Hari ini aku belajar tentang saraf. Sebuah pelajaran yang sangat menarik. Bahkan membaca bukunya Bu Lauralee Sherwood menjadi sangat menarik bagiku melebihi membaca novel. Hee… (Seiring berjalannya waktu, keinginan untuk membaca novel ku ko jadi ‘agak’ menguap yah? Lebih interest dengan kisah-kisah nyata kehidupan, karena lebih realistis dan lebih memanusia). Belajar bukunya bu Sherwood bukan kewajiban sebenarnya (lebih wajib baca buku Fiqih kaleeee, hihi, soalnya kan banyak yang belom kita (kitaaa??? kamu ajah kaliii Thel!) tau tentang hukum-hukum dalam kehidupan. Yang dalam keseharian seharusnya kita kerjain, kita luput ataupun sebaliknya. Hee… itu bagiku. Mungkin karena memang kafaah ilmuku itu masihhhhh amatttt sangattt sedikitttt sekaliii dan memang seharusnya masih buanyaaakkkk belajarrrr). Tapi, untuk belajar saraf, tampak-tampaknya aku memang perlu merujuk bukunya Sherwood (bukan karena tak ada buku lain, tapi karena buku itu yang bisa kupinjam. Hihi… Ndak modal banget yah? Bisanya Cuma minjem. Hehe… Abisnya, bukuku kebanyakan ketinggalan di kampung sih…).
Belajar saraf bagiku bukan saja tengah memenuhi sebuah rasa ingin tahu tentang mekanisme penyakit berikut pengobatannya, melainkan mempelajari betapa luar biasanya penciptaan Allah. Sungguh, masya Allah..sungguh sempurna dan sungguh memang tak ada yang sia-sia. Bahkan sekecil dan semikroskopik apapun itu, PASTI memiliki peranan besar dalam kelangsungan hidup manusia. Masya Allah, sungguh luar biasa. Sungguh luar biasa! Secanggih apapun computer yang diciptakan manusia, sungguh takkan dapat mengalahkan rumitnya saraf dan otak manusia yang amat sangat canggih. Luar biasa… Dan itu pun baru sedikit ‘misteri’ terkuak. Masih banyaaaaaak hal-hal menakjubkan lainnya yang belumlah mampu manusia gali. Sungguh, ilmu yang dipunyai manusia itu amatlah sangat sedikit dan amat sangat terbatas. Lantas, apa yang patut manusia sombongkan di hadapan Rabb-nya? Tak ada yang dapat kita sombongkan…
Aku tentu tak akan membahas tentang anatomi fisiologi otak di sini, apalagi Parkinson, demensia alzeimer, cefalgia, migren, stroke, infeksi saraf pusat semisal meningitis yang buanyak menyebabkan kematian itu (karena pembahasan di segi kefarmasiannya kubahas di blog khusus farmasi. Yang berminat silakan kunjungi di sini). Tapi, di sini aku hanya ingin sedikit berbagi tentang sesuatu yang berkaitan dengan itu, mengapa begini dan begitunya ditinjau dari apa yang sedang aku pelajari (dan tentu saja apa yang kuplajari itu sangatlah terbatas dan sangat mungkin salah. Jadi, jika salah, maka mohon koreksinya yaahh…)
Mengapa hafalan itu perlu diulang?
Kata Rasulullah dalam haditsnya (maaf, aku lupa redaksionalnya), “Lenyapnya hafalan itu adalah lebih cepat dari lepasnya unta yang terlepas dari ikatannya.”
Ya, ini berkaitan dengan fisiologis memori. Karena memori itu ada yang jangka panjang dan jangka pendek. Jika tidak dilakukan pengulangan hafalan, maka akan segera di’deportasi’ oleh otak. Suatu hafalan akan menjadi ‘permanen’ jika selalu dilakukan ‘pendauran ulang’ alias pengulangan, sehingga pentinglah bagi diri kita untuk melakukan pengulangan hafalan. (skak matt! kenak deh akuuuu…. >.<).
Dan subhanallah, ketika menghafal (apapun itu) dan dilakukan pengulangan, akan melibatkan perubahan structural neuron-neuron yang ada di otak (terjadi interkoneksi baru). Jika hafalan Cuma sekali aajah, ianya hanyalah melibatkan perubahan jumlah neurotransmitter (suatu zat ‘komunikasi’ di otak) akibat stimulasi jalur-jalur saraf yang bersangkutan. Ketika nda teraktivasi lagi, hafalannya ikut lenyap deh. Heuu, bahasanya membingungkan yaah? Hmm…sederhananya gini kalo Cuma ngafalin sekali doang, dianya mah Cuma membuat jalur komunikasi ajah di otak, tapiii kalo sudah berulang, otak akan membangun ‘jaringan baru antar sesama saraf’ sehingga ianya melekat. Coba ajah deh, kalo surat Al Fatihah itu berarti sudah terdapat sebuah koneksi saraf (jaringan antar saraf yang bertugas menghafal Al Fatihah). Apa buktinya? Sambil lari-lari pun kita baca Al Fatihah mah bisaaa yah, hafal insya Allah. Tapii, kalo kita baru ngafalin surat An-Nisaa ayat 1-5 tadi malam, trus belom dimuraja’ah (belom diulang), walhasil ndak bisaaa dong sambil lari-lari kita bacain. Pasti butuh upaya ekstra keras untuk me-recall kembali memorinya. Nah, ini karena pas ngafalin An-Nisa nya, hanya neurotransmitter ajah yang terbentuk lebih banyak antara koneksi sarafnya, belom terbentuk sebuah jaringan atau interkoneksi saraf yang baru.
Masya Allah…
Ini semua jadi sebuah pelajaran yang amat sangat berharga bagiku, sekaligus “tamparan” atas buanyaakkk kelalaian selama ini. Astaghfirullaah…
Mengapa Riyadhoh itu sesuatu yang dianjurkan?
Uhmm…selain karena Allah itu lebih seneng sama muslim yang kuat, ada sebuah rahasia sebenarnya kenapa seorang muslim itu dianjurkan untuk riyadhoh (olah raga) yang juga jadi salah satu list yang dimutaba’ah setiap pekannya (yang aku pun sering setripp, alias strip, alias kosong, hadeuuhh….kenak lagiii nih saiaaaa….>.<), karena olahraga itu menghasilkan endorphin. Apa itu endorphin? Tak usah pake bahasa ilmiah deh. Endorphin itu adalah suatu zat kebahagiaan. Ciaahhh… kalo Morphin pada tau kan? Kalo morpin itu bisa menimbulkan ketenangan, kebahagiaan, dan bahkan dia bisa menghilangkan nyeri, begitu pula halnya endorphin. Tapi, bedanya, endorphin dihasilkan oleh tubuh kita sendiri, dan tidak menimbulkan efek ketergantungan ataupun fly. Waahh, masya Allah luar biasa yah?
Nyeri. Sesuatu yang perlu dihindarikah? Ataukah sesuatu yang baik?
Mengapa kita merasakan nyeri ketika terluka? Dan apakah nyeri itu sesuatu yang salah?
Ah, sesakit apapun nyeri itu, sesungguhnya ada yang bermanfaat dari sebuah nyeri. Mengapa? Karena hakikat nyeri yang sesungguhnya adalah SEBUAH PROTEKSI/PERLINDUNGAN terhadap KERUSAKAN yang terjadi pada diri kita. Jika tak ada nyeri, pasti kita tak pernah aware dengan kerusakan yang ada pada tubuh kita. Contoh, jika seseorang ketika memegang benda yang sangat panas, semisal api tapi tetap anteng saja dan tidak merasakan nyeri, pasti dia akan tenang-tenang saja ketika terbakar atau terinjak benda tajam. Dengan demikian, pastilah terjadi kerusakan pada tubuh kita. Tapi, masya Allah, Dia ciptakan nyeri, untuk kemudian menimbulkan gerak reflex menghindar ketika tertusuk benda tajam ataupun terkena benda panas dan lain sebagainya. Nyeri perlu obat adalah ketika nyeri yang bersifat patologis (heuu, membingungkan sekali yah istilahnya?). Maksudnya, nyeri menjadi sesuatu yang tidak lagi baik ketika ia TIDAK LAGI BERFUNGSI UNTUK MELINDUNGI DIRI KITA DARI BAHAYA.
Cukup sekian saja…
Sebenarnya masih bunyaaaaaaakkkk lagi…
Tapi, karena ilmu yang masih sangat terbatas, dan juga karena ujian yang begitu menumpuk, akhirnya, aku tidak begitu punya kesempatan untuk menuliskan lebih banyak lagi…Hehe…
Do’akan ujianku sukses yaaahh… Aku hanya sedang belajar untuk merubah persepsi tentang ujian yang bukan untuk sekedar lulus dan ingin mendapatan nilai A. Aku sedang belajar untuk mempersepsi bahwa ujian itu adalah bahwa aku tengah mencoba mempelajari untuk memahami ilmu yang tengah aku dalami. Jadi, aku hanya sedang mencoba untuk tidak belajar letterlet, tapi mencoba untuk menyelaminya. Jadi, ujian bukan untuk nilai. Siippp??!
Maannajah!!
Maannajah wahai diriku!