Kebahagiaan dan Hubungan Sebab Akibat

Tawa bahagia
Alkisah…di suatu negeri, hiduplah sebuah keluarga kecil yang dinilai sukses oleh kebanyakan masyarakat. Kesuksesannya santer hingga ke pelosok-pelosok dengan usaha bisnisnya yang maju pesat! Tak tanggung-tanggung. Omsetnya mencapai belasan juta perhari. Paling rendah sekitar tujuh jutaan. Sebuah usaha bisnis yang maju sangat untuk ukuran sebuah kabupaten pemekaran.

Siapa pun menilai ia sukses.
Tapi, banyak orang yang tidak tahu, bahwa sesungguhnya bisnis itu, bagi pelakunya hanyalah sebuah cara mengalihkan rasa sesak. Hanya sebuah pelarian saja. Keluarga itu kerap dirundung percekcokan yang menyakitkan. Sering kali nyaris bercerai. Tapi, sang istri mencoba bertahan. Anak perempuan mereka yang satu-satunya menjadi korban. Anak gadis itu memang bisa mendapatkan fasilitas apa saja yang ia inginkan. Tapi, satu saja yang kurang. Kebahagiaan! Nyaris tiap hari ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar dan main kasar pula. Dan ia tumbuh di tengah-tengah itu.

Sang istri bercerita, bahwa sesungguhnya ia sangat tertekan. Beruntung sekali ia mulai merintis bisnis itu sehingga ia menemukan sedikit penghibur yang menyibukkan. Sehingga, waktunya habis terkuras untuk bisnis saja dan melupakan permasalahan itu sejenak. Ah, miris. Benarkah dengan kesuksesan bisnis itu ia benar-benar merasakan kebahagiaan?

Ke-materialistis-an yang coba digaungkan oleh mereka-mereka yang menguasai dunia ini, telah menjadikan pandangan orang-orang tentang standardisasi kesuksesan dan kebahagiaan. Paham yang seolah mengatakan bahwa banyaknya materi adalah linier dengan tingkat kebahagiaan. Tapi, benarkah demikian? Tidak! Tidak! Kenyataannya berkata lain.

Penanaman opini public melalui media-media informasi. Dalam kebanyakan tayangan-tayangan, sering kali digambarkan tentang kehidupan mewah, mobil yang gonta-ganti, rumah yang seumpama istana, kehidupan yang serba ada. Secara tak langsung, hal ini telah berhasil menanamkan paradigm tentang kebahagiaan yang berbanding lurus dengan kekayaan. Akibatnya, orang-orang sibuk mencari sesuatu yang umurnya sangat singkat ini. Hanya sepanjang kesejenakkan dunia. Sementara kehidupan dunia ini hanyalah satu kejapan mata. Sementara, ada masa panjang setelah ini yang hanya punya dua rasa. Bahagia dan penuh kenikmatan ataupun kesengsaraan yang tak berkesudahan.

Cobalah lihat. Mungkin di samping rumah yang mewah tegak berdiri itu, ada keluarga kecil lain yang mungkin dikatakan sederhana saja masih jauh. Tapi, mereka punya kekayaan yang tak dipunyai oleh keluarga semisal contoh di atas. Kekayaan itu adalah kebahagiaan!

Mungkin tidak perlu heran dengan kebahagiaan orang-orang yang menempuh perjuangan yang berat. Ia yang berjuang bukan hanya untuk dirinya tapi juga ummat. Jalannya berat dan sungguh berat. Ia yang harus punya energy lebih banyak ketimbang orang-orang kebanyakan. Yang ada di dalam daftar perencanaan hidupnya bukan hanya untuk kepentingan dirinya, tapi juga orang lain. Berat memang. Tidak mudah memang. Sulit memang. Penuh tantangan memang. Tapi, ada kebahagiaan hakiki setelahnya. Ada kebahagiaan yang tak ternilai, melintasi batas-batas logika. Masya Allah… Hanya ruh-ruh luar biasalah yang bisa demikian. Melawan segala rasa-rasa gentar yang menurut logika telah melewati kadarnya. Mungkin aku belumlah demikian, tapi…bukankah kita ingin?

Aku tak bermaksud pula mengatakan bahwa kita mestilah membatasi penghidupan kita. Tidak. Bukan demikian. Bukankah seorang Abdurrahman bin ‘Auf adalah seorang penjuang yang memiliki loyalitas luar biasa terhadap islam? Dan ia sekaligus seorang konglomerat. Dengan kekayaannya ia memiliki kontribusi yang besar pula. Hanya saja yang perlu kita setting adalah….bagaimana kita mempersepsi kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan tidak berbanding lurus dengan materi. Dan, bukan pula berbanding terbalik. Kebahagiaan dan materi tidak punya hubungan sebab akibat sehingga tidak bisa digrafikkan.hehe.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked