Episode Bangsal Anak


Waaah, episode baru dimulai.
Bangsal anak! Bangsal yang sangat menyenangkan! Horre…horreee…, hehehe. Dassaaar! Tapiiii, aku memang sangaaaaaaaat menyukai anak-anak.

Alhamdulillaah, akhirnya berakhir jugah episode perburuan (lho, koq?? Heee…, maksudnya episode IFRS yang lebih banyak bertemu dokumen, kapsul daaaan…(aaah…, ga usah disebut deeeh). Lalu,sekarang gilirannya masuk bangsal. Hmm… pengalaman yang menarik. (semua ini membuatku betah di sini. Wah…wah…, semua ini seperti gelombang grafik sinus yaah?? Hehehe. Baru saja kemaren bilang aku ingin memutar waktu, sekarang malah amat sangat menikmati. Hihi)

Anak-anak itu, wajah lugu itu, wajah polos itu, --dan yang sungguh sangat menyedihkan--, wajah penuh kesakitan itu…
Ahh…, aku menyayangi mereka…dan betapa inginnya aku membagi semangat ini, untuk mereka…
Sungguh…

Adalah kebahagiaan tersendiri bagiku ketika berkesempatan membersamai mereka, Melemparkan seutas senyum, lalu berkata, “cepat sembuh yah De’.” Atau sekedar pura-pura marah dan mengatakan, “Adee’, jangan banyak gerak dulu! Istirahat yaaaah. Ga mau lama-lama di sini kaaan?”.

Sungguh, aku banyak belajar dari anak-anak itu. Tentang kasih orang tua, terutama! Semuanya mengajarkanku, betapa besarnya kasih ayah dan ibu itu. Bahkan pilihan diksi manapun takkan dapat mewakilinya. Mungkin kita tak pernah tau, dahulu, ketika pikiran kita belum mampu mencerna apa itu artinya sedih, gembira, karena kita hanya punya dua bahasa, tangis dan tawa, barangkali ibu ayah ibu kita sering mencemaskan kita. Menangis untuk kita. Mengkhawatirkan kita. Dan, melakukan apa saja untuk kesembuhan kita, ketika kita sakit. Maka, memang sepantasnyalah penghormatan dan kata-kata yang baik dan mulia yang kita persembaahkan untuk beliau.


وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاه ُُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانا ً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفّ ٍ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا ً كَرِيما (23)ً وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا (24)ً

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". 
(Qs. Al Isra : 23-24)

Aku jadi teringat masa kecil dulunya. Ketika aku baru saja mulai mengingat. Dan sungguh, kisah ini memang telah terekam sangat jelas di ingatanku hingga sekarang. Dan aku perlu menyeka air mata setiap kali mengenangnya.

Kala itu, mungkin umurku masih 4 atau 5 tahun. Dan, aku mengalami demam tinggi. Wajah ibu waktu itu saaaangat cemas. Nafsu makanku benar2 menurun. Namun, waktu itu aku lagi pengin makan sate. Lalu, aku bilang sama ibu bahwa aku pengin sate. Ibu tampak berpikir. Ibu sedang tak punya uang. Kondisi keluarga kala itu mungkin sedang sulit. Aku masih ingat waktu itu, akhirnya ibu membongkar celengannya, menghitung receh demi receh, lalu ibu pun berjalan menuju tempat si penjual sate. Seingatku, tempat penjual sate itu lumayan jauh dari rumahku. Sekembalinya dari sana, dengan sumringah ibu menyodorkan suapan untukku, berharap agar aku bisa makan. Namun, hanya sedikit saja yang masuk ke saluran pencernaanku. Aku bilang pada ibu, bahwa semuanya pahit. Ga enak. Padahal, aku sangat ingin sebelumnya. Dan, alangkah mubadzirnya itu semua karena ibuku sama sekali tak menyukai sate.

Sungguh, betapa tak mengertinya aku tentang kesusahan ibu, betapa tak mengertinya aku bahwa ibu berusaha memenuhi semua keinginanku agar aku bersedia makan, betapa tak mengertinya aku bahwa ibu membutuhkan usaha banyak untuk bisa mendapatkan sate itu. Lalu kemudian, dengan gampangnya aku mengatakan pahit. Tapiii, ibu tidak marah dan kesal. Ibu tak menyesali apa yang beliau lakukan. Ibu tetap berusaha untuk tersenyum menyemangatiku, agar aku lekas sembuh.

Begitulah ibu. Kasihnya yang tiada pernah berujung. Tiada akan pernah…

Aku…sangaaat mencintai ibu, sangaaat mencntai ayah. Aku…hanya ingin mempersembahkan yang terbaik untuk beliau. Yang terbaik yang kupunya. Aku ingin…mempersembahkan mahkota untuk beliau di akhirat kelak, yang cahayanya melebihi cahaya matahari. Aku sungguh sangat ingin… Perkenankanlah ya Allah…

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked