Ada yang bersejarah di tanggal 22 November. Sejarah yang mungkin takkan pernah kulupa yang kemudian menjadi sesuatu yang terpahat dengan begitu jelas di dinding hati. Tentang apa itu, tidaklah menjadi penting adanya untuk kujelaskan di sini. Hanya saja, kali ini, aku ingin sedikit merenungi kisah 22 november itu… Kisah yang menjadi potongan fragmen dalam setiap episode-episode hidup.
Apa yang akan kutuliskan ini mungkin hanyalah sebuah ikhtisar saja. Sesuatu yang sejatinya sudah kutuliskan berkali-kali sudah pada catatan-catatan sebelumnya. Tapi, entah kenapa, kali ini kembali ingin kutuliskan. Mungkin, sekali saja tidaklah cukup untuk menyangga lemahnya diri ini. Sungguh, betapa aku hanyalah makhluk-Nya yang begitu dhaif, begitu sering tersalah…
Ada satu masa di mana aku begitu ingin menghilang di telan bumi saja. Jika saja ada sebuah lubang besar di hadapanku kala itu, ingin sekali aku melompatinya dengan segera. Mungkin pengecut. Ya, mungkin itu adalah sepengecut-pengecutnya pilihan. Tapi, hanya ada dua pilihan ketika itu. Lari sejauh-jauhnya, atau berbalik, menghadang dan menghadapinya! Sebagaimana juga ada dua pilihan ketika terperosok, terjatuh dan terjerambab. Bangkit atau tetap berada pada posisi keterjatuhan itu…
Banyak hal yang harus kusyukuri dalam hidup, tetapi juga banyak kebodohan yang kusesali adanya. Begitu banyak… Aku bukan sedang ingin meng-kambinghitam-kan stigma bahwa manusia adalah tempatnya khilaf dan lupa. Juga bukan sedang berselindung dibalik kredo khilaf adalah niscaya. Tapi, begitulah adanya, bahwa aku memang banyak tersalah…
Menyesal? Tentu saja…
Kadang aku tidak habis pikir, mengapa aku bisa begitu bodoh? Mengapa aku bisa melewati barrier yang bahkan terlalu tinggi itu? Lalu, apakah yang mengkatalisnya hingga aku punya energi untuk melewati energi aktivasi itu? Masya Allah…
Dan setelah rentetan peristiwa demi peristiwa itu diungkai dalam sebuah rekaman peristiwa lalu kemudian kembali diputar di hadapanku, hanya satu kata yang kemudian mewakili segenap rasa di hati, “AKU MENYESAL!”
Telah berlalu sekian hitungan masa sesudahnya…
Banyak dari catatan kisah itu yang kemudian meninggalkan pelajaran-pelajaran berharga. Bahwa terkadang kita membutuhkan adanya masalah. Karena dengannya semakin nyata bahwa kita sangat membutuhkan-Nya, bahwa memang kita dan segenap hidup kita amat sangat bergantung pada-Nya. Sebab, di banyak waktu, kesenangan lebih banyak membuat kita lena. Pelajaran lainnya adalah, bahwa tak sepenuhnya salah dengan adanya kesalahan. Kadang, dari kesalahan itulah kita belajar untuk membenarkannya. Kadang, kita perlu tersalah dulu untuk menjadi benar kemudian. Itu pula sebabnya, Dia, Dzat yang jiwa kita ada dalam genggaman-Nya, menyenangi hamba-hamba-Nya yang bertaubat atas salahnya, lebih dari pada kegembiraan seorang musafir yang menemukan kembali unta dan perbekalannya setelah berkelana kian kemari mencari perbekalan dan unta yang hilang itu.
Dari rentetetan peristiwa itu pula aku belajar banyak, bahwa ada kalanya keterjatuhan, keterjerambaban, dan keterperosokan itu, justru menjadi awal untuk dapat melompat lebih tinggi. Kepada setiap orang yang berhadapan dengan segala keterpurukan, diberikan dua pilihan saja. Berlarut padu dengan keterpurukan, atau memilih untuk bangkit, dan menjulang lebih tinggi. Tidak sedikit kemudian yang perlu berterima kasih pada kegetiran hidup, sebab kegetiran itu yang kemudian mengkatalis kebangkitannya. Sebab juga, kesenangan dan segala yang serba available justru membuat banyak orang terlena dan bahkan lemah! Sebagaimana tangguhnya nakhoda bukan karena ia berhadapan dengan lautan yang tenang melainkan gelombang badai yang besar. Juga sebagaimana pelangi indah yang tidak akan pernah muncul, kecuali setelah hujan dan gelap…
Satu pelajaran yang lebih berharga lagi adalah, rentetan peristiwa itu juga telah mengeluarkanku dari pengharapan pada manusia. Menitipkan sebuah pengharapan pada manusia sama saja dengan menggelindingkan sebuah bola es dari puncak gunung. Semakin menggelinding, semakin membesar pula ia. Hingga pada suatu ketika, pada masa yang mungkin tak pernah terdugakan, bola es yang sudah begitu membesar itu pecah dan justru menimpa diri kita sendiri. Menitipkan sebuah harap pada manusia, sama saja dengan menabung deposit kekecewaan yang kemudian menjadi sebuah wujud nyata ketika potret nyatanya tidaklah sama dengan catatan asa. Maka, cukuplah pada-Nya, hanya pada-Nya segenap harap dilabuhkan… Cukuplah hanya pada-Nya saja segenap harap itu digantungkan, dan dengan demikian, kita tak akan kecewa, tak akan pernah kecewa…
Aku percaya, takdir-Nya atas diri kita adalah sebaik-baiknya takdir. Apapun yang telah Dia tetapkan atas diri kita, adalah sebaik-baiknya catatan, seberat apapun itu… Sebab, Dia jauh lebih mengetahui, apakah yang terbaik untuk diri kita, melebihi diri kita… Sebab, yang dikatakan TERBAIK tidaklah selalu linear dengan KEINGINAN dan KEHENDAK hati kita saja… Kita terlalu dhaif untuk mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita dan DIA mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita… Boleh jadi saja, apa yang tidak kita sukai itulah yang justru mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi diri kita. Dan boleh jadi saja, kehendak dan ingin-ingin kita itu, justru mendatangkan keburukan bagi diri kita…
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah lebih mengetahui sedangkan kamu sama sekali tidak mengetahuinya.” (QS 2 : 216)
Tak sedikitpun ada yang sia-sia. PASTI Dia sertakan hikmah luar biasa bersama kepahitan dan kegetiran yang kita rasakan. Pasti DIA sertakan kemudahan dan kesenangan di balik segala kepahitan. Mungkin bukan hari ini kita mengetahuinya, sebab dhaifnya diri kita… Mungkin besok, lusa bahkan puluhan tahun kemudian. Kelak, mungkin kita mengetahui, mengapa harus begini jalannya, bukan seperti yang pernah kita inginkan dulunya… Ya, agar kita tidak terlalu bergembira dengan apa yang telah kita peroleh, dan tidak terlalu bersedih dengan apa yang luput dari diri kita. Selalu saja, segala keadaan adalah baik adanya….
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz sebelum Kami menciptakannnya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu JANGAN BERDUKA CITA terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu JANGAN TERLALU GEMBIRA terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. 57 : 22-23)
Satu hal yang pasti, bahwa ujian-Nya tetaplah pada range kesanggupan kita… ”Allah tidaklah membebankan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs 2 : 286). Jika saja Allah saja sudah mempercayakan sebuah ujian pada diri kita, lantas alasan apa lagikah yang membuat kita merasa tak sanggup untuk melewatinya? Pastilah karena kita BISA!
Saatnya transformasi, untuk menjadi lebih baik lagi! Percayalah, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik! Percayalah bahwa setiap kita, BISA MENJADI LEBIH BAIK LAGI! Meskipun tidak perlu sebuah momentum untuk berubah menjadi lebih baik, akan tetapi di awal tahun Hijriyah ini mungkin saatnya bagi kita untuk kembali menata hidup, membenahi diri, menambali segala rombengan yang pernah ada…
Karena setiap kita punya kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik, maka mengapa kita tak mengambil kesempatan itu?
Pagi Muharram 1433 H yang cerah…. Saat dikejar-kejar tugas dan ujian… ^__^