Ketika Kesabaran Berbuah Manis

tentang kesabaran itu..ketika berbuah manis
Cerita ini sesungguhnya telah banyak terjadi di tengah-tengah kita. Pun telah banyak diambil pelajarannya oleh banyak orang pula. Tapi, aku tetap ingin menuliskannya(dengan bahasa jiwaku). Bukan karena tokoh utamanya nyata dan dekat denganku. Hanya karena—sekali lagi—aku ingin ia menjadi pelajaran. Untukku. Untukmu. Untuk kita.

-----------------------

Perempuan itu terduduk dengan lemasnya. Ada godam yang menghentak-henak persendian batinnya sesaat setelah ia mendengar berita bahagia yang memilukan. Berita itu memang berita bahagia. Tapi memilukan baginya.

Ia adalah perempuan cerdas. Ia menjadi bagian dari sedikit orang-orang yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi di kala masyarakat kebanyakan kala itu hanya menamatkan sekolah paling tinggi hingga SLTP. Bukan karena ia berasal dari keluarga berada. Bahkan, di masa sekolahnya, ia mengembalakan sapi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menyedihkan untuk mengetahui bahwa makannya dibatasi hanya boleh dua kali sehari karena memang sangat pailitnya kondisi ekonomi. Tapi ia mempunyai kecerdasan yang memberinya tiket gratis menduduki bangku perguruan tinggi. Beasiswa penuh. Kala itu, di era masih tahun tujuh puluhan.



Karena itu, ia cukup popular karena pendidikannya. Bisa dimaklumi, bahwa di masa itu status mahasiswa adalah sangat langka. Hingga, adalah suatu keluarga tak jauh dari rumahnya, seperti menaruh harapan padanya. Keluarga itu memiliki seorang anak laki-laki yang kuliah di sebuah universitas islam di Timur Tengah. Ini juga amat sangat langka. Mungkin ia satu-satunya dari kampung itu. Dan, bisa dipastikan, ia pun menjadi primadona. Banyak ibu-ibu yang berharap mengambil ia sebagai menantu. Dan sebanyak itu pula para gadis yang menginginkannya, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Kita bisa rasakan bagaimana bahagianya perempuan itu, bahwa kepadanya angin harapan itu berhembus. Tentang harapan keluarga laki-laki itu padanya.

Namun, tiba-tiba cerita menjadi berbeda ketika ada sebuah keluarga kaya raya yang menginginkan laki-laki itu. Tak tanggung-tanggung, ia langsung meminta laki-laki itu untuk menikah dengan anak perempuan mereka. Memang tidak kuliah, seperti perempuan itu, tapi ia berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Malangnya, keluarga laki-laki menerima pinangan itu. Dan, tanggal pernikahan pun ditetapkan.

Hari itu menjadi hari yang sangat sedih bagi perempuan itu. Kepada sahabatnya, ia bercerita dengan air mata mengalir deras. Tapi ini bukan akhir. Bukan akhir kisah. Karena dua puluh lima tahun kemudian keadaan menjadi berbeda.

Pada akhir masa kuliahnya, ada seorang laki-laki, teman kampusnya yang beritikad baik untuk menikahinya. Laki-laki itu adalah kakak tingkatnya. Dan, takdir perempuan itu adalah menikah dengan sang laki-laki, kakak tingkatnya itu. Ia bukan laki-laki dari keluarga kaya raya dan bahkan kehidupan keluarga mereka sama susahnya. Tapi, laki-laki itu adalah seorang yang visioner! Sosok dengan jiwa pemimpin yang luar biasa.

Sekarang, sudah lebih dari dua puluh enam tahun berlalu. Roda kehidupan berputar. Dua puluh enam tahun lebih itu pula mereka hidup dalam cinta. Nyaris tidak ada konflik dalam keluarga mereka. Jika pun ada, hanya konflik-konflik kecil yang justru semakin menambah keharmonisannya. Mereka selalu punya cara untuk memperbarui cinta mereka. Hingga sekarang pun, masih seperti pasangan muda yang baru saja menikah. Luar biasa!

Berbeda dengan keluarga laki-laki yang dahulu pernah meninggalkannya itu. Sangat berbeda. Meskipun perempuan itu sama sekali tak pernah mendoakan kejelekan pada keluarga laki-laki itu. Tapi, begitulah adanya. Roda berputar.

--------------------

Kita memang sering terpaku dan naifnya sering merasa, jika bukan dengan seseorang yang kita inginkan, lantas kehidupan kita kemudian menjadi tak bahagia? Ah, belum tentu! Ada banyak kisah-kisah sebelum kita yang sepatutnya menjadi pelajaran.

Karena kebahagiaan kita, tidak terletak di tangan orang lain. Kebahagiaan kita, ada pada hati kita. Jika setting yang kita buat adalah ‘dengannya kita bahagia sedang dengan yang lain tidak’ maka, ketika tidak dengannya, kita akan mengalami keterpurukkan yang dalam.

Ah, jika memang demikian, terlalu sempit kita mempersepsi hidup. Terlalu sayang membiarkan kesejenakkan dunia yang semestinya diisi dengan mempersiapkan bekal ini, hanya disia-siakan untuk sebuah kesedihan yang bahkan entah punya makna perbaikan atau tidak. Rasa sedih memang wajar adanya, namun, terlalu murah harga hidup jika dihabiskan untuk bersedih.

Ah, dunia ini masih luas untuk mengedarkan pandangan melewati batas-batas kesempitan cara kita memandang. Lihatlah…kebahagiaan itu bukan sesuatu yang sulit, jika kita bersedia membentangkan hati dengan seluas-luasnya bentangan. Semua orang juga tahu, bahwa cawan hanya bisa menampung sangat sedikit air jika dibandingkan dengan luasnya samudra. Sekarang, tinggal memilih, apakah cawan atau samudra saja.

Sebab hidup itu tidak selalu seperti apa yang kita maui. Ada kalanya kita mesti menelan kepahitan dahulu. Sekarang adalah bagaimana kita mempersepsi hidup saja. Yah, bagaimana seni mengelola hati saja…

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” 
(Qs. Ali Imran : 139)

Sungguh…banyak pelajaran…sangat banyak! Hanya tinggal memungut yang terserak saja. tinggal memungut saja. Tidakkah kau mau?

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked