Curhat-Curhat Mereka [part 1]

Hmm…beberapa waktu lewat murid bimbelku bercerita a.k.a curhat padaku tentang banyak hal. Hee…tentu saja aku tidak akan mengumbar rahasia-rahasia mereka, tentang siapa mereka dan di mana sekolah mereka. Aku hanya ingin berbagi saja. semoga menjadi sebuah wacana bagi siapa saja yang nyasar (aku katakan nyasar, sebab pagerank dan visitor blogku umumnya dan kebanyakan hanyalah orang-orang yang nyasar dari engkong gugel yang sedang mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Hehe. Jarang sekali ada orang yang menyengajakan diri untuk berkunjung. Mungkin hanya beberapa orang. Dan itu pun tidak banyak. Hoho).

Murid bimbelku itu bercerita tentang motivasi belajar mereka. Mereka adalah murid-murid cerdas yang menempati kelas paling unggulan (hmm….apa sih namanya, RSBI yah…rintisan sekolah bertaraf internasional?) di SMA negeri paling terbaik di sebuah kabupaten X. Hanya saja, cerita menjadi berbeda ketika terkuak mengenai kondisinya. Bahwa paradigma nilai adalah segala-galanya sehingga segala cara dihalalkan untuk mendapatkan nilai tersebut.
Bahkan tidak mengherankan lagi ketika tahu bahwa sang juara kelas pun adalah sang juara nyontek dan sang juara lihat buku ketika ujian. Hmm…parah yah?

Kenapa begitu? Tanyaku.
Karena kami selalu dibilang, “kalian itu anak RSBI yah! Masa’ nilainya Cuma segini?? Kalian itu anak RSBI yah, seharusnya nilainya tinggi-tinggi semua.” Hmm…benar sih, semestinya anak unggulan tentulah lebih unggul.

Hanya saja, yang perlu digaris bawahi di sini, bahwa kenapa harus nilai??
Kenapa harus nilai saja yang menjadi parameternya?
Bukankah IQ hanya mempengaruhi 20 persen saja dari kesuksesan hidup?
Mengapa tidak dengan perbaikan akhlak sebagai substansi dasarnya?

Menyedihkan sekali jika generasi-generasi ini dibangun atas paradigma nilai sehingga mereka hanya mengejar nilai-nilai saja dengan menghalalkan segala cara. Bahkan ketakutan mereka, bukan lagi pada Allah tapi pada pengawas. Kelas mereka yang sudah dilengkapi kamera CCTV saja tidak mampu membendung erosi akhlak ini. masya Allah.

Pernyataannya yang lain, lebih menyedihkan.
“Percuma saja kami belajar, jika besok ujian, teman-teman yang lain pada lihat buku. Jadi, nilai kami tetap rendah, sementara mereka yang enak-enakkan lihat buku, nilainya jadi tinggi. Guru-guru pun jadi percaya pada mereka yang lihat buku itu.”

Bahkan motivasi belajarnya menjadi hilang, juga disebabkan karena nilai dan dekadensi akhlak ini. Bagiku, sungguh ini sebuah kenyataan yang sangat menyedihkan. Sungguh sangat menyedihkan.

Aku tahu, kejadian di sekolah X ini hanyalah satu kisah kecil. Mungkin tidak semua sekolah begitu. Tapi tidak juga menjamin, sekolah lain tidak begitu. Namun, sungguh miris sekali jika generasi-generasi cerdas bangsa ini dibutakan dengan cara berpikir yang demikian. Bukankah, hal ini akan melahirkan generasi-generasi yang bermental korrupt, calon-calon mafia, calon-calon pelaku KKN. Jika nilai saja sudah begitu addiktif, apalagi uang!

Aku sangat paham, bahwa tidak mudah mendidik generasi muda. Apalagi remaja. Remaja dengan karakteristik keremajaan mereka, dengan derasnya arus informasi dan teknologi, remaja dengan ghazwul fikry yang semakin menjadi-jadi. Hanya saja, jika generasi muda tidak dididik dari hal yang paling substansial, akan dibawa ke mana negeri ini, bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini kelak?

Sungguh, mendidik generasi-generasi itu mestilah dengan komprehensif. Bukan hanya nilai. Aku juga tidak bermaksud mengatakan nilai itu nomor dua atau pun tidak harus memiliki nilai tinggi. Tapi, akhlak mereka, emosional mereka, spiritual mereka…juga adalah sesuatu yang krusial. Buat apa nilai tinggi jika diperoleh bukan dari hasil pikiran mereka? Buat apa?!

Ternyata, PR kita masih sangat banyak dan masih begitu panjang. Panjangnya bahkan jauh melintasi usia kita. Tidakkah kita ingin mengambil bagian dari perbaikan ini? Walau hanya sedikit saja. Walau hanya satu mata rantai kecil saja. Sebab, mata rantai itulah yang kemudian menjadi untaian panjang, jika kita lakukan bersama.

Juga tentang memasuki jiwa-jiwa remaja. bahwa memasuki jiwa mereka, mestilah dengan kunci yang sesuai, dengan berbahasa bahasa jiwa mereka. Mungkin, dari sini kita bisa memulai… Mulai mengukir desain-desain peradaban…insya Allah…

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked