Just Not Follow the Flow

Seperti air mengalir

Sebuah kata-kata klise, “Jalani hidup seperti air mengalir.”
Hmm…dalam beberapa sisi, aku kurang sepakat dengan hal ini. Sebab, dengan menjalani hidup seperti air mengalir, itu sama artinya dengan hidup dengan apa adanya saja. Di manapun dunianya, apakah di perkampungan, di kota megapolis, di mana pun, air tetap akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dan itu sama saja seperti kebanyakan.

Sementara, dengan sebuah energy, air dapat dialirkan dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Air dapat mengalir dan memanjati gedung pencakar langit bahkan hingga ke tingkat tertinggi sekalipun. Dengan demikian, menjadi berbedalah ia. Kemudan, menjadi mahal pula harganya. Satu kata kuncinya, bahwa untuk itu semua…ada energy!

Sungguh, Allah tidak akan merubah nasib kita hingga ada upaya dari diri kita untuk merubahnya. Untuk merubah, perlu energy. Dan itulah energy yang menaikkan air dari sumur artesis hingga ke puncak-puncak gedung megah menjulang.

Kemudian, tiada yang meleset dari ketetapan-Nya. Segala kejadian telah tercatat. Dan semuanya telah dibukukan di lauh mahfudz. Bukan berarti dengannya, menjadi sebuah alasan untuk berlalai-lalai karena segalanya telah tercatat. Ini soal ikhtiar dan munajah yang berjumpa dengan catatan iradat-Nya pada sumbu ordinat kehidupan.

Hmm….barang kali bukan kapasitasku (yang bahkan tak berilmu ini) untuk membahas masalah takdir ini. Pada zaman Rasulullah sendiri, masalah takdir adalah masalah yang sulit untuk diperdebatkan. Sahabat cendrung membahas yang dzahir-dzahir saja.

Dari Biografi Umar ra, kita ketahui pada zamannya kekhalifahan beliau, ada yang mencuri, lalu dihadapkan kepada beliau. Umur bertanya, kenapa mencuri. Dijawab oleh si pencuri, bahwa ini takdir Allah. “Aku mencuri karena Allah yang mentakdirkan aku mencuri.” Lalu Umar memukulnya 80 kali + 20 kali. Sang pencuri serta merta complain arena kan hudud untuk mencuri itu 80 kali pukulan. Umar menjawab, “yang 20 lagi itu takdir Allah.” (hee….rumit yah?)

Tentang firqoh-firqoh dalam aqidah Islam…dalam hal takdir ini…ada penyikapan makna yang berbeda. Hanya saja, ini dalam hal furu’iyah saja. Bukan hal-hal pokok yang sampai menyalahi akidah pula. Tentang dua pemahaman dan penyikapan terhadap takdir. Jabariyah dan qadhariyah. Jabariyah yang memahami bahwa manusia hanya menjalankan kehendak Allah. Semuanya telah Allah tentukan, dan manusia hanya tinggal menjalankan. Jika pun ia berusaha, maka ia telah ditakdirkan untuk berusaha. Misalnya, kenapa tidak dapat ujian? Karena tida berusaha. Nah, tidak berusahanya manusia ini telah Allah takdirkan. Sementara di qadhariyah, adalah antithesis dari jabariyah, memahami bahwa segala yang terjadi itu, karena ikhtiarnya manusia ada di sana. Istilah ekplisitnya, tidak ada “intervensi” dari Allah.

Semoga kita tak terjebak dengan sesuatu yang kita tak punya ilmunya yah. Maaf, sejujurnya pun diriku belumlah memiliki ilmu dan sama sekali tidak punya kapasitas untuk membahas hal ini. Semoga kita tidak termasuk orang yang mencoba memahaminya tanpa ilmu. Intinya, memang harus belajar lagi. Bukan memahami dengan letterlet saja ayat-ayat tentang taqdir. Bukan pula dengan penafsiran dangkal yang menyebabkan penyikapan maknanya pun menjadi dangkal. Untuk ini, aku belumlah memiliki ilmu. Sama sekali tak berilmu malah! Hanya saja, karena ini berkaitan dengan membiarkan hidup seperti air mengalir, ataukah energy itu harus diupayakan?

Ah, tapiii…mungkin kita (terutama aku) perlu memahami tentang hal ini. Bahwa ada wilayah Allah di mana Allah telah catatkan, Allah telah bukukan setiap kejadian, dan tentang iradat-Nya. Dan juga ada wilayah manusia di mana Allah berikan bekal dan potensi fikiran untuk melakukan ikhtiar. Wilayah manusia adalah wilayahnya ikhtiar.

Jika kita terjebak dengan pemahaman bahwa segalanya adalah wilayah Allah, dengan menisbikan ikhtiar manusia, lantas buat apa Rasulullah berda’wah. Buat apa kita perlu menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, jika pada akhirnya semuanya tegak dengan sendirinya? Dan bukankah dalam islam tidak ada yang namanya shalih secara pribadi saja? Sebaliknya, jika kita terjebak dengan pemahaman bahwa segalanya adalah karena ikhtiar kita, lalu di mana campur tangan Allah sedang kita adalah orang-orang yang mempercayai takdir.

Bahwa semestinya, harus ada ikhtiar yang optimal dulu dari manusia. Jika memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka itulah takdir. Yang jelas, apapun itu, tiadalah yang sia-sia. Perhitungan Allah Maha Teliti. Segala ketetapan-Nya adalah keputusan terbaik. Tapi, setelah iktiar-ikhtiar yang kita lakukan. Karena, di sanalah terletaknya nilai. Allahu’alam.

Jadiii…
Sesungguhnya yang perlu kita (terutama diri ini) lakukan adalah…berupaya dan mengupayakan yang terbaik dalam setiap kisi hidup. Perkara hasil, kita serahkan pada Allah semata. Tiada yang sia-sia. Tiada yang kebetulan. Sesungguhnya segala-Nya adalah kebenaran. Sesungguhnya segalanya adalah ketetapan-Nya, setelah ikhtiar-ikhtiar terbaik dan yang paling optimal yang kita lakukan.

Hayuuu….hayuuu…let’s give an energy, just not follow the flow.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked