Antara Dramaga dan Laladon

Jatah liburan satu hari adalah hal yang sangaaaatt menyenangkan. hehe...
Kamis ini, alhamdulillaah...jarang-jarang kita punya jatah libur begini. Hee...
Bukannya mengerjakan tugas yang menumpuk, malah kelayapan dan 'malala' niih. Hihihi....
Ah, tugas biarin deh. Sesekali refreshing dulu, boleee kan? (hoho, jangan-jangan kebanyakan refreshing malah!)

Finally, akhirnya kamis ini kita 'malala' deh. Aku dan Dewi (wizokure) berangkat dari kosan jam 10.30 pagi. Sebenernya sudah ada (sedikit) niat mw belajarrr (syaaaelaaaah...) tapi karena lepi lagi bermasalah, akhirnya diputuskan untuk malala sahajaaa, dari pada bengong bin frustate bin desperadoo...hehe. Kami 'malala' hampir-hampir tak punya navigasi. Hanya bermodalkan nekad bin iseng sahaja. Dari Pocin naek KRL Bogor (padahal belom pernah nyoba, tapiii nekad ajah. hee...). Karena judulnya adalah jalan2 irit (makluuum, mahasiswaaaa..hehe), kami cuma beli tiket yang ekonomi ajah. Lumayan kan ke Bogor cuma dua ribu doang.. Alhamdulillaaah, sepiii. Ndak sepi juga sih, tapi bisa duduk...
Setelah skitar 40 menit perjalanan, nyampe di Bogor.

Di Bogor, kami bingung nih, critanya mau kemanaaa, gituh? Berjalan tanpa arah dan tujuan. Hee...
Pelajaran Pertama : Begitulah hidup jika tak punya tujuan. Di perjalanan, kita pasti kebingungan, hendak ke mana? Hendak dibawa kemana hidup kita ini. Jadiii, pelajaran yang dapat kita ambil kali ini adalah, TETAPKAN TUJUAN HIDUP KITA itu MAU KEMANA. Jadiii, kita gak ngeloyor and nyasar ke mana-mana ntar. Kalo ndak punya tujuan hidup, hadeuuuhhh...masya Allah, betapa tidak terarahnya hidup kita. jadii, tetapkan tujuan hidup, visi dan misi kita. Siiippp???

Akhirnya, Dewi ngusul, gimana kalo kita ke IPB ajah? (ehem..sedikit crita, aku sesungguhnya lebih suka wisata kampus ketimbang wisata ke tempat2 wisata. Wisata kampus atau wisata ke sekolah-sekolah sedari dulu memang hal yang begitu menariiiiik bagiku. Jadi, jangan heran jika hampir semua sekolah-sekolah tinggi dan kampus-kampus yang ada di Kota Padang sudah kujelajahi hampir semuanya. hehe...). Modal ke IPB nekad plus tanya sana-sini. Kami naek angkot 02 sampai terminal Laladon. Dari Laladon nyambung angkot KAMPUS DALAM. Heuu... Nyasarrr? Iya sih, tapiii kan jalan-jalan. Hee.. (malu bertanya jalan-jalan, bukan sesat di jalan. hihi).

Jadiii, sebenarnya apa sih esensinya  kali ini? hoho, belooom. Masi mukaddimah niih. (ko panjang bener yak, mukaddimahnya? hihi...). Sebenarnya hal yang paling menarik untuk kuceritakan itu adalah tentang percakapan 3 orang ibu-ibu yang masih muda (sekitar 30-an) dari kampus IPB hingga Bubulak. Kami menumpangi angkot yang sama dari kampus IPB hingga Bubulak. Dan yang membuat cerita semakin seru adalah karena adanya kemacetan yang panjang sehingga perjalanan yang seharusnya ditempuh selama 10 menit, justru menghabiskan waktu sekitar 1 jam sehingga ceritanya lebih komplet kudengarkan. He....
Sebenarnya, aku aku mengeluarkan beberapa copy-an slide mata kuliah Farter tetang Psikiatri. Critanya (sok) rajin nih. Hee... Tapiiii, dari awal buka itu copy-an, halamannya kaga pindah2 tuh. Sebab, ternyata mendengarkan percakapan ibu2 muda itu lebih menarik dari pada membaca tentang depresi. hee...



Aku tentu takkan menuliskan percakapan itu di sini. Kepanjangan bangeeet!
Intinya adalah tentang Anak laki-laki dan anak perempuan.
Ibu 1 : "Mba, anaknya udah berapa?"
Ibu 2 : "Udah dua sih, tapi cowo semua. Aku sebenarnya mau satu lagi, yang cewe, biar kalo udah tua ntar, ada yang ngejagain aku."
Ibu 3 : Aku sih, cowo semua nih. Tapi, kalo udah tua ntar, aku mau di panti jompo aja. Biar ndak negerpotin anak."
Aku : Terbengong sambil berusaha memenej ekspressi (biar ndak ketahuan kan, ngikutin pembicaraan mereka. hihi....)
Sejujurnya, pernyataan si ibu itu bikin aku kaget. Entah karena di kota hal tersebut sudah biasa (maklum, aku kan orang kampung terpelosok. hehe), entah karena budaya di kampungku yang tak terbiasa dengan kek gitu, atau entah karena apa, tapi kedengarannya begitu janggal bagiku. Seseorang berpendidikan pulak (bliau S2 di IPB, kalau aku ndak salah denger), tapi sudah meniatkan untuk menetap di panti jompo di hari tuanya. Ck..ck...ck...Masya Allah.

Pernyataan selanjutnya adalah, "Aku tuh ndak mau yah tinggal sama anakku. Belum tentu juga cocok dengan menantu, apalagi menantu perempuan, jadi, apa salahnya aku tinggal di panti jompo aja?"

Masya Allah....
Mendengar itu, aku jadi teringat nasihatnya Rasulullah tentang berbuat baik pada orang tua, apalagi di masa tua beliau. Aihhh, tegaaa benerr jika anak sampai rela membiarkan orang tuanya di panti jompo (walau pada kenyataannya banyak sih yang demikian). Jika si ibu itu rela-rela saja ditempatkan di panti jompo, tentu dengan kata lain, dia juga 'tega' kan yah, menempatkan ibu bapaknya di panti jompo? Entah kalau keduanya sudah berpulang kepada-Nya....

Tapiii, walaupun sudah menikah, bukankah bakti kepada orang tua, tetap menjadi kewajiban kita sebagai anak? Ataukah aku salah?
Anak laki-laki apa lagi, kan yah?
Sebab, baktinya seorang perempuan kan sama suaminya, dan baktinya anak laki-laki kan sama ibunya. Jadii, tak ada diskontinu dalam hal bakti kepada orang tua!

Mendengar percakapan itu, aku jadi tercenung cukup lama. Ada hal yang begitu terasa asing dan janggal bagiku. Teringat pula aku akan kedua orang tuaku dan curahan kasih sayang belaiu. Ya Allah, jadi sediih.
Sungguh, BAKTI PARIPURNA SEKALI PUN, TAKKAN PERNAH BISA MEMBALASI KASIH SAYANG YANG TELAH KEDUA ORANG TUA KITA BERIKAN PADA DIRI KITA. Lantas, apakah kita tega menyia-nyiakan keduanya di hari tua beliau, ketika beliau berdua justru sedang lemah dan sangat membutuhkan kita?
Masya Allah....
Mungkin karena aku belum merasakannya. Mungkin juga karena berbagai situasi dan kondisi membuat kita tak bisa intens dengan beliau berdua. Tapi, di panti jompo? Masya Allah...tega bener....

Hmm...aku jadi mencatat satu hal dalam hatiku...
Ini tentang bakti kepada kedua orang tua.
Jika sudah berkeluarga misalnya, maka kedua orang tua baik orang tua kita maupun orang tua dari suami/istri akan menajdi orang tua kita juga. Maka, perlu sinergisitas dalam hal ini... Berlaku adilnya kita dalam memperlakukan keduanya adalah pilihan terbaik, meskipun adil itu sendiri sebenarnya punya definis yang berbeda dan juga punya skala yang berbeda-beda. Mungkin tak punya standar maupun penaranya.
Tapi intinya, porsi bakti kita tetaplah sama...
Allahu'alam....

Ini semua, jadi sebuah catatan tersendiri bagiku sepanjang IPB-Laladon....

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked