Cerita Jalanan

Cerita Jalanan
Jalanan selalu saja punya cerita tentang watak para penggunanya. Dan, begitu pula dengan episode “malala” kali ini. hehe. Solsel-Surian-Alahan Panjang-Solok-Singkarak-Ombilin-Rambatan-Batusangkar-SungaiTarab-Payakumbuh-Tanjungpati-Baso-Bukittinggi-Padangpanjang. Dan, “malala” kali ini benar-benar meninggalkan cerita hikmah yang begitu banyak.

Locus #1: JAGA JARAK
Tidak menjaga jarak, berarti kita sedang memberi peluang untuk mencelakai diri sendiri dan (atau) mencelakai orang lain. Seperti perjalananku kali ini. Di 70-an kilometer pertama. Lubuak Batu Gajah nama daerah kecilnya. Aku tidak tahu apakah memang Lubuak Batu Gajah ini memiliki Batu yang besuarr sangat sehingga dinamakan Batu Gajah. Ataukah di sini dulunya ada gajah yang punya batu? Hihi. Entahlah. Tak kuketahui mengaapa namanya demikian. Dan, kayaknya tak penting pula untuk dibahas. 

Mobil yang kutumpangi berjalan pelan. Mungkin speed meternya hanya menunjukkan 5 km/jam (haha, memangnya ada angka 5 km/jam di speed meternya? Bukannya paling minimum 20 km/jam? Hihi). Di arah lawan, ada tiga truk besar saling beriringan. Tak dinyana, tiba-tiba saja ada bunyi keras dari arah belakang. Rupanya ada sepeda motor dengan pengendara tengik (maaf, ini karena aku kesal sangat sahajaa sama pengendara itu!) yang maen tabrak ajah, plus ngenyalahin pulak!

“Bapak itu yang ngerem mendadak!” katanya. Sudahlah salah, menyalahkan pula! Apa tidak menyebalkan itu? Jelas-jelas mobil melaju dengan pelan, eeh….dianya yang ngenabrak, nyalahin pulak!
Grrhhhhh….kesal tidak?! Mana mobil jadi rusak! Tidak sedikit biaya reparasinya itu. Untung saja pengendara mobilnya adalah seorang hakim yang sudah terbiasa menghadapi berbagai watak manusia dan telah terbiasa pula menghadapi orang-orang berkelit dalam persidangan. Jadi, dengan sekali tandas, pemuda (tengik) itu tak dapat lagi mengeluarkan alasan penyalahan! Yaiyalah! Wong dianya yang salah! Sudah untung si Bapak tidak minta ganti rugi pulak sama itu pemuda. Kalau mau adil sih, semestinya iya, kan dia yang salah. Tapi, si Bapak tidak mengambil tindakan demikian. Lha, si pemuda itu sedikit pun kaga minta maaf!! Coba aja deh, kalo pengendaranya para preman jalanan, waah sudah abisss itu pemuda kenak carut marut, plus bogem mentah mungkin.

Plajaran berharga :
Jalanan sering kali menceritakan watak. Tidak salah jika Rasulullaah katakan bahwa jika kita ingin mengenali seseorang lebih dalam, maka bermalamlah bersamanya sekurang-kurangnya tiga hari atau adakanlah perjalanan jauh bersamanya. Sebab, perjalanan akan menceritakan bagaimana dan seperti apa kita.

Plajaran kedua, menjaga jarak itu penting. Jika tidak, kita akan mencelakai diri kita dan orang lain. Jika pun tidak ada yang celaka dari diri kita atau pun orang lain, setidaknya kita harus mengeluarkan duit lebih banyak untuk biaya reparasi. Jika pun tidak sampai demikian, setidaknya kita harus menghadapi sportjantung dulu.

Jaga jarak, ternyata bukan Cuma dalam berkendaraan. Tapi juga interaksi. Huufftt… Poin ini mungkin aye kenak. Huhu. Karena, kalo soal interaksi, aku termasuk orang yang (agak) cair dan sukaaaaaa sangat berteman dengan banyak orang, maya maupun nyata. (semoga memang tidak “mencelakai” orang lain yaah? hehe). Tapi, kebanyakan yang kuliyat nii yah (dari orang lain) kalo interaksinya sudah cair sangat, bisa jadi akan “mencelakakan”, jika pun tidak diri kita (apalagi dengan alasan ke-cuek-an dank e-slenge’-an), mungkin orang lain ada yang “tercelakai”. Missal dengan lahirnya interpretasi-interpretasi atau pun singkronisasi2 tertentu. Hmm….ternyata, menjaga jarak itu sangat penting. Hmm…hmm…sebuah pelajaran berharga bagiku. Semoga jadi controlling buat ke depannya.

Locus #2 : Pragmatis, Antipati ataukah menyoal hilangnya kepercayaan Masyarakat terhadap pemerintah?

Sesampainya aku di daerah Koto Baru, kendaraan terjebak antrian panjang sangat. Rupanya macet yang biasanya hanya hadir di kota-kota besar kini berpindah pula ke daerah. Dari Padang Luar hingga Koto Tuo Panyalaian. Entah karena regulasi jalanan Pasar2 tradisional yang berada di sepanjang jalur itu yang belum tercover ataukah karena memang badan jalan yang semakin sempit, ataukah kendaraan bermesin yang semakin banyak ataukah kesadaran akan ketertiban yang semakin terdegradasi? Mungkin semua alasan adalah benar. Jika ini merupakan pilihan berganda, mungkin jawabannya adalah (E) yaitu A, B, C dan D benar. Hehe. Sebab, katanya dinas perhubungan, jumlah kendaraan pribadi sekarang semakin meningkat. Selain itu, banyaknya mobil2 pick up ataupun truk pengangkut sayur yang parkir di pinggiran jalan dan membongkar muatannya, menghalangi lalu lintas kendaraan. Di luar itu, badan jalan memang terasa semakin sempit, karena kendaraannya semakin banyak. Dan, jika begini, banyak pengendara (tak sabar dan egois) yang mencoba-coba memaksakan kendaraannya melaju di tengah kemacetan panjang. Akibatnya, semakin kacau balaulah kemacetan itu. Riweuh pisan, euy!

Nah, di tengah2 itu, ada kejadian yang menggelitik.
Tentang sebuah mobil ber-plat terbakar (plat merah maksudnya) alias mobil punya pemerintah dengan nomor polisi rendah (maksudnya, angkanya Cuma 1, dan di bawah angka 5 pula) yang berarti orang yang duduk di dalamnya itu bukan orang ‘sembarangan’. Pastilah pejabat kelas teras. Hihi. Pejabat teras maksudnya. Tak usah pula lah kusebut kendaraan mananya dan berapa nomor polisinya.

Mobil itu hendak berbelok ke gang kecil yang sedikit mendaki di tengah antrian panjang itu. Rupanya, perhitungan sopirnya meleset sehingga mobil tidak dapat memasuki gang dengan mulus. Serta merta mobil itu mundur. Di saat yang sama, sebuah bus superrr duperr besaar dengan trayek lintas pulau datang dari arah berlawanan. Nah, apa salahnya sih, bus besar itu berhenti sejenak, biar mobil pejabat itu bisa lewat gang. Rupanya yang terjadi sebaliknya. Bus besar itu terus mendesak-dan mendesak sehingga mobil pejabat itu harus mundur hitungan kilometer,yah sepanjang antrian berkilo-kilo meter itu. Masya Allah. Penumpang seisi bus besar maupun penumpang minibus yang kutumpangi, bersorak sorai puas, atas keangkuhan bus besar itu. Mobil pejabat yang malang, dan terlihat tak berdaya. Mereka tertawa-tawa menyaksikan mobil pejabat itu harus mundur beberapa kilometer. Kalo maju beberapa kilometer sih oke. Tapi, kalo mundur?? Huwaaaa…pasti pegelll leher supirnya. Hehe.

Ini entah karena pragmatis atau antipasti masyarakat terhadap pemerintah. Atau, mungkin kepercayaan masyarakat yang telah hilang terhadap pemerintah. Entahlah. Aku sesungguhnya kasihan pada bapak pejabat itu, dan membayangkan, “ah, andai ayahku yang berada di posisi itu.” Tapi, tindakan ini sudah cukup menjelaskan tentang sikap masyarakat.

Pelajaran berharga :
Mungkin tidak semua pejabat itu koruptor, dan sangat mungkin masih banyak pejabat yang baik yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Tapi, karena juga tak sedikit kasus-kasus praktik KKN yang membuat rakyat kecil jadi korbannya, atau bisa jadi orang teratasnya sudah berupaya memberikan seoptimal mungkin, namun, oknum-oknum bawahannya yang sering nakal, semakin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ah, yang bisa kita lakukan adalah berdo’a dan berharap agar negeri ini semakin madani saja. Perubahan menuju Indonesia lebih baik tidak bisa dilakukan jika kita Cuma sorak sorai doang “Brantas korupsi! Brantas KKN” kalo kita sendiri tidak mencoba merubah hal-hal tersebut dari yang kecil sekali pun.

Locus #3: Ketika Nurani (lagi-lagi) dipertanyakan.

Dahulu, kami anak-anak asrama SMA N 1 Padangpanjang yang arah ke Solok dan Sekitarnya biasa menunggu bus Tanjung Jaya di depan pesantren Serambi Mekkah, Padangpanjang. Betapa sumringahnya wajah ketika bus donker tua (sudah dongker, tua pula lagi. Hee….berarti warnanya mendekati hitam) itu lewat dari arah atas Guguk Malintang. Meski harus berdesak-desakkan. Meski harus duduk di bangku temple alias bangku serep. Bahkan meski harus berdiri. Dan, pahitnya lagi, harus bergelantungan di depan pintu, demi pulang kampung. Hehe.

Bukan tak sering aku dan teman2 harus bergelantungan di depan pintu itu untuk 2 jam perjalanan. Berbahaya. Mengerikan. Tapii, ternyata dijalani jua. Nasheeeeb sekolah jauh. Hihi. Dan, bukan sekali dua kali pula kami menyaksikan bapak-bapak atau pemuda-pemuda yang badannya masih tegap-tegap, enak-enakkan duduk dengan nyamannya di hadapan kami—anak-anak perempuan—yang harus bergelantungan atau berdiri. Atau, paling banter, pura-pura tidur.

Nah, dalam episode kali ini, aku kembali mengulangi kebiasaan 5 tahun silam itu. Menanti Tanjung Jaya. Sekarang bukan lagi di depan Serambi Mekkah. Jalurnya sudah berbeda. Dan kali ini aku menunggunya di depan RSUD Kota Padangpanjang. Dahulu, RSUD ini berlokasi persis di samping sekolahku di mana kamar mayatnya bersebelahan dengan kelas kami, III IPA 1. Hehe. Hanya berbatas tembok setinggi dua meter yang bagian atasnya dipenuhi kawat berduri.

Tanjung jaya masih punya cerita yang sama. Memuat kebanyakan anak sekolah. Dan, kembali mempertanyakan nurani yang sama. Tentang tubuh-tubuh tegap yang nyaman-nyaman saja duduk santai di depan seorang siswi ringkih yang mencoba berpegangan erat melawan guncangan bus. Lagi-lagi nurani dipertanyakan. Memang, tidak bisa di generalisir semuanya. Bisa jadi, sebagian dari tubuh tegap itu berpenyakit jantung, misalnya, yang membuat ia tak kuat lama berdiri. Tapi, apakah semuanya berpenyakit jantung? Bisa dipastikan, TIDAK! Lagi-lagi, kembali, nurani dipertanyakan.


#mohon maaf buat mata pembaca yang alergi dengan tulisan panjang. Hihihi#

4 comments:

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked