Angku Seorang Pejuang!

Di waktu bersilaturrahim pada lebaran 1432 H, salah satu angku* aku bercerita tentang jaman-jaman beheulak. Heuu… Tampak-tampaknya beliau sedang terkenang dengan masa-masa dahulu kala, ketika masih muda-muda dulunya. Masa muda yang tentu sangat berbeda dengan masa-masa muda orang-orang sekarang yang penuh ‘kedamaian’, yang penuh dengan segala kemasakinian. Ya, tentu saja sangat berbeda. Masa muda beliau pahit. Dan mungkin takkan dirasakan lagi oleh pemuda-pemuda jaman sekarang. Sebab, model penjajahan sekarang ini berbeda sudah. Caranya lebih ‘halus’, tapi dengan akibat yang sama. Sama-sama menghancurkan.

Beliau adalah salah satu pahlawan kemerdekaan yang memang tak pernah disebutkan dalam sejarah. Sebab, beliau berjuang bukan karena popularitas. Bukan pula karena berharap suatu saat nama beliau diukir dalam buku-buku sejarah yang kita pelajari semenjak SMP. Beliau bahkan tak pernah sekalipun menerima tanda penghargaan maupun uang tanda jasa. Sekalipun tidak! Tapi, begitulah kehidupan beliau dahulunya. Bergeriliya dari satu tempat ke tempat lain. Setiap saat berhadapan dengan serdadu belanda. Suara meriam pun jadi santapan. Nyawa jadi tantangan. Bersembunyi di Bukit-bukit, hutan-hutan lebat, dengan persediaan makanan yang minim. Tentu saja tidak ada laptop canggih, internet, hendpon blackber*y, atau baju bagus. ‘Mainan’ paling polpuler kala itu adalah bamboo runcing, belati, ataupun bedil. Penyakit yang meraja lela. Pakaian dari kulit kayu. Makanan yang tidak sehat. Miskin. Terbelakang. Tanpa pendidikan. Jika pun ada, mungkin hingga selesai Sekolah Rakyat saja. Tidak seperti sekarang, hingga doctor.


Beliau hidup di tiga jaman. Penjajahan, jaman pak Soeharto, dan juga jaman reformasi. Beliau adalah saksi hidup dari ketiga jaman tersebut. Tapiii, dari semua kisah yang beliau paparkan, ada satu kisah paling menarik yang patut untuk aku (dan kita semua) renungkan. Di jaman yang segalanya serba sulit, mulai dari kesehatan, keamanan, pangan, dan segala-galanya yang serba terintimidasi, semangat mengaji dan belajar Al Qur’an tetap tinggi. Walau hanya berlampukan obor kecil yang asapnya membuat hidung menjadi hitam, tetap saja semangat belajar Al Qur’an itu menggebu-gebu. Walau jika pesawat-pesawat tentara Amerika dan Jepang di Perang Dunia ke-2 itu menderu-deru di atas atap, lampu minyak harus segera dipadamkan jika masih ingin selamat dan tetap hidup, tetap saja tak menurutkan semangat mempelajari Al Qur’an. Adalah aib besar jika tak pandai mengaji. Adalah aib besar jika tak pergi ke surau. Masya Allah… Masya Allah…

Maka, memang tak mengherankan jika nenek-nenek, dan kakek-kakek jaman dahulu kala itu bacaan Al Qur’annya bagus-bagus. Selain itu, mereka juga mempelajari maknanya, dari buya-buya yang telah menyelesaikan pendidikannya dan beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di Madinah, di Mekkah, ataupun Pasantren Thawalib. Kepada merekalah, para anak-anak dan pemuda jaman dahulu berguru. Masya Allah…begitu bersemangatnya….. Aku juga pernah ikutan tadarus ala ibu-ibu dan nenek-nenek di kampungku ketika Ramadhan kemarin (di mana akulah satu-satunya peserta paling muda dan masih single. Hehe… Sisanya, nenek-nenek yang sudah lelah di makan jaman…hee), nenek-nenek itu, meski sudah tua-tua, meski harus mengenakan kaca mata dobel, akan tetapi bacaan Al Qur’annya tetap bagus dan fasih. Luar biasa…

Sekarang, mari berkaca ke pada jaman masa kini ketika segalanya serba mudah. Tanpa ada suara deru peluru. Dengan penerangan yang bagus tanpa harus bikin hidung hitam. Dengan sarana dan prasarana serta multimedia yang canggih. Dengan kesempatan belajar yang lebih luas tanpa harus ditakut-takuti dan terintimidasi, justru semangat Al Qur’annya malah loyo. Masya Allah… Jika engkau pernah menjadi salah satu mentor dalam acara sanlat untuk anak-anak SMP dan SMA, atau bahkan untuk mahasiswa, mungkin engkau akan berjumpa dengan bacaan yang begitu belepotan. Tidak banyak yang bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan benar. Apalagi mendalami maknanya, kan yah? Masya Allah… Tapiii, begitulah kenyataan berbicara…

Entah ini karena para nenek yang tiada mewariskan kebiasaan baik itu. Entah karena kemajuan jaman telah menggilas segalanya. Entah karena kesuksesan ‘mereka’ yang menggiring kita pada millah mereka. Entah karena apa. Tapi yang jelas, segalanya terasa semakin jauh saat ini…

Uhmm… aku tak punya sesuatu pun yang ingin kusumbangkan sebagai masukan saat ini. Sebab, aku pun tentu saja masih jauh dari itu. Aku hanya bisa mewacanakannya di sini. Semoga program ‘Kembali ka Surau’ itu bener-bener bisa terealisasi dan dapat dikembalikan fungsinya, agar generasi-generasi kita selanjutnya…tetaplah menjadi generasi-generasi yang Qur’ani. Aamiin…

_________________
Sumber gambar di sini
)* Angku = di kampuang saya adalah Kakak Ibu/Paman yang lebih tua dari Ibu

2 comments:

  1. Mereka adalah pejuang yang sebenarnya, nasionalisme melekat di hati mereka :)

    hanya Alloh yang akan menyematkan tanda jasa buat beliau :)

    ReplyDelete
  2. Heuu..iyaaa, mereka adalah bagian dari perjuangan ini...

    Aamiin..Allahumma Aamiiin... :)

    ReplyDelete

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked