Balada Rumah Sakit (1)

Cerpen

“Lem…lem…lem… Lem, Bapak? Ibu? Lem, Pak, Buk?” Kusodorkan kotak berisi lem sepatu, lem triplek itu. Ada yang menolak dengan sopan. Ada yang cuek. Dan ada pula yang menawar, namun tak jadi membeli. Dari pagi hingga siang menjelang sore, aku berjualan lem dan berkeliling rumah sakit ini. Jika hari senin tiba, maka aku membawa anakku Ivan dan istriku menyertainya.

“Lem, dik.” Tawarku kepada segerombolan mahasiswa praktek di rumah sakit ini.
Mereka tersenyum dan menolak dengan sopan, “trima kasih Da.”
“Ambil saja Dik. Buat adik, gratis.”
“Hehe. Ga usah Da. Trima kasih.”
Lalu, salah satu di antara mereka bertanya, “Mana Ivan, Da?”
‘Wah…Ivan hari ini tak fisioterapi. Fisioterapinya hari senin.”
“hooo…iya. Salam buat Ivan ya Da.”
“Iyaa, makasih ya Dik.”

Aku berjalan, kembali menelusuri koridor rumah sakit. Ada banyak profesi yang terlibat di sini, mulai dari dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, asisten apoteker, ahli fisoterapi, klining servis, penjual makanan kecil, staff, dan orang2 sakit dari berbagai pekerjaan. Aah, siapa lagi yah? Aku kurang begitu tahu.

Aku jadi teringat pada istriku, pada anakku yang mungkin sangat merindukanku di rumah. Istriku, perempuan lugu yang penurut. Dan anakku, Ivan yang dengan susah payah ia menyebut “ayah” dan menyambutku. Jika teringat akan anakku, maka, akupun teringat akan cita-cita sederhanaku.

Sesungguhnya aku iri melihat adik-adik itu. Meeka bisa bersekolah dengan tenang. Bisa mengikuti praktek di rumah sakit ini. Sesungguhnya, akupun sangat ingin Ivan demikian. Meski aku hanya tamat SMA dan bekerja menjual lem dari bangsal ke bangsal, tapi aku sangat ingin anakku nantinya menjadi dokter. Mungkin cita-citaku sederhana saja. Aku hanya ingin Ivan lebih baik dariku saat ini. Menjadi orang sukses.

Tapi, Allah berkehendak lain. Ivan ditakdirkan mengalami cacat mental. Di umurnya yang sudah 9 tahun dia baru bisa duduk. Ngomong pun satu-satu saja. Persis anak umur 2 tahun. Ia harus dikelonin kemana-mana. Setiap senin dia harus ikut fisioterapi di rumah sakit ini. sudah empat tahun lamanya ini berjalan. Entah esok bagaimana.

Pupuslah harapanku untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi atau setidaknya lebih baik dariku. Bahkan ia tak bisa sekolah kecuali di SLB. Tapi, apa aku berhak untuk menyesali keputusan Allah ini? Memang sudah semestinya kujalani semua ini.

Hanya saja, setiap melihat mahasiswa praktek itu, aku jadi tercenung. Meskipun aku merasa bahagia karena mereka sangat peduli dengan Ivan, berusaha menghibur Ivan, tapii, tetap saja seperti ada harapan yang hilang.

Ah, tdak. Aku harus kuat. Harus kuat.
“Lem…lem…, lem Pak, lem buk?”
Kembali kujajakan jualanku.


Cerpen ini (hmm..bisa disebut cerpen gak yah? Hehe)…terinspirasi dari kisah nyata. Selalu saja, rumah sakit meninggalkan begitu banyak kisah pilu sekaligus pelajaran. Ah, rumah sakit memang tempat muhasabah yang indah.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked