Belajar Bahasa Inggris

Jika boleh diibaratkan grafik, maka kesukaanku terhadap bahasa Internasional yang satu ini adalah umpama grafik GLBB. Hihi. Nge-fisika banget. Puncaknya pada masa SMP. Dan mulai mengalami penurunan pada masa SMA hingga bangku universitas. Hmm…parah yah?!

Dahulu, pada tahun 1997 itu, aku adalah seorang siswi SD (kampung) yang pindah ke kota. Ciaaaaah… Maksudnya, sekolahku yang awalnya di kaki bukit nan damai dan sejuuuuuuuuuk, asri, dan bersahaja (sihaaa….), kini berpindah ke perkotaan dan lokasinya persis di depan kantor walikota. Kala itu, aku ngikut Ibu yang harus dipindahtugaskan ke Sawahlunto.

Di sekolahku yang baru, sudah ada plajaran bahasa Inggris, di saat sekolah lain masa itu belum ada yg belajar bahasa inggris. Sekolahnya (menurutku) cukup berkelas, sehingga—aku yang orang kampung—harus keteteran mengejar banyak ketinggalan di banding teman-teman kotaku itu. Sekolahku di kampung dengan sekolah di kota ini perbedaannya macam bumi dan langit. Jangankan labor dan klinik UKS , di sekolahku yang pelosok kampung itu, bahkan hanya punya pustaka seadanya. Dan aku kala itu gemar sekali meminjam buku di pustaka yang begitu apa adanya itu. Hehe. Sementara, di SD-ku yang baru itu, perpustakaannya mantap pisan. Waktu ada lomba perpustakaan SD, sekolahku itu dapet juara 1 tingkat nasional. Bukunya lengkap. Aku—yang sama sekali tidak mengenal enseklopedi kala di SD lama—seperti disuguhkan pada hal-hal baru yang menarik. Aku suka pustaka sekolah itu. Dan buku yang paling kusukai adalah enseklopedi yang tebal-tebal. Sukanya sih ngeliyat gambar-gambarnya. Hihi. Selain itu, di sekolahku itu punya klinik UKS yang kerreeen abis. Ada 2 ruang dengan 4 tempat tidur. Dokter kecilnya berperan sangat. Mereka punya pakaian khusus dokter kecil yang sejujurnya membuatku iri. Aku juga kepingin pakai baju dokter kecil. Tapiiiii, nasheeeb anak pindahan, aku tak merasakannya. Hihi. Selain itu, sekolah SD-ku itu juga punya laboratorium. Waah…kegiatan praktikum IPA dilaksanakan di sana. Aku bener-bener terbengong-bengong kala pertama kali menginjakkan kaki di sana. Bahkan, sekolah itu juga punya mushalla yang digunakan kerap kali setiap belajar mata pelajaran agama Islam. Kelasnya banyak. Ada kelas A, ada kelas B. Gurunya per-bidang studi. Matematika laen, IPA laen lagi, pun begitu pula dengan IPS. Pokok’e jauuuuuh bet bedanya sama sekolah SD-ku yang di kampung. Aku takjub, sekaligus harus banyak mengejar ketinggalanku di banding teman-teman sekolahku

Dalam hal ini, termasuk Bahasa Inggris. Teman-temanku sudah belajar Bahasa Inggris sejak kelas 3 SD. Sementara aku, sama sekali tidak! Aku harus mengejar 3 tahun ketinggalan di banding teman-teman. Kala itu aku sangat membenci pelajaran bahasa iNggris. Abisnyaaaaa, aku tidak mengerti sama sekali. Bengong sendiri ngeliyat temen-temen cas-cis-cus bahasa Inggris.

Akhirnya, Ibu memasukkan ku ke suatu lembaga bahasa Inggris. Yah, les bahasa inggris deh aku. Sejak les, alhamdulillaah aku bisa mengejar ketinggalan bahasa inggrisku dan akirnya….alhamdulillaah menyamai teman-temanku. Hee…alhamdulillaah, aku jadi suka sangat dengan yang namanya bahasa Inggris. Dan, pernah juga dapet nilai tertinggi di kelas (hehehehe….ciaaaaaaaa). Nilai raportku pun alhamdulilaah jadi angka 9 untuk bahasa inggris.

Ketika masuk SMP, kemampuan bahasa inggrisku makin terasah. Apalagi, kebanyakan temen2 dari sekolah lain baru mengenal bahasa iNggris ketika SMP saja. Akhirnyaa, aku termasuk orang-orang yang kemampuan bahasa Inggrisnya tergolong “lumayan”. Hee…

Puncaknya memang di kala SMP ini. Pelajaran bahasa Inggris menjadi plajaran favoritku setelah matematika. Nilaiku tak pernah rendah dari angka 8 untuk bahasa iNggris. Dari Sembilan caturwulan (kala SMP masih pake system caturwulan), hanya 2 (dua) kali yang dapat nilai 8. Di tujuh caturwulan lainnya, nilai bahasa Inggrisku adalah 9. Hee…

Di SMP ini pula, aku menang pidato bahasa Inggris. Bahkan konsepnya aku buat sendiri. Dan, di masa SMP ini pula, aku telah membuat cerpen dengan bahasa Inggris. Aku mulai suka nulis sejak SD, dan nulis cerpen pertama kelas 6 SD. Nah, di SMP ini, aku membuat dua buah cerpen berbahasa inggris yang kemudian dikoreksi oleh guru bahasa Inggrisku.

Masuk SMA, lain cerita. Entah karena kemampuan bahasa inggrisku yang menurun ataukah karena pada umumnya teman2 sekelasku jago-jago bahasa inggrisnya. Mereka cas-cis-cus ajah pake bahasa inggris. Pokok’e banyak yang jago dah! Sejak ini, nilai bahasa Inggrisku jadi menurun. Haha, tahimpik galombang nih yeeee. Hikhikhik. Meskipun nilainya masih paling rendah adalah 8 untuk pelajaran bahasa inggris, tapi, dari 6 semester, hanya sekali aku dapat nilai 9. Di lima semester lainnya, nilaiku adalah 8. Itu pun rata-rata kelasnya berkisar antara 7,6 hingga 8,2 (hanya 2 kali yg rata2 kelasnya 7,6 sisanya 8 koma). Artinya, bahasa inggrisku adalah hanya rata-rata saja. Parahnya, nilai UAN-ku malah rendah di bahasa inggris. Sejak SMA pun, aku mulai tak terlalu suka bahasa inggris.

Yang lebih parah adalah…ketika masa kuliah. Nilai bahasa inggrisku C dan harus mengulang pula. Eeh, pas diulang, Cuma dapet B+ pula. Hee….. Makin parah yah?! Padahal, yang diujikan hanya itu-itu saja. tak jauh beda dengan SMP dan SMA. Tapi, dasarnya aku sudah tak cinta sama bahasa inggris.

Kemampuan bahasa inggrisku benar-benar menguap. Bahkan pengucapan/logat alias pronunciation bahasa inggrisku berasa ‘minang’ banget. Hihi. Kacawwww dah! Semakin down-lah aku, di momen Mapres unand dulunya. Di mana, dari sekian banyak rangkaian test, ada test wawancara berbahasa Inggrisnya. Aku yang telah terlanjur menancapkan ketidaksukaan pada bahasa inggris benar-benar kelabakan waktu mengikuti rangkaian test mapres tersebut. Aku masih ingat dengan sangat jelas pernyataan seorang dekan fakultas yang ikut menguji kala itu, “pronunciation anda jelek sekali”, kata beliau yang membuat aku hanya bisa nyengir ajah. Hihi.

Imbasnya juga adalah…aku jadi tak begitu bergairah membahas jurnal-jurnal berbahasa inggris (untung saja, penelitian dan kompre memaksaku untuk membahasnya. Hmm….kalau sekedar memahami jurnal berbahasa inggris, insya Allah masih bisa…hee..tapi untuk mengucapkannya, atau menyusun sebuah tulisan berbahasa inggris….ampyuuuuuun….nyerah saia). Buku-buku text book farmasi yang kebanyakan bahasa inggris juga membuat minatku agak sedikit menguap. Tapiiii, keadaan yang memaksalah yang membuatku harus belajar itu. Dan, akibatnya, jika tidak karena terpaksa belajar, textbook berbahasa inggris tak kulirik. Hihi. Pronunciation-ku ketika seminar penelitian dulu tergolong jelek. Hehe. Apalagi, kebawa-bawa Mas Yoshi (Dr. Yotshitsugu Nakaguchi) yang suka menyebut “boil extaction” dengan spelling “boil ekstraksiong”, akhirnya pas seminar akuun nyebut “ekstraksiong” yang membuat peserta seminarnya jadi tertawa. Huhu.

Pelajaran berharganya adalah bahwa kita adalah seperti apa yang kita pikirkan. Ketika kita memikirkan paradigm positif dan pandangan positif, maka kita insya Allah bisa melakukannya. Karena aku terlanjur melabelling dan menancapkan rasa tidak suka pada sesuatu, akhirnya aku memang tidak bisa mencapai yang terbaik dalam bidang itu. Padahal, sebenarnya setiap diri kita punya kemampuan untuk itu. Ya kan?!

Pelajaran kedua…
Penting sekali ternyata, menghadirkan cinta untuk sesuatu. Jika tak cinta, hasilnya pasti tak optimal. Hmm….baiklah…baiklah…., sepertinya aku harus menjemput cintaku yang dulunya hilang. Cihaaaa… Iyah! Aku harus menjemput cintaku pada bahasa inggris yang dulu sempat hadir. CLBK(cinta lama bersemi kembali) daaah. Wkwkwk.

Yup…yup…harus belajar lebih keras! Tanamkan paradigm positif, bahwa…kita BISA!

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked