Pil Anti Korupsi

Cerpen ini dimuat di Majalah Girlie Zone Edisi 9
(waktu pertama kali tau karya ini dimuat, waaaah...jingkrak-jingkrakan abiss. Hihi...
Alhamdulillaah... eheem..., jangan lupa beli majalahnya yaah. Hehe, bantuin Promo)




Yuuuk...let's start reading...^^





Jika bukan karena perintah ibu, tentulah sangat malas sekali kakiku melangkah menuju istana megah itu. Sungguh dari dahulu perbedaan status keluarga telah membuatku tersurut berpuluh-puluh langkah. Betapa sangat tak sebanding sekali jika aku berikut keluargaku harus disandingkan dengan keluarga yang bersemayam di istana mewah itu. Meskipun, kini...

”Cobalah kau besuk pamanmu itu, Mar. Mereka pasti akan senang jika kau datang menjenguknya.” begitu kata ibu beberapa hari yang lalu. Jika harus menidakkan perintah ibu, sungguh berat lidahku berkata kendatipun seperti ada berton-ton beban berat menindih pundakku untuk melaksanakannya. Aku memilih bungkam.
”Sejak pamanmu demikian, semua orang menjauh dari keluarga itu. Kalau tidak kita sebagai kerabat yang memiliki hubungan yang cukup dekat, lalu siapa lagi? Paling tidak kau bisa memberikan sedikit banyak semangat atau menghibur. Betapa tidak enaknya sudah jatuh tertimpa tangga pula.” imbuh wanita paruh baya yang teramat kusayangi dan kuhormati itu. ”Bagaimana, Mar?” akhirnya kuanggukkan jua kepalaku mengiyakan. Kulihat senyum terukir di wajahnya yang mulai keriput.
Tinggal satu belokkan lagi untuk mencapai rumah paling mewah di kompleks perumahan yang persis berada di pusat kota itu. Kupercepat kayuhan sepeda tuaku. Bulir-bulir garam mineral sisa cairan eksresi membanjiri wajah dan kaos oblongku. Hingga, aku boleh bernafas lega ketika kurem sepeda bututku di depan pagar tinggi berbahan dasar besi bercat putih yang mulai terkelupas itu. Salah satu komponen penyusun sarafku segera memerintahkan organ tangan untuk memencet bel.
Pagar besi itu berderit. ”Maaf Mas, nyari siapa ya?” seorang lelaki paruh baya berpakaian agak lusuh dengan kucuran keringat dan handuk kecil kumal tersampir di pundaknya melengokkan kepala dari balik pagar besi.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Rupanya lelaki ini tak mengenalku. Berbeda sekali dengan tukang kebun sebelumnya eh...bukan, tukang kebun dua tahun lalu yang sangat akrab denganku. Aku berkenalan dengannya ketika menghadiri syukuran paman atas terpilihnya ia sebagai kepala dinas kesehatan. Barangkali karena sudah terlalu lama aku tak ke sini. Entah sudah keberapa kalinya penghuni rumah mewah ini berganti pembantu dan tukang kebun. ”Pak Syamsul ada?”
Lelaki paruh baya itu terlihat ragu. ”Ng...” bibirnya menggumam. ”Kalau ibu ada, Mas. Tapi, kalau bapak...” ia terlihat ragu.
”Maksud saya ibu ada, Pak?” potongku cepat.
”Oh...ada, Mas. Silahkan masuk.” ia mendorong pagar itu, memberiku jalan.
Kuayunkan langkah gontai sambil mendorong sepeda tuaku perlahan. Mataku tak lepas mengamati pekarangan luas ini. Dari dahulu, aku tak penah bosan mengamati taman yang tertata apik. Pohon-pohon yang berdiri kokoh dengan jarak yang teratur, semuanya terpangkas rapi. Di bagian ujung, ada kolam ikan yang sangat cantik dan terkesan alami. Pikiranku sibuk berkhayal, andai saja taman-taman ini milikku, pastilah...
”Eh, Umar.” suara wanita mengagetkanku. Lamunanku buyar sudah. Belum sempat neuron-neuron yang terjalin dan tersimpul rumit di dalam batok kepalaku memerintahkan sesuatu, tiba-tiba wanita itu telah memelukku. Aku gelagapan. Suatu adegan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
”Ke mana saja, Mar? Sombong sekali. Jarang main ke sini. Bagaimana kabarmu? Sudah gede’ begini.” wanita itu melepas pelukkannya. Sungguh, aku masih bengong. Bagaimana bisa sok akrab begini? Padahal, aku adalah ponakannya yang paling jarang mengunjunginya dan paling tidak dekat dengan keluarga elit ini. Meskipun wanita itu adalah kakak kandung ibuku. Ibuku, berikut sebelas saudaranya yang lain.
”Eng... saya kuliah Bi. Jadi, jarang punya kesempatan pulang ke rumah.”
”O ya? Sudah kuliah rupanya. Masa’ tidak pernah kasi kabar? Jurusan apa?” ada kerutan di keningnya ketika mendengar ucapanku. ”Ayuh, masuk dulu.”
Makasih,Bi. Saya jurusan ilmu politik.” Kumasuki rumah megah itu. ”Kabar paman bagaimana, Bi?” akhirnya kupilih momen ini untuk mempertanyakan kabar seseorang yang dengan niat membesuknya kulangkahkan kaki ke sini.
Wajah di hadapanku berubah sendu. Samar, ada kerutan tak jelas di dahinya. ”Itulah, Mar. Mungkin kau sudah mendengar juga beritanya. Bibi tidak tahu harus berbuat apa.”
”Penyebabnya apa ya, Bi?” kududuki kursi empuk di ruang tamu rumah mewah ini. Hmm..., enak sekali duduk di kursi ini. Andaikan...
”Pamanmu itu adalah korban, Mar.”
”Maksud Bibi?”
”Korban ketidakadilan di negeri ini.”
Aku masih mengernyitkan dahi. ”Saya masih tak mengerti, Bi.”
”Seharusnya beliau masih menjabat sebagai kepala dinas kesehatan sampai sekarang. Tapi...,” wanita itu mulai menyeka bulir bening yang mengaliri pipinya yang tersaput kosmetik berkelas. ”Tiba-tiba ada sekelompok oknum yang tak menginginkan keberadaannya. Beliau diberhentikan secara tak terhormat dengan alasan yang tidak jelas. Lalu, tiba-tiba saja bawahannya naik, menggantikan posisi beliau. Pamanmu tak bisa menerimanya.”
”Apakah tidak bisa dilaporkan Bi? Seharusnya bisa diproses di pengadilan.” aku protes.
”Sudah. Sudah, Mar. Tapi, beliau kalah di persidangan.” bulir bening semakin tumpah ruah saja. ”Pamanmu itu Mar, orangnya jujur. Tidak suka korupsi. Kalau soal harta, apalah. Toh, dari klinik dan dokter praktek kehidupan kami sudah terpenuhi.”
”Sayang saja, di dunia perpolitikkan itu susah sekali ditemukan orang-orang jujur. Ketika ada yang jujur, langsung di’pangkas’. Ini pasti sebuah persengkokolan untuk mengambil hak-hak rakyat.” kini, pandangan wanita itu lebih sinis.
”Iya, Bi.” aku tak tahu harus mengatakan apa. Paling kemudian aku menggumam kecil, mengiyakan, mengangguk, atau menampilkan ekspresi wajah terperangah. Teori-teori politik yang diajarkan dosenku dengan bercuap-cuap seperti hilang lenyap entah di mana. Terkadang, teori memang tak sama dengan realita di lapangan, itu pendapatku. Nisbi. Tak ada rumusan empirik soal ini. Ah, apa peduliku?
”Pamanmu benar-benar tak bisa menerima, tetapi, juga tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, yah, seperti itu Mar. Di dunia kesehatan sendiri, tekanan batin seperti ini kemungkinan besar mengakibatkan ketidakseimbangan suatu zat kimia di otak bernama dopamin yang diduga menyebabkan kondisi mentalnya terganggu.”
”Apakah tidak ada usaha membawa paman ke dokter jiwa atau dokter syaraf, Bi?” kupasang wajah penuh simpatik.
”Kau tahu sendiri Mar, pamanmu itu dokter ahli syaraf nomor satu di kota ini. tak ada junior-juniornya yang sanggup menangani. Bibi juga sudah bingung, Mar. Sebagai dokter, Bibi tak mampu berbuat apa-apa selain memberikan obat-obat penenang untuk beliau.”
Hening.
Aku tidak tahu lagi harus membuka percakapan apa. Untung saja beberapa menit setelahnya, seorang pembantu rumah itu menyodorkan nampan berisi minuman segar. Aku benar-benar merasa tertolong dengan kedatangannya. Tak menunggu lama setelah disilakan, aku meneguk minuman itu.
”Mari, Bibi antar menuju pamanmu.” wanita itu beranjak. Kuikuti langkahnya, menaiki tangga porselen rumah itu. Wanita itu kemudian memutar handle pintu persis di ruangan yang berhadapan langsung dengan tangga.
”Mas, ini Umar. Anaknya Mbak Linda.” wanita itu mendekat. Sosok yang duduk menghadap ke jendela itu tak bergeming. Ruangan berukuran dua puluh meter persegi itu terlihat berantakan. Ada beberapa alat kedokteran di sana seperti habis diacak-acak pemiliknya. Buku-buku yang tergeletak tak beraturan. Bahkan, juga torso-torso yang sudah bercerai berai, seolah-olah menjadi korban mutilasi. Komputer di ruangan itu juga menyala.
”Mas.” wanita itu menyentuh pundak lelaki yang terlihat lebih kurus itu perlahan. Baru setelahnya, ia bergeming. Wanita itu memberi isyarat agar aku mendekat. ”Ini Umar lho Mas. Lihat, dia sombong sekali. Sudah lama tak main ke sini. Mas kangen tidak?”
”Paman, ini Umar.” kuraih tangan kurus yang menyembul urat-urat di balik lapisan kulit itu sembari menciumnya takzim.
”Pergi!” tanpa kuduga, tangan itu direnggut kasar. Aku sontak terkejut. ”Saya tak perlu sopan santun dari anda, para koruptor!” tiba-tiba wajahnya merah padam. Sepertinya dia sangat marah sekali. Ia menunjuk batang hidungku.
”Mas, dia bukan koruptor. Dia Umar.” masih dengan kesabaran penuh, wanita itu menjelaskan.
”Heh, dengar ya para koruptor! Akan kubuat sebuah pil anti korupsi. Biar pejabat-pejabat itu tak bisa korupsi. Yah, satu-satunya jalan untuk memberantas penyakit korupsi di negeri ini adalah dengan membuat pil anti korupsi. Ha...ha...., mati kau para korupsi! Mati kau!” tiba-tiba lelaki itu terbahak. Wanita di sampingnya kembali mengisyaratkan agar aku keluar dari ruang itu.
”Tunggu...tunggu, nak. Kemarilah.” baru beberapa meter kuayunkan langkah, tiba-tiba terdengar panggilan dari ruangan itu. Suara serak milik lelaki yang kini semakin kurus. ”Duduklah di sini.” tunjuknya pada satu bangku di sampingnya. Wajahnya tampak berseri ramah. Sungguh hebat! Dalam sepersekian detik bisa saja berubah. Begitu dahsyatkah pengaruh satu zat yang bernama dopamin –seperti kata bibi-- di dalam batok kepala manusia itu? Apakah gila itu juga dapat dibuat rumus kimianya? Ah, rumit sekali. Dan lagi, bukan bidangku membahas masalah seperti itu. Aku sepertinya tak perlu bersusah payah mencerna istilah-istilah aneh itu. Bagiku, gila ya gila. Titik. Tak perlu ada analisis lanjutan dengan istilah-istilah rumit seperti itu.
”Kau harus tahu anakku, Indonesia menduduki peringkat pertama negara-negara terkorup di Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) mengatakan bahwa Indonesia memiliki skor yang tinggi untuk angka korupsi dan lembaga-lembaga survei lainnya juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Di negeri kita tercinta ini berbagai upaya pemberantasan korupsi ternyata belum cukup ampuh untuk menghentikan praktik korupsi. Perangkat hukum, pengawasan, sanksi hukum, dan pembentukan lembaga independen, serta adanya pengadilan tipikor tak mampu membendung kejahatan tersebut. Korupsi tetap merajalela, bahkan semakin hari semakin memprihatinkan dan membuat miris.” lelaki itu berujar lancar seolah-olah seperti  seorang pakar politik yang handal. Sebagai mahasiswa ilmu politik, aku cukup dibuatnya terperangah. Bahkan, gaya bicaranya melebihi pengamat politik sekaligus dosen di kampusku.
”Satu hal, sangat perlu ada inovasi dan terobosan-terobosan baru untuk memutus menghentikan korupsi ini. Untuk itulah saya hadir. Saya berjanji akan membuat pil anti korupsi itu. Saya benar-benar ingin mengabdikan diri untuk negeri ini. Maaa..juu tak gentaaar, membeeeela yang benaaar.” Kemudian ia menirukan nyanyi ciptaan C. Simandjuntak itu dengan penuh semangat. Kalau bukan ingin menghargai bibiku yang tengah menatap lelaki itu prihatin, sungguh sudah dari tadi aku terbahak.
”Dengar ya bocah, di otak manusia ada bagian syaraf yang mengatur masalah prilaku. Nah, zat kimia yang menghantarkannya itu salah satunya adalah dopamin. Sel saraf dopamin dalam perilaku manusia membawa sinyal yang berguna untuk mempelajari kemungkinan reward dan probabilitas pengambilan keputusan atas adanya reward tersebut. Sel tersebut mengkode aksi yang akan dilakukan ketika suatu reward diberikan. Peran utama dopamin sebagai pusat motivasi perilaku.” Ia menjelaskan sesuatu yang benar-benar membuat kepalaku perlu berputar seratus keliling dulu untuk memahaminya. Kurasa aku tak perlu mencernanya. Untuk apa? Tak ada gunanya bagiku. Lelaki ceking itu mengoceh seperti setengah mabuk.
”Heh, kau tahu apa itu reward? Ha...ha..., dasar bodoh! Reward adalah segala sesuatu dimana makhluk hidup akan berusaha melakukan kerja untuk mendapatkannya. Sesuatu yang menyenangkan! Kau tahu contohnya apa? Kekayaan! Jabatan! Kursi panas! Akan selalu ada upaya untuk mendapatkannya terus menerus. Kau harus tahu juga, reward itu sendiri tidak akan memberikan rasa kepuasan. Ia akan terus menuntut untuk mencari dan terus mencari. Begitulah para koruptor. Dan saya, saya akan membuat pil yang akan memutuskan keinginan-keinginan itu. Pil anti korupsi. Ha...ha....” ia kemudian terbahak lagi. Meski tidak paham dengan apa yang disampaikannya, tak urung aku bergidik ngeri juga. Bagaimana ia akan memutuskan keinginan-keinginan itu? Sedangkan ketidakseimbangan jumlahnya saja seperti yang dikatakan bibi telah membuat orang-orang bisa gila, apa lagi memutuskannya. Gila! Benar-benar gila! Ups, bagaimana aku bisa terbawa dan percaya begitu saja dengan ucapannya. Bukankah dia hanya sesorang yang gila? Jangan-jangan, aku ikut gila juga? Waduh!
”Hey! Kenapa kau diam, bocah? Kau koruptor juga ya? Habis kau!!”
Plak!
Bug!
Bug! Bug!
Belum sempat saraf refleksku memerintahkan untuk menghindar, pukulan itu sudah lebih dahulu mendarat di batok kepalaku berkali-kali. Benda keras yang terbuat dari besi. Sungguh, aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Bumi seperti sengaja memperlihatkan rotasinya kepadaku dengan putaran yang sangat kencang. Ada kunang-kunang dan bintang-bintang seperti menari-nari di atas kepalaku. Sebelum akhirnya tak sadarkan diri, masih kudengar jeritan bibi. Setelahnya, aku seperti terbang ke negeri entah berantah. Gelap.
***

Hari ini, beberapa tahun semenjak tragedi itu terjadi. Aku sendiri sudah nyaris lupa bahwa aku pernah dihajar oleh seorang korban praktik KKN dan aku sebagai mahasiswa politik yang dungu, tak mengerti apa-apa kala itu. Namun kini, aku bukan lagi Umar yang demikian. Aku Umar Al Faruq, PhD.
”Mar, sesungguhnya di dalam otak manusia ada bagian yang yang mengatur pola tingkah laku. Hal yang paling menakjubkan adalah ternyata perilaku manusia itu ditentukan oleh reward yaitu sesuatu yang akan mendatangkan kesenangan dan ketenangan dan punishment yaitu sesuatu yang menakutkan dan membahayakan. Sesuatu itu akan dikerjakan jika memberikan reward dan akan dihindari jika ia mendatangkan punishment.
”Maka dari itu, jadilah seorang pemimpin dan pengemban amanah di negeri ini yang tidak mengharapkan reward dari harta korupsi dan kesenangan duniawi yang takkan pernah puas atau menjadi seorang pemegang tanggungjawab besar itu hanya karena takut pada punishment berupa penjara, sidang tipikor atau pencerabutan jabatan. Jangan sekali-kali. Sungguh, reward dari keberhasilan kau menghadirkan negeri madani dan kebahagiaan rakyatmu jauh lebih berharga dan memberikan nilai kebahagiaan yang besar dalam hidupmu. Dan sungguh, punishment bahwa segala yang kau pimpin itu akan diminta pertanggungjawabannya di hari perhitungan yang maha teliti yang tak satu rupiahpun terlewati akan jauh mengawalmu ketimbang sidang pengadilan tipikor di dunia yang sementara dan fana ini.”
”Tentu saja, semua ini tak mudah didapatkan, melainkan dengan pembentukkan moral yang baik semenjak dini. Negeri ini tak butuh orang yang hanya cerdas saja, tapi juga butuh orang-orang yang bermoral yang tak mengharapkan reward dari harta duniawi semata.”
”Jika sudah demikian Mar, maka tak perlu lagi pil anti korupsi itu. Tak perlu lagi. Jika pemimpin negeri ini beserta perangkatnya seperti itu, tak perlu lagi ada inovasi dan terobosan baru dalam memberantas korupsi dan pemberian efek jera. Tak perlu lagi pengadilan tipikor. Paman percaya, kau akan mengemban tanggungjawab itu dengan sebaik-baiknya, Mar! Jadilah agent of change!”
Itu di antara beberapa wejengan yang diberikan pamanku yang dua tahun lalu keluar dari rumah sakit jiwa. Kata-kata yang diucapkannya sebelum beberapa saat aku menduduki kursi berduri sebab semestinya istilahnya demikian karena begitu beratnya tanggungjawab yang harus dipikul. Bukan kursi empuk yang membuat orang-orang berpikir bahwa ini posisi empuk untuk mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan dan menguras hak rakyat. Sungguh untuk hal ini, tak pernah lekang dari ingatanku. Setiap mengingatnya, satu senyum senantiasa menghiasi sudut bibirku. Baiklah paman, aku berjanji!
Yah, aku Umar Al Faruq, PhD, salah satu pengemban amanah sebagai pemimpin negeri ini.
_the end_


2 comments:

  1. ikutkan blog uni pada kontes blog, di fb ana ada kok... supadilah/padil ya uni....

    ReplyDelete
  2. @Fadil:
    kontes blog?
    dimana tuh?
    siyapa yg ngadain tho?

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked