Setelah seminggu berkutat dengan cardiovaskular, sirosis, osteoporosis, gastritis, dan koagulan (istilah-istilah apaaah iniihh? Hihi), akhirnya sabtu ini alhamdulillaah bisa sedikit lebih santai. Ups, sebenarnya tidak bisa santai jugak! Karena, minggu depan masih menunggu si TPN dan Pediatrik, hee… Tapiii, apapun yang terjadiii, aku memutuskan untuk santai-santai dan bersenang-senang di hari sabtu ini. Pokonya, lupakan sejenak yang namanya ujian!
Sebenarnya ada dua pilihan tempat refreshing… Pertama Tanah Abang. Kedua Kampus. Lho, ko kampus? Hee…lebih tepatnya, Girlsday present, seminar kemuslimahan “Wanita dan Fashion, bagaimana Fiqih berbicara?”, tapiii entah kenapa, akhirnya pilihan refreshing justru jatuh pada opsi yang ketiga yang semulanya sama sekali tak direncanakan. Yaitu, ‘mangalai-ngalai’ di kosan tanpa aktivitas yang jelas. Yah, sebenarnya sayang banget melewatkan seminar itu… Tapiii, hatiku sedang tidak bersahabat untuk diajak ke mana-mana walaupun ia sebenarnya sudah sangat jenuh dengan yang namanya malas-malasan.. Heuu…
Akhirnya setelah lelah mangalai-ngalai (ternyata mangalai-ngalai pun bikin lelah yak? Hehe…), kuputuskan untuk memasak saja. Memasak apa coba? Memasak soup ala Rumah Sakit. Hihi… Kenapa ala Rumah sakit? Karena rasanya benar-benar tak bisa dibilang enak. Bukan berarti aku bilang makanan rumah sakit tak enak yah. Hanya saja, umumnya masakan RS adalah masakan yang rendah garam, apalagi buat pasien hipertensi! Jadi, rasanya bener-bener nda bersahabat dengan lidah. Dan masakan itulah yang tengah aku masak. Masa’ siy, masak soup tapi tak pake merica dan kawan-kawannya? Cuma bermodalkan garam sahaja yang juga kadarnya sedikit sehingga terasa hambar di lidah. Karena aku nda suka pake vetsin (turunan MSG dan sejenisnya, dan semoga bukan MSU alias monosodium urat, karena ini kan penyebab gout yah, hihi), maka tentu saja aku tak menambahkan pelezat itu ke dalam soup ala RS-ku… Setelah kelar masaknya (yang Cuma setengah jam itu), ehh,tak dinyana, ternyata aku malah lupa masak nasi. Akhirnya, harus menunggu nasinya mateng dulu, baru bisa makan siang. Heuu…kesiaaan..
Heee, aku critanya GeJe banget yah? Hihi…
Ah, sebenarnya bukan paparan di atas yang menjadi esensi tulisanku kali ini. Tapi, tentang saturasi alias kejenuhan…
Kejenuhan itu ternyata bukan hanya pada aktivitas rutin yang monoton. Bahkan, kita pun bisa MERASA JENUH dengan SEBUAH KEJENUHAN!
Pagi tadi itu contohnya… Mungkin karena sudah jenuh, aku memutuskan untuk benar-benar mengalai-alai tidak jelas juntrungannya. Membiarkan waktu terbuang percuma. Tapi, pada akhirnya, titik jenuh itu tercapai juga. Ketika kejenuhan itu sendiri juga telah jenuh… Di lain sisi, titik jenuh yang mencapai puncaknya lah yang kemudian menggerakkan untuk bisa lebih bangkit, tepat ketika titik jenuh itu melewati sedikit ambangnya.
Pernah mempelajari titrasi? Mungkin lebih tepatnya seperti itulah… Bahwa akan ada sebuah titik kejenuhan sehinga dapat merubah dua larutan bening menjadi pink muda…
Semakin membingungkan yah?
Bahkan, aku pun juga bingung…hihi… (Semoga bukan sedang somnolen).
Persoalannya adalah… kapankah ambang kejenuhan itu tercapai? Bagaimana jika meng-alai-alai itu justru membuat kita semakin menikmati sebuah kelalaian? Astaghfirullaah…
Sebuah pelajaran berharga yang kupetik kali ini adalah, bahwasannya benarlah sudah tentang kelalaian itu yang sifatnya istimror. Jadi, ketika sedikit saja kita mentolerir sebuah kelalaian, maka ia akan menuntut keberlanjutannya hingga kita senidiri yang kemudian benar-benar harus memutus mata rantai kelalaian itu sendiri… Nah, di sinilah letak berharganya sebuah kejenuhan di titik jenuh… Smoga bukan membuat kita intolerance terhadap sebuah kelalaian dan kemalasan, tapi menjadi sebuah titik balik bagi diri kita…
*hanya sebuah refleksi kecil. Mungkin kali ini tulisan benar-benar membingungkan, hehe… Maaf yah Bloggie… Jadi GJ begini…
0 Comment:
Post a Comment
Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked