Semoga adalah Mereka


Ini kali ke berapa yaah, diriku nulis tema ini lagi. Lagi-lagi ini. Ini lagi! Tentang pendidikan anak. Hoho, tak bermaksud apa-apa, hanya sedikit agak concern dengan permasalahan ini. Aku bukannya banyak tau. Apalagi, aku belum pernah mengalaminya. Jadiiiiih, anggap saja ini sebuah komentar dan sorak sorai penonton sepak bola yang memberikan tanggapan kritis dan masukan buat sang pemain. Hehehe.

Sejujurnya, aku cukup kaget ketika sebuah fakta dikuakkan kepadaku. Sungguh tak menyangka. Bahwa, anak-anak para aktivis da’wah,yang di pergerakkan gencar banget, “para orang2 besar”, malah sedikit (atau banyak yah?) yang terabaikan. Mereka tumbuh besar di sebuah keluarga yang super sibuk. Memanglah, tugas da’wah adalah hal yang sangat mulia. Tapiii…, betapa hidup itu ada porsinya bukan?
(hohoyy…, ‘afwaan, mungkin jika aku berada di posisi itu para abihat dan ummahat, akupun tak bisa seidealis ini. maka, anggaplah ini sebuah penilaian Idealis seorang diriku).



Di lain sisi, aku jugah dikejutkan dengan keluarga aktivis da’wah, yang….yang…sering bertengkar! Kalo kecil2an (lho??), maksudnya pertengkaran2 kecil tak masalah mah. Namanya juga menyatukan dua insan yang secara fisiologis, psikologis, maupun atmosfier kehidupan dan kultur budaya yang membesarkan mereka berbeda, tho? Tapi, ini sudah kelewat batas! Sampai2 yang menjadi korban adalah anaknya! Psikologis sang anak jadi terganggu. Bahkan sang anak sampai membuat skenario kematian ummi dan abinya segala. Masya Allah…, segitu parahkah kondisi psikolgis sang anak? Anak seorang aktivis da’wah.

Mungkin hanya sedikit saja kasus seperti ini alias langka. Tapiiii…, ternyata ada! Kalo’ mau sedikit idealis, maka, semestinya beliau2 adalah orang2 adalah orang yang paham dengan kehidupan keluarga. Setidaknya ini menurutku. Bukankah tangga tingkatan da’wah itu memanglah dimulai dulu dari keluarga kan yah? Memanglah, tak pula bisa dipaksakan untuk menjadikan sang anak benar2 sholeh, layaknya anaknya Nabi Nuh. Tapi, bukan berarti ini adalah sebuah pembenaran, karena mesti ada ikhtiar dulu dari ayah dan ibunya. Berarti, anaknya yang emang ga mau diatur begitu. Nah, di sini permasalahannya yang kumaksudkan adalah di ayah dan ibunya. Gitu loh…

Humm…, aku cukup concern dengan masalah ini karena….(selain aku memang sangat menyukai psikologi), juga karena dari kecil aku sudah terbiasa mendengarkan permasalahan2 orang-orang yang datang ke rumah yang berkaitan dengan kerumahtanggaan. Sedikit cerita saahaajaa, dari aku kecil dulu hingga sekarang, yang namanya rumahku, baik di Mudiak Lawe, Sawah Lunto, maupun HomeSWEEThome yang sekarang, tak pernah sepi dari tamu-tamu yang bermasalah! Bahkan dalam sehari itu, amat sangat langka sekali tamu tak datang. Artinya, selaluuuu saja ada tamu berkasus yang berkunjung (huaaah.., kesian jugah yaa, masa’ banyak dikunjungi orang2 bertampang kusut begindang.hihi. tak selalu siiih, ada jugah yg tampang bahagianya. Hehe). Bahkan sering overlap mala orang2 bermasalahnya. Kalau udah gini, aku dapet tugas nyuguhin minuman. Nah..nah…, biyasanya, aku ikut nimbrung setelahnya. Hahaaay! Dasar nakal! Karena aku masih kecil, yaa dibiarin ajah. Disangka kaga ngerti kali yaah. Hehe. (SD, waktu itu…Pas SMP, SMA dan kuliyah mah jarang, soalnya udah ga’ di rumah lagi. Tinggalnya di asrama euy. Nah, Kalo skarang mah, jarang ikutan nimbrung. Ga’ mau terlibat masalah orang lagih. Udah gituu, mending ngerjain yang lain ketimbang nimbrung plus nguping masalah orang. Hehehe…Tapi, untuk kasus2 menarik, biyasanya aku penasaran jugah, ikutan nguping tapi ga nimbrung lagi, cukup selonjoran di depan pintu kamar, tanpa harus menampakkan wajah. Kalo ikutan nimbrung, aku curiga bakal “diusir” ke kamar, karena udah ngertos. Hihi.)

Nah…nah…, usut punya usut, ternyataa…, ketika semua orang tak menyangka bahwa aku tak mengerti karena masih imut, akan tetapi, ternyata aku “connect”, dan menjadi sesuatu yang tersimpan di amygdalaku. Begitu buanyaaaak, masalah yang dihadapin, dan bahkan hal2 sederhana saja sudah bisa membuat hal halal yang dibenci Allah itu terjadi, yaitu perceraian!

Kemudian, memory sel T ku (hahay, emangnya immunology!) mencatat bahwa betapa pentingnya persiapan itu, betapa pentingnya ‘ilmu itu sebelum menjalaninya. Bahkan, sebuah kata “I love you” sajaaa, bisa menjadi sebuah perkara dan masalah besar di dunia perumahtanggaan. Karena, ada sebagian orang yang sulit untuk mengatakannya. Itu hal yang kecil saja. Hingga hal-hal yang besar lainnya yang takkan muat untuk dituliskan di sini. (hoho, macam paham sahaja aku niiih. Hihi. Belum! Aku belum pengalaman ko. Hanya mencurahkan apa yang tersimpan di amygdalaku saja soal perceraian ini, tentang permasalahan yang sempat kuupil, eeeh…ku’uping, >> hmm..ada ga’ yaah dalam bahasa indonesainya, uping? hihi).
>> waaa…., udah melancong dan melenceng kemana-mana niih, pembahasannya.
Yuk..yuk.., balik lagi. ‘afwaan..

Nah, nah…, diriku nyorot niih masalah pembahasan pendidikan anaknya. Ternyata, begitu bessssuuuuuuaaaarrrr dampak nya ketika pola pendidikan anak itu salah! (walaupun idealnya daku juga belom punya ilmu yang cukup siiiih). Bessuaaaarrr sangat! Mau siapa dia, mau aktivis da’wah kek, mau konglo merat kek, mau kolongmelarat kek. Pokok’e ketika polanya salah, maka out putnya tentu jugah akan salah. Apalagi anak-anaka yang dibesarkan dengan ayah ibu yang berkonflik.

Aku ‘beruntung’ “diperkenalkan” dengan mereka-mereka yang memiliki pola didik yang salah. Waaah, masya Allah, emang besar pengaruhnya. Sikap2 radikal mereka, sikap-sikap apatis mereka. Setdaknya, aku bisa belajar. Ooh…. Amat sangat penting memplajarinya ternyata. Ga bisa sesaat sebelum saja. Harus dari sekarang.

Maka dari itu, bolehkah aku ngusul sama Mentri Pendidikan dan Pak Presiden, bagaimana kalo di perguruan tinggi ntu, diadain 2 SKS mata kuliah mengenai pendidikan anak ini. Agar moral2 penerus bangsa ini bisa lebih diperbaiki lagi. Agar, setidaknya, ada bekal yang bisa dibawa pulang para sarjana2 itu. Agar jiwa2 koruptor KKN itu bisa diredam dari sedini mungkin. Karenanya, aku sangat mendukung sekali adanya”sekolah orang tua” yang di adain oleh beberapa lembaga. Sepakat?

Nah, OOT, berkaitan dengan keluarga aktivis da’wah ini looh. Memang siiiih, da’wah, keluarga dan pekerjaan, adalah tiga hal yang harus dihadapi oleh para akhowaat, para ummahaat (terlebih ketika tuntutan untuk bekerja itu memang ada). Mungki memanglah sulit untuk menyeimbangkan antara ketiganya. Masing2 menuntut focus. Sementara, kita hanya punya satu raga. Nah..nah…, mencari buffer di antara ketiganya memanglah sulit. Makanya, idealis itu memang sulit di capai laiknya logam mulia yang amat snagat jarang bisa ditemukan. Yang ada adalah, mendekati… Setidaknya, janganlah sampai mengorbankan keluarga. (bukan berarti jugah boleh mengorbankan da’wah kan yaaah?). Sebab, merekalah yang insya Allah akan meneruskan perjuangan ini kelak. Sayang, terlalu sayang jika terabaikan. Kutulis ini bukan generic (hehe, obat generic), maksudnya menggeneralisir karena ini hanya sebagian keciiiiiiiiiiiiiiiil saja.

Yaah, cukup sekian saja, pernyataan idealis dari seorang penonton sepak bola terhadap para pemain. Mungkin, jika aku jadi pemain, maka akupun tentu belum tentu bisa menjalankan seperti sorak soraiku semasa menjadi penonton karena berbedanya kondisi di lapangan yang harus dihadapi. Tapi, setidaknyaaa, ketika kita sudah blajar dan sudah mengetahui dan meneliti bahwa kejadian lapangan seperti ini, maka kita akan lebih mempersiapkan diri untuk itu. Yaaah, lebih kurang ma’rifatul medan laaaaah. Hehe.

Maka, semoga...Adalah mereka generasi-generasi Rabbani itu..^^

Mungkin sekian saja. Mohon maaf atas segala kesalahan. Semoga bermanfaat.



NB : hehe..., kaya'nya sulit untuk tidak ngeblog,..
Tapi, ujiankuuuu..hwaaaa, tiga hari ke depan, ujian yang berat euy..
bantu do'a yaah..^^

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked