Sudah berbulan pandemi berlalu. Dan sudah hitungan bulan pula anak-anak belajar sekolah daring. Di akhir Agustus ini (tanggal 30 Agustus), kegiatan sekolah tahun ajaran baru sudah dimulai. Tapi, sepertinya pandemi masih berlangsung. Di sini, angkanya hampir mencapai 290rb kasus per 10 Agustus ini. Bukan angka yang sedikit tentunya. Dan tentu saja ini menjadi alasan yang kuat bagi kami (aku dan suami) untuk tidak menyekolahkan anak di sekolah formal. Pertimbangannya, jika pun sekolah formal, tetap saja akan mode daring di mana tidak ada sesi tatap muka dengan guru. Artinya, sama saja mendaftar atau tidak mendaftar sekolah, tetap emaknya yang harus mengajarkan. Maka, opsi yang kami pilih adalah sekolah di rumah. Sebutlah homeschooling dengan tipe unschooling. Hehe. Proses belajar yang alami saja tidak mengacu kepada kurikulum manapun melainkan membuat kurikulum dan target sendiri.
Posisi Aafiya sebenarnya cukup menguntungkan. Aafiya sudah lulus KG3 (selevel TK B) dan seharusnya tahun ini masuk grade 1. Tapi secara usia (menurut aturan pendidikan di Indonesia), Aafiya lebih cocok menjadi siswi kelas 1 di tahun depan. Jadi, ada spare selama 1 tahun. Tidak ada salahnya menunda untuk masuk kelas 1 tahun depan (in shaa Allah).
Selama setahun ini? Ya, belajar di rumah aja. HS suka-suka. Hehe.. Ya, enggak 100% suka-suka juga sih. Karena tetap ada target capaian, kurikulum (anggap saja kurikulum) wkwkwk.. yang dirancang dan tentu saja juga mesti dirancang juga metode belajarnya seperti apa.
Sejujurnya aku bukan praktisi pendidikan anak. Dan, mengajarkan pedagogik gini buat aku sesuatu yang berat. Dulu sebelum masuk sekolah, mengajarkan Aafiya membaca bikin frustate rasanya. Anaknya ga ngerti-ngerti, emaknya esmosi. Hehe. Bukan Aafiyanya yang tidak bisa. Tapi akunya yang tidak pandai mengajarkan. Tampak-tampaknya memang tidak berbakat akutu jadi guru TK. Hehe. Tapi, adanya pandemi ini, ternyata mau tidak mau 'memaksa' kita untuk beradaptasi termasuk dalam hal pendidikan. Ini tentang bagaimana merubah tantangan menjadi peluang.
Mengapa peluang?
Ya, menurutku ini adalah peluang yang besar. Sedih sebenarnya, jika sampai yang mengajarkan membaca huruf demi huruf al Qur'an, membaca huruf demi huruf buku, hingga tulis menulis bukan aku sebagai orang tua. Orang tua akan kehilangan peluang amal jariyah di sini. Tidak salah memang. Karena ada beberapa kondisi memang mengharuskan orang tua untuk tidak bisa mengajarkan. Dan aku tentu tidak ingin men-judge dan menyamakan kondisi semua orang tua. Dan juga tidak salah. Hanya saja, kehilangan peluang saja. Peluang amalan jariyah yang terus mengalir ketika kelak anak kita membaca Al Qur'an yang huruf demi hurufnya ia ketahui melalui kita. Peluang amalan jariyah setiap kebaikan yang dia baca dari sebuah buku dan kita sebagai orang tua yang pertama kali mengenalkan huruf demi hurufnya.
Mengingat ini, tentang 'investasi setelah kematian', aku menjadi lebih bersemangat untuk mengajarkan Aafiya di rumah. Keinginan sederhana agar semua anak-anak mengetahui huruf hijaiyah hingga membaca Al Qur'an, huruf a,b,c, d dan angka langsung dari ibunya, tidak dari orang lain. Setelahnya, karena keterbatasanku, maka tidak mengapa untuk melanjutkan di sekolah formal. Setidaknya dasarnya ia peroleh dari ibunya. Alhamdulillaah, semangat untuk mengajarkan itu kini mulai bersemi. Hadza min fadhli Rabbi. Tantangannya adalah keistiqomahan.
Bagaimana memulainya?
1. Pertama, tentu saja yang harus diluruskan adalah niat. Dan juga terus diperbarui.
2. Berusaha untuk istiqomah dan memohon pertolongan Allah agar Dia mudahkan jalannya dalam mengajarkan anak-anak.
3. Mengajarkan dengan tidak memaksa, tanpa disertai bumbu marah-marah, dalam kondisi hati yang tenang dan lapang. Dahulu, ketika masih sekolah daring, kondisi ini kurang didapatkan karena dikejar-kejar target harus mengumpulkan tugas sekolah, baru beradaptasi dengan sekolah jarak jauh, menjadikanku dalam kondisi "penuh tekanan" sehingga sering kali malah mengajarkan sambil esmosian. Proses belajar bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan. Tapi, alhamdulillaah setelah belajar sendiri, kondisi menjadi lebih baik. Tidak ada tekanan harus segera mengumpulkan tugas. Harus mengejar target tertentu dan selesai dalam jangka waktu tertentu. Belajar pun dalam kondisi having fun. Tidak jarang malah Aafiya sendiri yang dengan suka rela minta belajar baca misalnya.
Apa targetnya? Untuk Aafiya targetku adalah agar bisa baca Al Qur'an, bisa baca buku berbahasa inggris maupun bahasa Indonesia. Itu saja. Lalu, kegiatan kami juga diselingi dengan craft dan komputer. Ini sebagai tambahan saja.
Aku berharap ketika usia Aafiya 6 tahun, dia sudah bisa membaca Al Qur'an sendiri. Mungkin lebih lambat tapi tidak apa. Lebih baik terlambat dari pada tidak memulai sama sekali kan? Metodenya bukan dengan iqro melainkan dengan buku dari sekolahnya Aafiya ketika KG dulu. Ma shaa Allah, sepertinya memang jalan yang Allah mudahkan. Belajarnya runut, mulai dari mengajarkan hijaiyah dengan harakatnya, lalu huruf hijaiyah dalam bentuk bersambung. Setelah itu mad bil alif, mad bil ya, mad bil wau. Setelah mad, ada sukun. Lalu tanwin dan tasydid. Menurutku bukunya sangat bagus dalam proses mengajarkan anak-anak membaca Al Qur'an. Runut banget. Dan kelebihannya adalah sesuai dengan tulisan di Al Qur'an terbitan madinah. Sejujurnya, dulu waktu "pindah" ke Al Qur'an terbitan Madinah dari Al Qur'an yang diterbitkan di Indonesia, aku mengalami sedikit kesulitan karena ada sedikit perbedaan. Nah, buku ini memang dikhususkan untuk Al Qur'an yang diterbitkan di Timur Tengah sepertinya. Sedangkan untuk hafalan sebenarnya tidak dipaksakan. Sehari 1-2 ayat saja.
Dan untuk kegiatan baca, kita menggunakan metode apa pun. Asalkan tujuannya membaca. Sebelumnya, untuk bahasa inggris aku mengajarkan phoenic terlebih dahulu. Ini juga anugrah buat aku. Justru aku jadi belajar phoenic yang dulu tidak pernah didapatkan di bangku sekolah. Tentu saja aku harus tau dulu sebelum mengajarkan kepada Aafiya. Phoenic untuk konsonan, vowel baik long vowel maupun short vowel, blending. Dan ini menjadi dasar bagi Aafiya untuk bisa membaca dalam bahasa inggris. Semisal ada tulisan "bus" aku tinggal bilang "kak, short vowel u", Aafiya akan notice bahwa short vowel u akan dibaca 'a' sehingga untuk "bus" dibacanya "b-a-s". Naah, karena hampir semua dasar phoenic sudah kita pelajari, tinggal mempraktekkannya. Yaitu dengan membaca kisah Nabi. Atau buku-buku lainnya. Aafiya belajar baca, nanti dikisahkan kisah nabinya oleh aku atau ayahnya. Selain bahasa Inggrisnya didapatkan, plus bonus kisah nabinya. Aku memilih bahasa inggris terlebih dahulu karena dari sekolah Aafiya pengantarnya adalah bahasa inggris, jadi tinggal melanjutkan pelajaran dari sekolahnya saja.
Untuk bahasa Indonesia, ternyata memakai metode "phoenic" nya bahasa inggris jadi lebih memudahkan. Dulu (seperti yang aku ceritakan di atas), aku sampai frustate mengajarkan gimana biar Aafiya paham bahwa "b+u" itu dibacanya "bu". Karena aku tidak tau metode mengajarkannya seperti apa. Dengan metode "phoenic" ini alhamdulillaah beberapa kata malah Aafiya sudah bisa sebelum aku ajarkan. Ma shaa Allah.. tabarakallaah.
PR selanjutnya adalah bagaimana agar Aafiya lancar dalam membaca. Karena sekarang masih dalam tahap membaca lambat. Dan juga menuliskannya. Karena beberapa kata, aafiya masih menuliskan dengan ejaan bukan dengan tulisan yang sebenarnya. Misal, "black" ditulis "blec" atau "very" ditulis "vare". Dalam urusan tulis menulis ini, Aafiya belajarnya biasanya dalam bentuk surat-suratan. Bikin surat cinta buat emak atau bapak atau adek-adeknya. Anaknya memang tipe romantis sih. Ma shaa Allah.
Untuk Aasiya memang aku tidak mentargetkan untuk bisa baca latin dulu. Jadi pengennya satu persatu. Aku pengen Aasiya bisa baca Qur'an dulu. Jadi, sekarang Aasiya "sekolah"nya hanyalah sebatas belajar Iqra'. Dan juga hafalan Al Qur'an dengan metode talaqqi.
Dan untuk Maryam, sebenarnya aku ikut di tahfidz bayi gitu. Tapi, ada beberapa metode yang tidak bisa kami ikuti. Misal, harus ditalqinkan beberapa surat (An Naba, An Naziat, At Takwir) sekaligus. Padahal daya konsentrasi bayi 2 tahun hanya beberapa saat saja. Maka, aku memilih untuk mentalqinkan beberapa ayat saja tidak semuanya. Pun dengan murattal yang diperdengarkan. Talqinnya juz 30 tapi murattalnya juz 5. Karena kurang singkron, jadi aku lebih prefer untuk menyetel juz yang memang sedang di talqinkan. Selebihnya, metodenya aku berusaha terapkan semisal stimulasi huruf hijaiyah. Hanya saja beberapa minggu terakhir ini masih off karena belum sempat bikin hurugmf hijaiyahnya. Hehe.. Iya, karena keterbatasanku juga.
Terakhir, aku berharap ini semua menjadi wasilah kebaikan bagiku, bagi anak-anak, bagi keluarga kami dan semoga juga bagi umat. Aamiin yaa Rabb.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked