Postingan ini masih related to Cita-Cita Sangat "Sederhana" yang aku posting sebelumnya. Berhubung ini adalah blog pribadi yang kebanyakan isinya adalah curcol dan tidak bisa dijadikan referensi ilmiah tentunya, maka isinya pasti mengikuti mood dan suasana hati serta preferensi hal yang sedang diminati pemilikinya. Hihi... Ya, jadii... aku nulis ya nulis aja. Seperti air yang mengalir sesuai dengan hukum alamnya, ke tempat yang rendah. Nulis buat aku, semacam leisure time lah meskipun kebanyakan tersimpan di draft doang karena ga sempat dituliskan. Paling kalo semua isi keluarga sudah bobo cantik dan bobo ganteng, baru deh aku nuliis. Daaan, serunya adalah... di blog ini juga aku kebanyakan pakek credo "tulisin apa yang dipikirin", bukan "pikirin apa yang ditulisin". Jadii bener-bener depend on situation and condition, preferensi, minat, ketertarikan atau apalaaah saat aku nulis... misal lagi TA ya pasti seputar dunia ke-TA an, dan kalo udah jadi emak, preferensinya pasti berhubungan dengan dunia per-emak-an😄. Okeeh sepertinya aku tidak perlu memperpanjang mukaddimah lagi yang biasanya memang selalu panjang lebar dulu sebelum bener-bener sampai ke inti permasalahannya... wkwkwkwk... 😂
Berhubung aku lagi sedikit mendalami dunia parenting dan dalam rangka berbenah seperti yang aku ceritakan sebelumnya (kali ada yang tertarik, jadi sila klik aja link nya di atas yaak), maka yang aku tulis masi seputar ini laah...
Kali ini tentang kontempelasi diri, merenung, meresapi dan mempelajari soal 'rasa' yang muncul di hati... Iya, tentang rasa... karena wanita lebih mengutamakan rasa? Ahh lupakan dulu soal diferensiasi lelaki dan wanita tentang porsi rasa dalam mendominasi keputusan atau reaksi sikap yang dimunculkan atas sesuatu kejadian atau hal. Heuheu... Mari memberi kanal saja untuk rasa yang ada di hati... ☺😊
Setelah mulai sedikit berbenah, menjemput kembali yang tertinggal, mengilmui kembali yang seharusnya diilmui dari sedari dulu kala, berasa diri ini masih sangat jauh. Semakin digali, semakin berasa banyak rombengannya... Tapi, semangat itu benar-benar sangat fluktuatif. It's hard to maintenance the spirit in "therapeutic" window...
Ya, kadang terasa sangat bersemangat sekali... Tapi, di satu titik merasa lelah sendiri...
Fiiuuftt... Bismillaah...
(Pakek menghela nafas panjang dulu sebelum menuliskan ini... Sebagaimana memang menulis tentang ini tak mudah buat aku)...
Terkait artikel sebelumnya tentang berbenah, ada satu dari dua point yang paling urgent untuk dibenahi terlebih dahulu (yang mungkin saja keduanya saling berkaitan satu sama lain). Point pertama adalah emotion stabilizer dan point kedua adalah how to talk with kid and kid will listen (bahasa singkatnya: komunikasi). Nah yang menjadi perenunganku adalah point pertama (tanpa menafikan pentingnya point kedua). Tentang emotion stabilizer.
Setelah melewati perenungan panjang, aku menyadari bahwa aku terkadang (dan mungkin cukup sering) berada pada titik labil emosi kepada anak. Bahasa sederhananya; marah dan emosi yang sulit dikendalikan 😣. Kadang hanyalah menyoal hal sepele (dan anak-anak tetaplah anak-anak yang belum megerti apa-apa, sedang belajar mengeksplorasi dunia). Dan, kemudian berujung pada penyesalan setelahnya (setelah cooling down). Buntut terseringnya adalah merasa down, merasa tidak menjadi ibu yang baik, merasa wanna escape and going alone far far far away untuk sesaat... Lalu satu pertanyaan muncul tanpa permisi, "hey! What's wrong with me... Kenapaaa aku beginiiii?"
Ketika masih single, aku merasa tak begini dulunyaaa... Jika pun ada emosi, tidak sampai sebegininya. Kenapa sangat mudah tercetus bahkan buat hal-hal yang sangat sepele sekalipun jika terkait soal anak? Astaghfirullah...
Selalu berjanji untuk memperbaiki, tapi kerap pula terulang lagi dan lagi! 😢
Setelah aku berpikir mendalam, kesimpulan yang aku kantongi adalah; bisa jadi aku berada di titik saturasi, bisa jadi karena kurang merasa menjadi diri sendiri di saat memang urusan di luar diri yang harus segera dipenuhi terlebih dahulu. Di saat merasa diri tak berarti dan tak berdaya guna. Di saat merasa sangat sangat sangat down... Bisa jadi aku sedang sangat mengantuk dan ingin tidur sementara kondisinya membuatku tidak memungkinkan untuk tidur... Bisa jadi... Bisa jadi... Bisa jadi... (banyak hal lainnya mungkin).
Selama ini support dari suami sangat membantuku dan sudah menjadi emotion stabilizer bjat aku. Big hug ketika down even not in down condition. Big appreciate even in a small achievement. Waktu untuk melakukan "me time". Great help di pekerjaan rumah tangga. Semua "pupuk jiwa" ini sudah diberikan oleh suamiku tercinta (Ma shaa Allah... Jazakallah wa Barakallahu fiik ya Zaujiy...). Tetiba ada satu kata yang tiba-tiba muncul menyoal ini dan cukup menggentayangi fikiranku: inner child!
Inner child. Kata yang sebenarnya sangat sulit untuk aku deskripsikan. Konon kabarnya, inner child (terutama untuk perasaan negatif) ini akan muncul ketika kita berada di situasi yang berat, jenuh, emosi dan kita akan mengekspresikannya sama seperti apa yang pernah kita alami atau menuntut kita "memenuhi kekosongan" yang sempat kita ingini atau kita butuhkan dulunya, jauh ketika kita belum mengingati sesuatu. Tersimpan rapi di alam bawah sadar kita, dan terpanggil kembali ketika kita menghadapi situasi yang sama ketika kita dewasa.
Ketika kondisi kita normal, mungkin kita merasa baik-baik saja. Yes, i'm OK. Ga ada yang salah dengan aku. Tapi, pada satu titik ketika kita merasa "out of control" mungkin kita akan bertanya-tanya pada diri kita "mengapa aku sebegininya", "mengapa aku mudah sekali tercetus marahnya", "mengapa aku sulit sekali mengambil keputusan", dan sederetan "mengapa aku..." lainnya. Dan kadang aku bertanya seperti itu ke dalam diriku sediri...
Tapi, aku sendiri merasa sejauh ini belum bisa menggali lebih dalam mengenai inner child ku. Aku belum berani untuk 'jujur' pada diriku sendiri untuk membuka lembaran memori lalu. Membiarkannya jauh jauh dan sangat jauh tersimpan dalam peti memori...
Tapi, dalam perenungan, tetiba saja pertanyaan pertanyaan itu muncul di relung hati. Butuh jawaban kah? Entahlah, sejauh ini aku masih missing tentang ini...
Bingung yaa bacanya? Haha... Iya. Maafkan, ini hanyalah sekedar kontemplasiku saja dan ketahuilah bahwa sebenarnya aku juga masih bingung dengan inner childku sendiri. Yang aku rasakan adalah aku membutuhkan emotion stabilizer yang bersumber dari diriku sendiri. Untuk emotion stabilizer external mungkin aku sudah dapatkan dari suami, tapi tetap saja aku membutuhkan emotion stabilizer internal; Mendamaikan inner childku sendiri sebelum menjadi pendidik dan pengasuh yang baik untuk anak-anakku.
Setiap orang (ibu) pastilah ingin menjadi lebih baik dan ingin menghasilkan generasi yang lebih baik dari dirinya. Setiap orang (ibu) pastilah tidak ingin mewarisi dari generasi ke generasi tentang inner child yang buruk dan emosi negatif yang pernah ia terima... Dan pertama kali yang seharusnya ia lakukan adalah "mendamaikan inner child nya sendiri".
Aku in shaa Allah ingin bahas lebih jauh lagi soal emotion stabilizer ini. In shaa Allah di lain waktu... Karena ini judulnya adalah self contemplation, maka aku murni menuliskan tentang kontemplasi saja dan tak ingin berpanjang-panjang merumuskan solusi di sini... 😄