Humm...sebenarnya banyak kisah yang ingin aku ceritakan...tentang mimpi, harapan, kekecewaan, optimisme, kemelut, tawa bahagia, tangis kesedihan. Uhm...komplit yah. Hehe.
Baiklah....I’ll start in one locus. Ini tentang perjalanan (lagi-lagi crita perjalanan yah? Hihi). Terasa sangat mengherankan sekali dunia. Di tengah-tengah ‘bencana’, masih saja ada tangan yang tega berbuat nista (ngutip lirik lagunya Ebiet G Ade....hehe). dalam beberapa kali terakhir ini aku mengalami perjalanan yang (lagi-lagi) meninggalkan banyak kesan. Kalau kemarin mengalami pecah ban dan harus menghabiskan 14 jam hanya untuk 180 km, kali ini episodenya lain lagi. Macet berkepanjangan. Mungkin bagi sekebanyakan orang-orang di kota metropolis, macet adalah hal yang lumrah. Tapi, bagi kampung pelosok begini, macet adalah hal yang diluar kebiasaan. Macet ini terjadi karena ada mobil ambruk di sebuah jembatan yang berpalang-palang yang sudah bolong-bolong, dan yang parahnya...hanya jalan itu satu-satunya akses ke kampungku. Jadilah...mau tak mau harus melalui jalan itu.
Di tengah-tengah jalan yang bolong-bolong, jembatan yang rusak begitu, masih saja ada yang tega-teganya menydodorkan kotak meminta (lebih tepatnya : memaksa) para pengguna jalan untuk membayar retribusi yang seharusnya tak dibayarkan. Katanya untuk perbaikan jalan, tapi mereka tak melakukan apa-apa. Mereka menjadikan kerusakan jalan sebagai sebuah mata pencarian. Sungguh miris!
Waktu itu, aku satu angkutan dengan rombongan guru-guru SD yang hendak mengikuti suatu seminar di sebuah universitas negeri di kota Padang. Dan aku menjadi ‘pendengar setia’ atas ceritera-ceritera panjang mereka. Heuu....
Guru 1 : insya Allah kita akan sampai di Padang, jam berapapun itu! Kita harus mengikuti seminar ituLalu, setelah kendaraan itu melaju dan terlepas dari kemacetan. Dialog lain pun berlanjut.
Guru 2 : halaaaah....seminar aja jam setengah sembilan. Ini sudah jam sebelas. Mana mungkin kita bisa sampai di Padang yang jaraknya aja 100 km lagi! Paling sampai di sana, juga udah selesi
Guru 1 : insya Allah bisa! Setidaknya ada sedikit saja ilmu yang bisa kita peroleh di sana!
Guru 2 : mending balik saja deh. Gak mungkin niiih, kita bisa ikut. Itu tuh, mobil-mobil aja tidak bergerak!
Guru 1 : insya Allah, dzuhur kita bisa sampai di kampus itu.
Guru 2 : halaaaah....paling juga di Sitinjau Lauik (sbuah daerah perbukitan di sudut kota Padang) juga macet lagi.
Hehe, dialog ini tentu saja tidak sesuai dengan redaksional yang sesungguhnya. Tapi, lebih kurang begitulah kira-kira.
Uhm....dari dua penyikapan pahlawan tanpa tanda jasa di atas, sebenarnya ada plajaran yang bisa kita ambil. Setidaknya, itu yang kudapatkan. Ini menyoal bagaimana mempersepsi hidup apakah dengan polarisasi optimis, ataukah dengan polarisasi pesimis.
Kedua guru itu sama-sama berada di kondisi yang sama. Sama-sama di tarvel yang sama. Sama-sama dihadapkan dengan kondisi yang sama. Tapi dengan penyikapan yang berbeda. Mari kita simak dialog-dialog itu sekali lagi. Guru 1 senantiasa berupaya untuk optimis. Selalu memandang sisi dan kondisi itu dengan sikap-sikap yang positif. Sementara, guru 2 memandang sisi dan kondisinya, melulu dengan hal-hal negatif yang mematahkan semangat.
Pelajaran berharga. Sebenarnya, kondisi sesulit apapun itu....tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika kita menyikapi dengan sikap positif, maka, setidaknya, kita masih punya energi positif untuk terus mengarungi segala rintangan dan tantangan. Kendatipun pada akhirnya, tidak seperti apa yang kita harapkan, tapi setidaknya, kita tidak membuat pikiran kita kisruh dengan hal-hal yang melemahkan semangat. Jika disikapi dengan sikap negatif, pesimis, maka kita mengalami kerugian dua kali. Ibarat vektor, maka vektor negatifnya terus diperpanjang.
Semoga ini jadi pelajaran buat kita dan buat diriku terutama, untuk (berlatih) bersikap positif atas kondisi apapun itu. Yah, butuh latihan memang. Tapi, kita bisa, insya Allah.
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked