Bunga-Bunga Kertas


Hehe…, kalo yang anak kelompok 1 PKP-A RS periode II Apt I 09/10 (halaaaah, iniih ribet banget yaaah, hee…) pasti udah pada ketawa-ketiwi ajah kalo aku udah ngeluarin selembar kertas ketika ada anak-anak bersamaku (bersama kamiii, maksudnyaaa, hee…). Seperti biasa, aku akan membuatkan bunga-bunga kertas untuk mereka. Bunga tulip dengan empat kelopak untuk anak perempuan. Dan, kodok-kodok kertas, untuk anak laki-laki. Hmm…biasanya teman-teman sekelompok ngikut, bikinin kapal-kapalan dari kertas jugah. Iish…issh…global warming! Hehe.

Yaah, hanya bunga-bunga kertas saja. Untuk kemudian, mereka tinggalkan begitu saja ketika telah berjumpa dengan mainannya yang lain. Tak apa. Aku bahagia melihat mereka senang. Aku bahagia saja. Meski kemudian, teman2 pada nyeletuk, “bueklah surang lay.” Hahaha. Aku hanya bisa tertawa saja.

Lain episode interne, lain pula dengan neurologi. Ada banyak lagi kisah di sini. Pernah suatu kali, ketika ada banyak anak-anak yang mengelilingiku, memberikan tes matematika dan bahasa Indonesia kepada mereka, aku ga nyadar ternyata ada banyak mata yang tengah memperhatikan kami. Waduuuhhh, jadi tengsin abiiiis, waktu nyadar kalau buanyaaaak orang memperhatikan. Hadduuuh…

Hari ini, aku clingak-clinguk kiri kanan. Kenapa aku tak melihat Faizah yaah? Kemanakah Bocah delapan tahun yang ceria itu? Hingga waktu pulang tiba, aku tak kunjung berjumpa dengannya. Waaah…, aku khawatir terjadi sesuatu dengan ayahnya yang baru dua hari ini keluar dari ICU menuju bangsal. Tapi, aku ga sempat mengunjungi bangsal ayahnya karena ayahnya bukan pasien neurologi. Sementara di neurologi sendiri, aku harus mencatat beberapa rekam medic, ikut visite, memberikan obat pasien, memberikan konseling obat pulang dan memberikan kartu minum obat mandiri, menghunting vital sign. Huaaahhh, hari ini benar2 limited time!!

Hoooo, koq jadi bercerita puanjang lebuar dan curhat-curhat segala yaaah. Padahal tadinya niatnya mau cerita soal kecerdasan emosi anak niih… okeh…okeh…, back to topic again dah!

Faizah…hmm…nama yang kusuka. Hee…Aku begitu terkesan dengannya. Dengan perkenalan kami pada mulanya. Umurnya baru delapan tahun. Kelas 2 SD, di sebuah sekolah di kota yang juga sangat kusuka, Padangpanjang. Sudah cukup lama ia tak bersekolah karena harus menemani ibunya menjaga ayahnya yang masuk ICU. Namanya ICU, so pasti pasien parah2.

Kebanyakan anak-anak pada umumnya, ketika bertemu orang baru, pastinya sangaat malu2 dan cuek saja. Jika ga orang tuanya yang memperkenalkan, biasanya si anak akan memilih untuk diam dan mengekor sama si ibu atau bapaknya. Trus, kebanyakan anak umur segitu kalo membeli suatu jajanan, jarang menawarkan “Kak, makan kue yuuuk.” Paling, waktu diminta dengan becanda, “Dek, minta kue dong.” Si anak langsung menyembunyikannya.

Nah, itulah yang berbeda dari Faizah.
Dia justru yang memulai memperkenalkan diri. “Akak…nama kakak siapa? Aku Faizah, Kak.”
Lalu, ketika dia punya makanan, dia menawarkan, “Kak, inii, ambillah.”
Jika melihat eluarga pasien yang baru dia kenal justru dia bertanya,
"siapo yang sakik Pak, Buk? Alah bara hari di siko?"
Wah...wah...orang dewasa ajah kadang lupa bertanya demikian.
Dan, satu hal lagi, dia itu berani sangaaat! Ketika anak-anak di umur segitu akan takut dan ngeri melihat orang2 dalam kondisi sakaratil maut, Faizah malah salah satu anak yang sangat berani. Sepanjang di rumah sakit ini, dia sudah 8 kali melepas orang-orang sakaratil maut. Masya Allah…

Nah..nah…, Menurutku, dia memiliki kecerdasan emosi yang bagus! Berbeda dengan yang lainnya. Sungguh, dia memang berbeda.
Dan aku menyukai keceriaannya. Dia begitu mudah berteman. Bahkan anak yang sangat introvert sekalipun yang sangat selektif memilih teman malah bersahabat dengannya.

Meskipun Faizah, di umurnya yang sudah 8 tahun ini belom bisa membaca. Membacanya Cuma satu dua kata. Dia masih sulit membedakan huruf M dan N, ga tau bentuk huruf T. bahkan mengeja namaku saja dia tak bisa. Berhitung pun jugah masih banyak yang ragu-ragu. Bukan berarti dia bodoh jugah, sebab, beberapa perkalian dia sudah bisa. Tapi, di sisi lain, dia memiliki kecerdasan emosi. Dan hal ini patut diapresiasi.

Lagi-lagi di bangsal neuro, aku mengenal anak lain, yang seumuran persis dengan FAizah. Namanya Aura. Ketika kedua anak ini “kusandingkan”. Kubikin permainan semacam cerdas cermat matematika begitu, Aura cendrung lebih banyak menjawab ketimbang Faizah. Tapiiii, di segi kecerdasan emosi, Faizah jauh lebih menang dari pada Aura.

Lalu, ketika aku memberikan soal-soal matematika dalam permainan itu, datanglah seorang ibu menghampiri kami. Dan ikut dalam permainan kami. Lalu, dia nyeleutuk pelan ke aku, “Haaah? Lah kelas 2, alun juo bisa mambaco lai doh!? Anak ambo, TK nyo baru lah lancar mambaco.” Secara tak langsung si ibu merendahkan kemampuan Faizah dan secara tak langsung si ibu juga menilai bahwa Faizah termasuk salah satu anak yang “bodoh”. Waktu si ibu bilang begitu, aku hanya bisa….senyum saja. Mungkin juga kebanyakan orang lain menilai hal yang sama. Banyak juga teman2 yang nyeletuk,
“HAaahhh.., masak siiih, belum bisa baca???”.

Tapiii, menurutku, di sanalah letak masalahnya. Kebanyakan orang masih mengagung-agungkan kecerdasan intelektual semata dan mengabaikan kecerdasan emosi sang anak. Anak-anak dituntut untuk bisa matematika, berhitung, bahasa Indonesia, bahasa inggris de es be, tapi lupa dengan kecerdasan emosinya. (wah…., sbenarnya siiih, para pakar udah banyak “melirik” ke arah kecerdasan emosi ini yaaah? Tapii, tampak2nya pola pandangan umum masyarakat masih sama. Masih mengedepankan kecerdasan intelektual).

Ketika anak-anak sudah pinter matematika saja dianggap sukses, dianggap cerdas dan diapresiasi. Tapiiii, amat sangat jarang sekali anak-anak yang seperti Faizah ini diapresiasi. Kebanyakan lebih cendrung dipandang bodoh, diremehkan. Seharusnya, dia patut diapresiasi jugah! Karena Faizah bukan anak yang idiot. Dia cukup bisa koq menangkap pelajaran2 seperti matematika. Aku sudah membuktikannya ketika mengajarinya matematika dan ketika mengajarinya membaca.

Makaaa, menurutku siiih, sudah saatnya kita (dan juga terutama para pendidik apalagi orang tua) memandang sisi kecerdasan anak itu secara global, ga hanya sisi-sisi intelektual saja, tapi juga sisi emosional. Dan yang paliiiiing penting itu, sisi spritualnyaah! Maka, hayuuu..kita revolusi pola didik anak yuuuuk.
Hayuu….!


*Aiiihh, ngomong2 kaya’nya aku lebih tertarik ngambil S-2 Psikologi Anak ketimbang ngambil S-2 Pharmacy Klinik niiiih. Haayyooo…, beri aku pilihan. Hehehe. Atau, jadi PNS sahaaajaaaa??? Hehe, GJ mode : ON!

2 comments:

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked