Kisah Seorang Saudari


Saudariku, maafkan aku jika aku lancang menuliskan ini. Tapi, anggaplah ini sebagai sebuah pembelajaran bagiku, bagimu, dan bagi siapapun yang sempat membacanya....



Aku sangat mengerti perasaanmu. Amat sangat. Dan, tak pula salah jika kamu menangis. Menangislah, jika memang itu akan membuat hatimu lebih lega. Menangislah.

Ini soal kecendrungan. Mungkin aku sangat jarang menuliskan tentang hal ini di dunia terbuka semacam blog yang dapat diakses siapapun. Tapi, kali ini, entah mengapa, aku ingin menuliskannya saja. Hanya ingin…

Aku sungguh salut padamu, karena kamu adalah orang yang sangat kokoh menjaga satu sisi hati yang “istimewa” itu. Kamu berlakukan semua adab-adab dan konsep menjaga hijab itu, di jalan-Nya, insya Allah. Aku sangat yakin itu. Aku sangat percaya padamu. Bahwa kamu adalah salah satu sosok yang luar biasa yang tetap menjaga satu kisi hati itu. Tapi, sebagai seorang manusia biasa, tentulah kamu juga memiliki sebuah kecendrungan, sebuah kekaguman kepada seseorang itu. Meski saat bercerita padaku, mengungkapkan tentang sebuah rasa yang tersembunyi di bilik jiwa, kamu tak menyebutkan seseorang itu, tapi, karena aku adalah sahabatmu, jadi aku tahu. Aku tahu. (hehe, jiwa2 detektifku muncul niyee…)

Saudariku, sejujurnya aku kagum padamu. Sangat kagum. Karena kamu masih berada di koridor-Nya ketika begitu banyak yang terpeleset perihal ‘hati’ ini. Tapi, sekali lagi, kamu adalah manusia biasa yang juga dikaruniai-Nya rasa. Rasa itu. Rasa yang mungkin bagi sebagian orang di’fasilitasi’ bukan lagi pada jalan yang benar, atau sebaliknya membunuhnya meski itu adalah sesuatu yang begitu absurd. Dua-duanya adalah tindakan ekstrem, tentunya.

Aku tahu, berita ini sungguh sangat menyedihkan bagimu. Bahwa, seseorang itu akan menggenapkan setengah diin nya, bukan bersamamu, melainkan akhwat lain yang kau juga sangat kenal dengannya. Aku sangat tahu, itu adalah berita yang menyedihkan. Tapi…, kamu..sungguh sangat kuat! Kamu justru emnagtakan, bahwa hidupmu adalah skenario-Nya. Bahwa ketidakpastian itu (sebelum segala sesuatunya jelas adanya), adalah sebuah kenikamatan untukmu, bahka kamu ridho dengan setiap apapun yang Allah tetapkan untukmu...

Hanya saja saudariku,
Kamu mungkin sangat tau tapi kamu sedang tak ingat, bahwa kebanyakan perempuan dibekalinya sebuah rasa "percaya diri" yang tinggi, maksudnya gampang ke-GR-an. Apalagi, dengan sebuah perhatian. Maka, tinggal berhati-hati saja. Begitukan, ukhty?

Tapi, semua ini...bagiku (juga bagimu barangkali) memberikan palajaran yang sangat berharaga, betapa pentingnya menjaga satu sisi hati itu. Betapa sangat pentingnya, di kala begitu banyak yang tumbang dan luruh ketika dihadapkan dengan persoalan ini. Kalo soall teorinya mah, aku sudah puas menumpahkanya di novel "Rapsodi Sepotoing Hati" (hehehe..)

Semua ini..., memberikan plajaran padaku, bahwa tidak selalu tendensi itu adalah yang terbaik untuk kita. Memanglah, banyak yang mendamba kisah seperti saydina Ali dan Fatimah (seperti dirimu juga pernah mengatakannya padaku, juga waktu itu), tapi, tak mesti. Karena, Dia lebih tahu apa yang terbaik untuk diri kita. Bukankah begitu saudariku sayang?
Mungkin jikalau aku diposisimu, aku pun tak setegarmu. Itu semua karena Allah percaya bahwa kamu sanggup memikulnya...

Saudariku yang disayangi Allah,
Kisahmu menjadi pembelajaran bagi kita (khususnya bagiku). Sungguh.
Bahwa betapa, sangat tidaklah nyaman (atau kamu menyebutnya "tersiksa") ketika hati itu terpolarisasi pada suatu kutub di saat yang belum dibolehkan-Nya. Tapi,...sungguh, kita punya  Allah..., kita punya Allah, yang milik-Nya lah segala rahasia hati. Bahwa, insya Allah, kita akan memberikan hati yang "tawar" untuk pilihan terbaik-Nya.

Ishbir ya Ukhty...
Ishbir...
Insya Allah, semua akan indah pada waktu-Nya, waktu yang terbaik yang Allah pilih...
Aku percaya, kamu adalah orang yang kuat. Aku sangat percaya...

Tetap Smangat!

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked