekin sama suami, itu pergi dengerin tausyiah/pergi sekolah buat belajar dan menimba ilmu atau memperhatikan tas/sepatu orang sih? wkwkwkwk...). Kembali ke sosok tadi, tasnya branded tapi sepertinya sangat difungsikan dengan maksimal. Kesalihahan dan kecerdasan terpancar dari wajahnya (dan yang kau tau dia sedang menghafal al qur'an, mungkin sekarang sudah 20 juz). Sosok yang secara kasat mata jika memandangnya saja sudah menimbulkan keteduhan mestilah sosok yang baik.
Ahhh, pelajaran lagi buatku, yang meninggikan derjat seseorang bukanlah seberapa branded hidupnya, seberapa banyak barang branded nya, tapi seberapa takwa ia. Itulah sebenarnya peninggi derjat yang sesungguhnya.
Ahhh semoga Allah masih menjaga hatiku, hatimu, hati kita dari niatan-niatan yang salah dan godaan-godaan yang menjerumuskan pada kibr (merasa besar dan merasa tinggi) ini. Selalu saja ada celah untuk tergelincirnya niat. Selalu saja ada celah. Apalagi syetan tak pernah lelah untuk menggoda. Semoga... semoga Allah melindungi kita. Melindungi hati kita. Melindungi niat kita.
Riyadh, 1 Juni 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Assalamualaikum mba, makasih looooh tulisannya sy dapet pencerahan, persis banget sm yg saya rasakan, suka perhatiin tas2 ibu2 kalo lagi ngumpul *gak penting banget* dulu jg saat mahasiswa daya beli yg kurang, membeli harga tas 50rb - 100rb aja udh alhamdulilah banget bisa beli tas. Sekarang pas jd ibu2 ada rasa "kepengen" jg beli tas branded krn lingkungan berada di tempat seperti itu. Tapi masih maju mundur karena saya masih berpikir basic dari fungsi tas yaitu tempat naro barang kalo lagi keluar, merk bukan prioritas utama. Tapi skrg jadi kegoda �� walaupun skrg hamdalah ada kemampuan daya belinya,cuma takut nya kayak yg dijelaskan di tulisan mba, jadi "riya"/ gengsi semata, bener2 karena pemilihan fungsi dan efisiensinya. Balik lagi semua niatan kita yaa mau pake branded atau ga sah2 aja asal gak utang dan bisa awet lamaaaa Hihihi..��
ReplyDeleteWa'alaykumussalam mba Dewi, sama2 mba. Terutama untuk mengingatkan diri sendiri mba hehe. Makasi jg sharing nya 😊
Delete