Teko ambo di kosan :) |
Tapi, agaknya, jika kau menebak begitu, maka kau salah. Isi ceret itu adalah air bening saja. Kebetulan di belakangnya terdapat satu gelas tupperware yang berwarna merah tua keunguan. Ya, tupparware itulah yang memberikan kesan bahwa air di dalam ceret itu adalah sirop segar rasa anggur.
Lantas, buat apa aku memamerkan 'sirop' fatamorgana itu kah?
Begini, kawan. Mungkin ada hikmah yang dapat kita petik dari kisah si ceret dengan sirop fatamorgana itu. Ya, tentang bagaimana kita berpikir tentang sesuatu.
Baiklah, mari kita batasi konteksnya pada permasalahan pernikahan, karena ini dituliskan setelah mendengarkan tangisan seorang wanita yang meratapi pernikahannya yang nyaris karam. Ini kali kesekiannya aku mendengarkan kisah pilu itu. Kisah yang sanggup mengurai air mata. Kisah yang sekali lagi, memberikan pelajaran berharga. Mungkin sudah berulang kali aku tuliskan di sini. Ya, ini bukan yang pertama kalinya. Makanya, ketika membaca CHSI (Catatan Hati Seorang Istri) tulisannya Mba Asma Nadia, membuat aku terinspirasi sangat. Ingin sekali menuliskan kisah-kisah itu, berharap agar dapat dipetik pelajarannya bagi yang lain. (Tapi sepertinya, menulis tesis saat ini lebih prioritas. Hehe).
Baiklah, aku mengerti. Memang, tak selalu berbahagia ketika pelayaran itu telah mengarungi tengah samudra. Pertemuan dua ego, dua kepentingan, dua emosional, dua jiwa yang berbeda, kemudian harus disatukan. Sebab tak mungkin satu kapal akan berlayar menuju dua arah berbeda dalam satu waktu. Maka dari itulah, harus ada penyatuan arah. Harus ada yang mengalah. Harus ada yang keinginannya ditunda. Agar kapal tak pecah menuju arah yang berbeda. Agar tidak tenggelam sebelum berlabuh ke pulau impian.
Kali ini, aku tak ingin berbagi kisah pilu itu. Mungkin sudah banyak yang aku tuliskan di tulisan-tulisan sebelumnya. Tapi, aku hanya ingin belajar dari ini semua.
Seperti bagaimana kita memandang sirop yang menyegarkan, mungkin begitu yang orang pikirkan tentang pernikahan. Dari kejauhan, kita melihatnya sebagai sesuatu yang begitu indah, menyenangkan, membahagiakan, di mana hari-hari yang akan datang itu adalah dan hanyalah hari-hari penuh wewangi bunga, tiada celah, tiada anomalinya. Tapi, sayang, kita memandang hanya pada satu sisi saja, sebagai mana memandang sirop dari satu sisi padahal isi yang sesungguhnya adalah air bening berbackground tupperware warna merah keunguan. Ya, yang kita lihat adalah satu sisi keindahannya saja. Memikirkan hal-hal yang sangat ideal. Begini dan begitu. Ya, memang indah pastinya. Sebab, tiadalah sunnah dari rasul-Nya itu ada jika tidak membawa kebaikan, keberkahan dan kebahagian pada manusia. Tapi, mungkin kita lupa satu hal, tentang celah-celahnya, dan hanya berpikir dari sisi idealnya saja. Padahal, laki-laki yang menikahi itu atau perempuan yang dinikahi itu bukanlah sosok yang sempurna. Pasti punya celah. Dan begitu kondisi 'ideal' yang kita imaji-kan itu menjumpai banyak sekali rombengannya, lantas kita kecewa, dan menyesalinya. Padahal, mungkin kita sendiri yang sebelumnya telah memilih dan menetapkan pilihan.
Sebenarnya, kisah-kisah pilu itu juga perlu diperdengarkan. Bukan berarti menakut-nakuti dan menghalang-halangi seseorang menuju pernikahan. Bukan juga menjadi 'hantu' yang membuat seseorang menjadi takut untuk melangkah. Tapi, agar kita lebih realistis dalam memandang dari segala sisi. Bahwa, tidak selalu yang ada dan terjadi itu akan seideal mimpi-mimpi kita. Ada celah ketidaksepahaman membersamainya juga. Ada kerikil juga. Oleh karenanya, kita juga perlu bersiap diri. Bersama saling membangun, saling mengisi rombengan menuju ideal yang kita citakan. Ya, karena memang tak ada yang sempurna. Dia, sosok itu bukanlah sosok sempurna. Dan kita jugalah tiada sempurna. Tapi, kita bisa mencintai dan menjalani fase kehidupan ini dengan cara sesempurna yang kita punya. Tidak hanya di tatanan idealita semata di mana akan membuat kita begitu frustasi saat idealita tak bersesuaian dengan realita.Tapi di setiap kondisi. Sebab, dengan begitu kita menjadi belajar. Belajar apa saja: mencintai, menyayangi, memahami, berkorban, menguatkan, mengokohkan, menumbuhkan, mempercayai, dan segenap kata kerja cinta lainnya.
Ya, kisah si sirop fatamorgana ini setidaknya mengajari kita untuk dapat melihat dari segala sisi. Agar kita tak terjebak pada tatanan idealis, dan lupa bahwa kita berada di dunia realis. Agar kita belajar, untuk terus memperbaiki diri. Bukan untuk menjadi yang sempurna, tapi melakukan apapun itu dengan sesempurna cara yang kita miliki. Smoga Allah senantiasa karuniakan kepada kita segala nikmat dan karunia hidayah-Nya. Menjadikan kita bagian dari orang-orang yang terus belajar dan mengambil hikmah. Sungguh, Dia-lah yang menyisipkan hikmah itu pada hati-hati kita. Smoga penutup amal-amal kita adalah dengan sebaik-baik penutup. Fastabiqul khairat :)
Terimakasih..
ReplyDelete